Pages

Bali Google Search

Custom Search

Monday, November 12, 2007

SELINGKUH DEKAT TEMPAT SUCI

Perkawinan dan PerselingkuhanAda beberapa surat yang datang dan menanyakan masalah perkawinan serta perselingkuhan. Suratnya panjang-panjang, karena sebelum menyampaikan pertanyaan, terlebih dahulu diawali dengan menjelaskan duduk soal mengenai latar belakang perkawinan dan perselingkuhan yang dimaksud. Surat datang, antara lain, dari: Made Arta di Tegalalang, Gianyar; Sucitra di Negara, Jembrana; Made Santi di Jalan Katrangan, Denpasar; Nyoman Susilayasa di Dawan, Klungkung. Ada beragam pertanyaan diajukan:1. Ada orang yang melakukan perselingkuhan dekat tempat suci. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh warga panyungsung tempat suci tersebut?2. Apakah melaksanakan perkawinan di rumah calon mertua dapat dibenarkan? Bagaimana akibat hukumnya bila perkawinan itu dilaksanakan tidak di alamat sendiri? Apakah sesudah perkawinan dilangsungkan suami beserta istri dapat kembali ke tempat orangtua si suami?3. Ketika saya melangsungkan perkawinan, sebagai sekadar bekal dalam menempuh hidup baru (berkeluarga), orangtua saya memberikan sedikit kekayaannya, berupa perhiasan emas. Cuma, hingga kini saya masih titipkan ke adik dan tidak memberitahukan pemberian itu kepada suami saya. Kalau diberitahu, khawatir suami kurang bisa menerima pemberian dari orangtua saya itu. Saya kurang tahu sampai sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga. Salahkah saya karena tidak memberi tahu suami perihal bekal tersebut ?4. Apa bedanya perkawinan secara adat, perkawinan sesuai Undang-Undang Perkawinan, dan kawin kontrak?Jawab:
Masalah perselingkuhan dekat tempat suci. Penganut Hindu mengenal tempat suci dan kawasan suci. Tempat suci warga Hindu disebut pura, dan yang dinamakan kawasan suci adalah tempat yang ada di sekitar tempat suci atau tempat yang diyakini suci. Termasuk kawasan suci berdasarkan Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI) Nomor 11/Kep./I/PHDI/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura, antara lain: gunung, danau, campuhan (pertemuan dua sungai atau lebih), pantai, laut, dan sebagainya yang diyakni memiliki nilai-nilai kesucian.Tempat-tempat suci dimaksudkan tadi memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran. Kekeran ini bisa ditentukan lewat ukuran apaneleng, apanimpug, dan apenyengker. Ukuran-ukuran atau batas kesucian satu pura tentu disesuaikan dengan tempat suci yang ada. Untuk kategori pura sad kahyangan dipakai ukuran apaneleng agung (minimal 5 km dari pura). Pura berstatus dang kahyangan radius kesuciannya dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 km dari pura), dan untuk kahyangan tiga dan lain-lain dipakai ukuran apanimpug dan apanyengker (batas tembok pura).Nah, menyangkut pertanyaan tentang ada orang yang melakukan perselingkuhan di tempat suci, sepatutnya dilihat dulu seberapa dekat perbuatan itu dilakukan? Apakah tempat perselingkuhan itu terjadi diyakini sebagai kawasan suci atau tidak? Ini penting dipastikan sebelum melakukan sesuatu, mengambil satu keputusan, termasuk mengenakan sanksi kepada orang yang melakukan perslingkuhan tadi. Kalau yang bersangkutan harus dikenakan sanksi, sanksi yang ditimpakan bukan untuk balas dendam atas dasar sentimen, melainkan sanksi yang benar-benar dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sakala dan niskala menurut keyakinan Hindu. Oleh karena itu, dalam hal ini yang penting adalah bahwa sanksi itu mengandung unsur sangaskara danda (upacara tertentu menurut keyakinan Hindu), sekecil apa pun sanksi yang dijatuhkan.Kemudian, masalah tempat melangsungkan upacara perkawinan. Perkawinan menurut orang Bali yang beragama Hindu, umumnya dapat dibedakan menjadi dua. Perkawinan biasa dan perkawinan nyentana . Dalam perkawinan biasa, rangkaiannya kurang lebih sebagai berikut: ada dua orang saling mencintai, kemudian merencanakan perkawinan.Sistem perkawinan seperti ini umumnya dilaksanakan dengan ngidih atau memadik (meminang) dan ngrorod atau ngerangkat (lari bersama). Sesudah itu dilanjutkan dengan menggelar upacara perkawinan di alamat suami. Upacara lain yang menyertai adalah: mapejati dan terakhir penyelesaian