Pages

Bali Google Search

Custom Search

Thursday, December 6, 2007

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.

Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

  • Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
  • Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
  • Amati lelungan (tidak bepergian).
  • Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan

Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi

Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."

Artinya:

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:

Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Galungan di India

Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Monday, November 19, 2007

Perbuatan Mimpi Tidak Bikin Dosa

Bermimpi dan DosaBelakangan ini saya sering mimpi menakutkan. Misalnya; mimpi selingkuh, mencederai orang, mencuri, merampok, menyakiti orang, dan lain-lain. Kendati dalam hidup sehari-hari saya tidak pernah melakukan yang tidak-tidak, hanya pikiran saya sering liar, lari ke sana-sini, kadang juga berpikir yang tidak-tidak. Pendeknya, saya jarang bisa berpikir positif.Apakah “perbuatan” saya dalam mimpi itu bisa mendatangkan dosa atau membuat saya berdosa? Saya teringat petuah orangtua, jangankan dalam kata-kata dan perbuatan, keburukan dalam pikiran pun katanya juga mengundang dosa. Sampai di sini, sudi kiranya Bapak memberi saya pencerahan!Nyoman Putra DarsanaJl. G Andakasa, PadangsambianDenpasar BaratJawab:Mimpi itu mempunyai hubungan dengan jiwa. Berhubung saya bukan ahli jiwa yang dapat menganalisis jiwa, maka yang saya rujuk adalah sastra-sastra yang ada dalam agama Hindu, yaitu Upanisad dan tatwa. Upanisad yang penulis rujuk adalah Brhadaranyaka Upanisad (Br. Up) dan tatwanya adalah Jnana Tattwa.Dalam pustaka Brhadaranyaka Upanisad Bab IV disinggung mengenai jiwa dan mimpi ( swapna ) yang terjemahannya sebagai berikut.Br. Up IV 3.9Sesungguhnya, hanya dua keadaan atman di dunia ini dan keadaan dalam dunia yang lain. Ada keadaan yang ketiga, yaitu dalam keadaan tidur (mimpi). Dengan berdiri dalam keadaan peralihan ini atman melihat kedua keadaan, hidup di dunia ini dan hidup di dunia yang lain. Sekarang setelah atman melihat ada kebaikan dan kejahatan (dunia ini) dan kebahagiaan (dunia yang lain). Ketika seseorang pergi tidur dia membawa materi atau bahan-bahan dari dunia ini yang mempengaruhi segalanya, dia sendiri merobek-robeknya, dia sendiri membangunnya. Dia tidur (bermimpi) dengan keadaan itu, orang itu menjadi menerangi dirinya sendiri.Br. Up IV 3.11Ketika seseorang bermimpi atman yang membuat tubuh tertidur, tetapi atman sendiri tetap terjaga, dan memperhatikan kesan-kesan perbuatan-perbuatan yang masih berada dalam pikiran orang tersebut. Dengan menghubungkan dirinya dengan kesadaran alat-alat indria, atman mengerahkan tubuh supaya terbangun.Br. Up IV 3.12Melindungi sarang bawahnya dengan napas vital, Yang Abadi bergerak keluar dari sarangnya. Yang Abadi itu bergerak ke mana dia suka, makhluk emas itu burung yang menyendiri.Br. Up IV 3.13Dalam keadaan mimpi, ke atas dan ke bawah, Tuhan membuat banyak bentuk bagi dirinya, sekarang seolah-olah menikmati dirinya dalam teman wanita atau tertawa atau melihat pemandangan yang menakutkan.Br. Up IV 3.14Seseorang tidaklah seharusnya membangunkan orang yang tertidur secara tiba-tiba, sebab akan sukar memulihkannya apabila dia tidak kembali (langsung ke tubuhnya). Lain daripada itu dikatakan bahwa (keadaan tidur) hanyalah keadaannya pada waktu terjaga, sebab objek apa saja yang dilihat ketika ia terjaga, itu jugalah yang dia lihat ketika ia tertidur.Br. Up IV 3.15Setelah merasakan kenikmatan dalam keadaan tidur yang dalam, setelah ke mana-mana dan menyaksikan baik dan buruk, dia kembali lagi sebagaimana dia datang ke tempat dari mana ia mulai bermimpi (tempat tidur). Apa pun yang ia lihat dalam keadaan itu, dia tidak diikuti (dipengaruhi) olehnya, sebab jiwa ini tidak terikat (oleh apa pun).Br. Up IV 3.18Sama seperti ikan besar bergerak antara dua tepi sungai, di sini dan di sana, demikian juga jiwa ini bergerak antara dua keadaan, keadaan mimpi (tidur) dan keadaan jaga.Br. Up IV 3.19Seperti elang atau burung lain yang bergerak cepat setelah terbang mengelilingi langit menjadi lelah, melipat sayap-sayapnya dan turun ke sarangnya, demikian jiwa ini bergerak cepat ke dalam keadaan di mana dia menginginkan tiada keinginan dan tidak melihat mimpi.Br. Up IV 3.21Ini, sesungguhnya, adalah bentuknya yang bebas dari keinginan, bebas dari kejahatan, bebas dari ketakutan. Seperti seorang lelaki ketika dalam pelukan istrinya tercinta tidak mengetahui apa pun di dalam dan di luar, demikian orang itu ketika dalam pelukan jiwa yang pintar tidak mengetahui apa pun di luar maupun di dalam. Itu, sesungguhnya, adalah bentuknya di dalam mana keinginannya dipenuhi.Br. Up IV 3.23Sesungguhnya, ketika di sana (dalam keadaan tidur pulas) dia melihat, dia sesungguhnya melihat, sekalipun ia tidak melihat karena di sana penghentian melihat bagi yang melihat, karena ketidakhancuran (dari yang melihat).Jadi, Upanisad menyatakan keadaan mimpi adalah dunia perbatasan dunia ini dan dunia sana, antara hidup dan mati. Seperti sebuah sungai yang membatasi dua wilayah, tempat seekor ikan dapat berenang dari satu tepi ke tepi yang lain.Dengan sloka-sloka tentang mimpi dalam Brhadaranyaka Upanisad Bab IV sebenarnya juga memberikan penjelasan tentang dunia kematian. Untuk menjelaskan sifat-sifat jiwa, Upanisad memberikan analogi yang unik dan bagus sekali. Saat keadaan mimpi jiwa itu seperti seekor ikan yang dengan bebas berenang dari satu tepi ke tepi yang lain. Jiwa dengan bebas pergi dari dunia tidur ke dunia mimpi, dari dunia mimpi ke dunia sadar. Jiwa digambarkan seperti burung elang, yang terbang tinggi ke angkasa. Di angkasa ia menjelajah langit. Setelah lelah di langit ia melipat sayapnya dan turun kembali ke sarangnya. Demikianlah jiwa meninggalkan tubuh dalam tidur, untuk pergi ke mana-mana, lalu kembali lagi ke tubuh, ketika tubuh masih tidur. Dan, ketika jiwa masuk kembali ke dalam tubuh, kita bisa terus tidur atau segera bangun.Antara dunia tidur dengan mimpi dan dunia kematian memiliki kesamaan yang jelas. Dalam tidur dengan mimpi tubuh istirahat sementara, dan bangun lagi ketika jiwa masuk kembali ke dalamnya. Dalam dunia kematian, tubuh kita istirahat untuk selamanya, tepatnya kembali kepada lima unsur alam. Sedangkan jiwa melanjutkan perjalanan sesuai karmanya: ke surga (para leluhur) dan dari mana kembali lahir ke dunia memasuki badan baru, ke Brahmana-loka (moksha) dari mana mereka tidak kembali.Dalam mimpi ‘kita' melakukan perbuatan-perbuatan, seperti mendengar, berbicara, berpikir, menyentuh, makan, memancing, bahkan berkelahi. Dalam dunia sadar atau jaga/tidak tidur semua perbuatan itu kita lakukan melalui organ fisik kita, seperti melihat dengan mata, bicara dengan mulut, mendengar dengan telinga, berpikir dengan otak, mengambil atau menyentuh dengan tangan. Dalam mimpi seluruh organ tubuh kita istirahat. Jadi, jiwa melakukan tindakan-tindakan tidak melalui organ tubuh, tetapi melalui kesadarannya sendiri. Orang-orang yang pernah mengalami dekat kematian mengatakan, di dunia itu mereka ‘berbicara' tidak melalui mulut tetapi melalui pikiran atau kesadaran.Tindakan-tindakan ‘kita' dalam mimpi sama sekali tidak mempengaruhi diri kita. Misalnya, ketika dalam mimpi ‘kita' makan nasi, ketika kita bangun kita tidak langsung kenyang (kalau mimpi itu ditafsirkan mungkin akan mempengaruhi pikiran atau perasaan kita). Menurut Upanisad, apa pun yang dilihat, didengar atau dilakukan oleh jiwa tidak mempengaruhinya (tidak mengikutinya) karena jiwa memang tidak terikat pada apa pun.Bahkan, dalam keadaan tidur pulas, ketika mata dan indria yang lain sedang istirahat, jiwa ada melihat, sekalipun ia tidak melihat dengan mata. Yang melihat tidak pernah kehilangan sifat (kemampuan) melihat, sama seperti api tidak dapat kehilangan sifat membakar selama dia adalah api. Jiwa melihat, dengan cahayanya sendiri, seperti matahari, sekalipun di sana tidak ada yang kedua, tidak ada objek lain selain jiwa itu sendiri yang dapat dilihat, yang