administrasi perkawinan. Jadi, lazimnya, perkawinan dilaksanakan di rumah mempelai laki-laki.Sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di alamat mempelai wanita biasanya disebut perkawinan nyentana . Dalam hal ini ada perubahan status, yaitu sang istri berubah status menjadi purusa atau laki-laki dan yang laki-laki berstatus predana atau wanita. Yang berubah adalah status hukumnya, menurut hukum adat Bali. Bukan alat kelaminnya!Perlu ditambahkan, perkawinan nyentana atau disebut pula perkawinan kaceburin . Perkaiwnan dengan cara ini biasanya dilaksanakan bagi orangtua yang tidak melahirkan anak laki-laki. Dalam hal ini, salah seorang di antara anaknya yang perempuan (biasanya anak perempuan tertua) akan tetap tinggal di rumah (sebagai sentana rajeg ). Anak inilah yang melanjutkan kewajiban orangtuanya. Sementara anak perempuan lainnya boleh melakukan perkawinan seperti biasa.Sehubungan dengan permasalahan yang Anda kemukakan, ada hal yang kurang jelas bagi saya. Apakah Anda akan melaksanakan perkawinan nyentana atau perkawinan biasa. Saya menangkap Anda akan melangsungkan perkawinan biasa.
Walaupun Anda melaksanakan perkawinan biasa, sebenarnya tidak ada larangan jika melangsungkan perkawinan di rumah calon mertua. Asalkan ada kejelasan bahwa keberadaan Anda di sana dalam rangka meminjam tempat perkawinan, bukan nyentana . Hal ini harus diketahui dan dimengerti terutama oleh Anda berdua, keluarga, dan masyarakat di tempat asal Anda, serta keluarga dan masyarakat di tempat perkawinan itu dilangsungkan. Hal ini penting dipertegas agar tak menimbulkan persepsi lain. Kalau semua sudah tahu dan mengerti, tidak ada konsekuensi hukum yang patut dikhawatirkan. Cuma, yang harus dipahami, kalau Anda merasa telah mempunyai rumah dan mempunyai keluarga, kenapa harus bingung mencari tempat melangsungkan upacara perkawinan? Laksanakan saja sesuai dengan yang lumrah berjalan selama ini. Gampang sekali.Dalam satu perkawinan memang terkadang ada orangtua memberikan secara sukarela kepada anak perempuannya sekadar bekal dalam menempuh hidup baru (berkeluarga). Pemberian oleh orangtua kepada anaknya menjelang perkawinan sebagai bekal berumahtangga, dikenal dengan istilah jiwa dana . Dapat berupa benda tetap (tanah) atau benda bergerak (emas, uang, dan lainnya). Nah, sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga dan apakah Saudari salah karena tidak memberi tahu kepada suami perihal dari mana harta tersebut didapatkan?Kalau dicap salah, mungkin tidak begitu amat. Tetapi, yang pasti, kurang etis. Sungguh tidak etis kalau seorang istri mendapat sesuatu dan tidak menyampaikan secara terus terang kepada suami. Lebih-lebih lagi yang namanya jiwa dana (pemberian secara sukarela dari orangtua). Secara yuridis (hukum) pemberian semacam ini sepenuhnya menjadi hak pihak yang diberikan atau si penerima. Harta semacam ini tidak akan menjadi harta bersama (suami istri), kecuali pihak yang menerima secara sukarela menjadikannya sebagai harta bersama. Bila harta itu tidak menjadi harta bersama, berarti pemilik bebas memanfaatkannya. Sebaliknya, kalau harta tersebut dijadikan harta bersama, maka setiap pemanfaatannya haruslah dengan persetujuan suami istri. Lebih baik yang mana, tetap dipertahankan menjadi milik sendiri atau dijadikan harta bersama? Ini yang mesti dipikirkan lebih matang. Kalau benda tetap (tanah), biasanya akan disertifikatkan atas nama sendiri agar ”keamanannya” lebih terjamin. Kalau benda bergerak, terserah Anda. Yang penting tulus dan terus terang agar terang terus. Kalau tidak terus terang, maka terus tidak terang.Perihal pertanyaan perbedaan antara perkawinan menurut hukum adat Bali, sesuai Undang-Undang Perkawinan, dan kawin kontrak. Perkawinan menurut ketentuan yang pertama dan kedua (ditelaah dari sudut hukum adat Bali dan Undang-Undang Perkawinan), tidak banyak bedanya. Artinya, kalau semua proses perkawinan menurut hukum adat Bali dilaksanakan, ditambah penyelesaian akte perkawinan, berarti sudah sama persis dengan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.Menyangkut kawin kontrak, minta ampun beribu-ribu ampun, saya tidak bisa menjelaskan. Terus terang, memang tidak tahu.

No comments:

Post a Comment