melihat dapat dilihat.Hal yang sama dengan melihat juga terjadi dalam merasa, mendengar, berpikir, berbicara, menyentuh, mengetahui, dan lain-lainnya.Ketika seseorang dalam keadaan mimpi, jiwa membuat badan tertidur, tetapi jiwa sendiri tetap jaga dan memperhatikan impresi/kesan perbuatan, yang telah tertinggal dalam pikiran. Dengan mengasosiasikan dirinya dengan kesadaran organ-organ indria, jiwa menyebabkan tubuh jaga/bangun.Tidur adalah syarat yang mutlak bagi kesehatan badan dan mental. Dalam tidur yang nyenyak ada istirahat dari kerinduan, keengganan, ketakutan, dan kecemasan. Dalam keadaan itu seorang manusia menjadi dasar suci semua makhluk.Jiwa dikatakan sebagai angsa yang kesepian, dia bergerak sendiri dalam keadaan jaga dan keadaan mimpi, dalam dunia ini dan dunia yang akan datang. Angsa adalah simbol jiwa Alam Semesta. Jiwa, sang Diri Sejati Yang Abadi, pergi ke mana pun ia mau. Jiwa lahir dalam tubuh, pergi dari keadaan kesadaran besar ke dalam kesadaran yang jauh lebih kecil, dan sementara itu lupa terhadap kebenaran yang ia ketahui ketika ia ada di luar tubuh. Kematian, sebaliknya, adalah bangun atau jaga dan mengingat. Plato mengatakan, jiwa yang telah keluar dari badan pada saat kematian dapat berpikir jauh lebih jelas dan lebih jernih daripada sebelumnya dan ia dapat mengenali segala sesuatu dalam sifatnya yang sebenarnya dengan jauh lebih mudah.Di samping uraian dari pustaka Upanisad tadi, mengenai mimpi liar, antara lain mimpi selingkuhan, merampok, dan lain-lainnya adalah karena pengaruh triguna, yaitu satwa, rajah, tamah . Dalam kasus ini condong pada rajah dan tamah . Hal ini diuraikan dalam pustaka Jnana Tattwa sebagai berikut.Nihan laksanikang citta rajah, an rumaket irikang citta, cancala adres molah, asinghra, panasbaran, aglis bangga, irsya, salahhasa, sahasa , capala wawang tka sahasa, tunengasih tunengwlasasih, kumalwihakenawak guna, genghati, krodhanya gong, gong sungsut, ahangkara, lobha, dambha, krura, taratakut, kabhinawa sapolahnya, mangdadyaken resning tuminghal, sabdanya mangdadyaken karnna sula ring sang mangrengo, alangghya ruhur pambekamnya, mangdadyaken hewaning citta ning para, tanangga korurwa, tanannga sor ring abhipraya, yeka wyaktinikang citta rajah, an rumaket irikang citta.Artinya:Inilah tanda-tanda citta rajah , bila melekati alam pikiran orang. Goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa, panas hati, cepat congkak, iri hati, cepat tersinggung, keras usil, cepat timbul kekerasannya. Kurang menaruh kasih sayang, mengagung-agungkan diri pandai. Angkuh, amat pemarah, sedih, egois, loba, tamak, bengis tidak mengenal takut, seram segala gerak-geriknya, menyebabkan hati orang takut memandanginya. Kata-katanya menyebabkan sakit telinga orang yang mendengarkannya. Sifatnya menentang, mengatasi, menyebabkan hati orang jengkel. Tidak mau rendah cita-citanya. Demikianlah hakikat citta rajah bila melekat pada citta (alam pikiran) orang.Nihan maksana ning citta tamah, an rumaket irikang citta, abeyet, almeh, guhya, simpaneh, kalusa, amangana, tananghel, atis, arip bot turu, geng mudha, gong raga, gong elik, gong hyun, gong wisaya, dreda ta ya suklasonita, mapulang maturu lawan anak rabinya, mangkana wyakti nikang citta tamah, an rumaket irikang citta.Artinya:Inilah tanda-tanda citta tamah , bila melekati alam pikiran. Berat, enggan, rahasia, malas, kotor, tak puas-puasnya makan. Dingin, mengantuk, kuat tidur, amat dungu, besar birahinya. Amat iri hati, berkeinginan keras, amat bernafsu, doyan dengan sanggama. Campur tidur dengan anak dan istrinya. Demikianlah hakikat citta tamah dan demikian tanda-tandanya, bila melekat dalam pikiran.Apa yang saya sampaikan adalah ucapan sastra. Tetapi, dalam dunia sakala sehari-hari ada yang mengatakan bahwa kalau mimpi bertemu mayat digotong, berarti akan mendapat rezeki. Kebalikannya, jika bermimpi ikut dalam pesta atau acara perkawinan maka yang bermimpi itu akan mendapat celaka. Jadi, kalau mimpi melihat yang duka mendapat rezeki, sedangkan mimpi yang enak-enak malah mendapat celaka. Percaya atau tidak, terserah!

Tuesday, November 13, 2007

Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan

Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh.(Dipetik dari Lontar Usana Dewa)

Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti. Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb: ...ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.
Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba: ...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni. Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.
Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa. Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.
Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb: ...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb: muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.

Membangkitkan Daya Spiritual di Hari Pagerwesi

Sang Hyang Agni adalah sebutan Tuhan sebagai Guru dalam Vana Parwa, sedangkan dalam konsep Siwa Paksa Tuhan sebagai Guru disebut Sang Hyang Paramesti Guru yang khusus dipuja saat hari raya Pagerwesi. Sementara dalam sistem pemujaan leluhur Sang Hyang Atma sebagai guru dalam Vana Parwa menjadi sistem pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dalam Hindu Siwa Paksa. Apa sesungguhnya makna hari raya Pagerwesi bagi umat Hindu?

Dalam Lontar Gong Wesi maupun Usana Dewa ada istilah Siwatma yang distanakan di Kamulan yang menjadi salah satu unsur Batara Hyang Guru. Pemujaan Sang Hyang Atma sebagai Batara Hyang Guru adalah pemujaan Guru yang ada dalam diri. Suara Sang Hyang Atma itu tiada lain adalah suara hati nurani. Berguru pada suara hati nurani itu adalah berguru pada Sang Hyang Atma yang masih bersemayam dalam diri.
Oleh karena itu pemujaan Sang Hyang Atma di Kamulan itu adalah untuk membangkitkan daya spiritual untuk berguru pada Tuhan dalam diri yang disebut Sang Hyang Atma. Sedangkan memuja Sang Hyang Paramesti Guru saat hari raya Pagerwesi dalam konsep Hindu Siwa Paksa adalah memuja Tuhan sebagai guru tertinggi di Bhuwana Agung. Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dan pemujaan Sang Hyang Paramesti Guru pada hari raya Pagerwesi adalah memuja Tuhan sebagai Guru di Bhuwana Alit dan Guru di Bhuwana Agung. Hal ini hendaknya dilakukan secara seimbang sebagai wujud beragama ke dalam diri (niwrti marga) dan beragama ke luar diri (prawrti marga).
Hari raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.
Hari raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, yang beragama Hindu.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan: ''Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwatumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh.'' Artinya: Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniwan pemimpin agama. Dalam Lontar Sundarigama disebutkan: Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah. Artinya: Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaam (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warga menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat pelaksanaan upacara Pagerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah Sesayut Panca Lingga, sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Pras Penyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan.
Banten yang paling inti perayaan Pagerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima adalah hari raya pemujaan untuk Guru suci yang ditekankan pada pemujaan pada Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu tentang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adiguru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sementara Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnima. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24.000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra.
Ke-24 suku kata suci dari Tri Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adiguru loka yaitu mahagurunya alam semesta. Ini artinya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan dan Sang Hyang Paramesti Guru pada hari raya Pagerwesi dalam tradisi Hindu Siwa Paksa memiliki makna yang sama dan searah dengan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dalam sistem pemujaan Guru dalam tradisi Hindu di India. Agama Hindu itu kemasan budaya luarnya berbeda tetapi isinya sama.

Monday, November 12, 2007

SELINGKUH DEKAT TEMPAT SUCI

Perkawinan dan PerselingkuhanAda beberapa surat yang datang dan menanyakan masalah perkawinan serta perselingkuhan. Suratnya panjang-panjang, karena sebelum menyampaikan pertanyaan, terlebih dahulu diawali dengan menjelaskan duduk soal mengenai latar belakang perkawinan dan perselingkuhan yang dimaksud. Surat datang, antara lain, dari: Made Arta di Tegalalang, Gianyar; Sucitra di Negara, Jembrana; Made Santi di Jalan Katrangan, Denpasar; Nyoman Susilayasa di Dawan, Klungkung. Ada beragam pertanyaan diajukan:1. Ada orang yang melakukan perselingkuhan dekat tempat suci. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh warga panyungsung tempat suci tersebut?2. Apakah melaksanakan perkawinan di rumah calon mertua dapat dibenarkan? Bagaimana akibat hukumnya bila perkawinan itu dilaksanakan tidak di alamat sendiri? Apakah sesudah perkawinan dilangsungkan suami beserta istri dapat kembali ke tempat orangtua si suami?3. Ketika saya melangsungkan perkawinan, sebagai sekadar bekal dalam menempuh hidup baru (berkeluarga), orangtua saya memberikan sedikit kekayaannya, berupa perhiasan emas. Cuma, hingga kini saya masih titipkan ke adik dan tidak memberitahukan pemberian itu kepada suami saya. Kalau diberitahu, khawatir suami kurang bisa menerima pemberian dari orangtua saya itu. Saya kurang tahu sampai sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga. Salahkah saya karena tidak memberi tahu suami perihal bekal tersebut ?4. Apa bedanya perkawinan secara adat, perkawinan sesuai Undang-Undang Perkawinan, dan kawin kontrak?Jawab:
Masalah perselingkuhan dekat tempat suci. Penganut Hindu mengenal tempat suci dan kawasan suci. Tempat suci warga Hindu disebut pura, dan yang dinamakan kawasan suci adalah tempat yang ada di sekitar tempat suci atau tempat yang diyakini suci. Termasuk kawasan suci berdasarkan Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI) Nomor 11/Kep./I/PHDI/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura, antara lain: gunung, danau, campuhan (pertemuan dua sungai atau lebih), pantai, laut, dan sebagainya yang diyakni memiliki nilai-nilai kesucian.Tempat-tempat suci dimaksudkan tadi memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran. Kekeran ini bisa ditentukan lewat ukuran apaneleng, apanimpug, dan apenyengker. Ukuran-ukuran atau batas kesucian satu pura tentu disesuaikan dengan tempat suci yang ada. Untuk kategori pura sad kahyangan dipakai ukuran apaneleng agung (minimal 5 km dari pura). Pura berstatus dang kahyangan radius kesuciannya dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 km dari pura), dan untuk kahyangan tiga dan lain-lain dipakai ukuran apanimpug dan apanyengker (batas tembok pura).Nah, menyangkut pertanyaan tentang ada orang yang melakukan perselingkuhan di tempat suci, sepatutnya dilihat dulu seberapa dekat perbuatan itu dilakukan? Apakah tempat perselingkuhan itu terjadi diyakini sebagai kawasan suci atau tidak? Ini penting dipastikan sebelum melakukan sesuatu, mengambil satu keputusan, termasuk mengenakan sanksi kepada orang yang melakukan perslingkuhan tadi. Kalau yang bersangkutan harus dikenakan sanksi, sanksi yang ditimpakan bukan untuk balas dendam atas dasar sentimen, melainkan sanksi yang benar-benar dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sakala dan niskala menurut keyakinan Hindu. Oleh karena itu, dalam hal ini yang penting adalah bahwa sanksi itu mengandung unsur sangaskara danda (upacara tertentu menurut keyakinan Hindu), sekecil apa pun sanksi yang dijatuhkan.Kemudian, masalah tempat melangsungkan upacara perkawinan. Perkawinan menurut orang Bali yang beragama Hindu, umumnya dapat dibedakan menjadi dua. Perkawinan biasa dan perkawinan nyentana . Dalam perkawinan biasa, rangkaiannya kurang lebih sebagai berikut: ada dua orang saling mencintai, kemudian merencanakan perkawinan.Sistem perkawinan seperti ini umumnya dilaksanakan dengan ngidih atau memadik (meminang) dan ngrorod atau ngerangkat (lari bersama). Sesudah itu dilanjutkan dengan menggelar upacara perkawinan di alamat suami. Upacara lain yang menyertai adalah: mapejati dan terakhir penyelesaian administrasi perkawinan. Jadi, lazimnya, perkawinan dilaksanakan di rumah mempelai laki-laki.Sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di alamat mempelai wanita biasanya disebut perkawinan nyentana . Dalam hal ini ada perubahan status, yaitu sang istri berubah status menjadi purusa atau laki-laki dan yang laki-laki berstatus predana atau wanita. Yang berubah adalah status hukumnya, menurut hukum adat Bali. Bukan alat kelaminnya!Perlu ditambahkan, perkawinan nyentana atau disebut pula perkawinan kaceburin . Perkaiwnan dengan cara ini biasanya dilaksanakan bagi orangtua yang tidak melahirkan anak laki-laki. Dalam hal ini, salah seorang di antara anaknya yang perempuan (biasanya anak perempuan tertua) akan tetap tinggal di rumah (sebagai sentana rajeg ). Anak inilah yang melanjutkan kewajiban orangtuanya. Sementara anak perempuan lainnya boleh melakukan perkawinan seperti biasa.Sehubungan dengan permasalahan yang Anda kemukakan, ada hal yang kurang jelas bagi saya. Apakah Anda akan melaksanakan perkawinan nyentana atau perkawinan biasa. Saya menangkap Anda akan melangsungkan perkawinan biasa.
Walaupun Anda melaksanakan perkawinan biasa, sebenarnya tidak ada larangan jika melangsungkan perkawinan di rumah calon mertua. Asalkan ada kejelasan bahwa keberadaan Anda di sana dalam rangka meminjam tempat perkawinan, bukan nyentana . Hal ini harus diketahui dan dimengerti terutama oleh Anda berdua, keluarga, dan masyarakat di tempat asal Anda, serta keluarga dan masyarakat di tempat perkawinan itu dilangsungkan. Hal ini penting dipertegas agar tak menimbulkan persepsi lain. Kalau semua sudah tahu dan mengerti, tidak ada konsekuensi hukum yang patut dikhawatirkan. Cuma, yang harus dipahami, kalau Anda merasa telah mempunyai rumah dan mempunyai keluarga, kenapa harus bingung mencari tempat melangsungkan upacara perkawinan? Laksanakan saja sesuai dengan yang lumrah berjalan selama ini. Gampang sekali.Dalam satu perkawinan memang terkadang ada orangtua memberikan secara sukarela kepada anak perempuannya sekadar bekal dalam menempuh hidup baru (berkeluarga). Pemberian oleh orangtua kepada anaknya menjelang perkawinan sebagai bekal berumahtangga, dikenal dengan istilah jiwa dana . Dapat berupa benda tetap (tanah) atau benda bergerak (emas, uang, dan lainnya). Nah, sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga dan apakah Saudari salah karena tidak memberi tahu kepada suami perihal dari mana harta tersebut didapatkan?Kalau dicap salah, mungkin tidak begitu amat. Tetapi, yang pasti, kurang etis. Sungguh tidak etis kalau seorang istri mendapat sesuatu dan tidak menyampaikan secara terus terang kepada suami. Lebih-lebih lagi yang namanya jiwa dana (pemberian secara sukarela dari orangtua). Secara yuridis (hukum) pemberian semacam ini sepenuhnya menjadi hak pihak yang diberikan atau si penerima. Harta semacam ini tidak akan menjadi harta bersama (suami istri), kecuali pihak yang menerima secara sukarela menjadikannya sebagai harta bersama. Bila harta itu tidak menjadi harta bersama, berarti pemilik bebas memanfaatkannya. Sebaliknya, kalau harta tersebut dijadikan harta bersama, maka setiap pemanfaatannya haruslah dengan persetujuan suami istri. Lebih baik yang mana, tetap dipertahankan menjadi milik sendiri atau dijadikan harta bersama? Ini yang mesti dipikirkan lebih matang. Kalau benda tetap (tanah), biasanya akan disertifikatkan atas nama sendiri agar ”keamanannya” lebih terjamin. Kalau benda bergerak, terserah Anda. Yang penting tulus dan terus terang agar terang terus. Kalau tidak terus terang, maka terus tidak terang.Perihal pertanyaan perbedaan antara perkawinan menurut hukum adat Bali, sesuai Undang-Undang Perkawinan, dan kawin kontrak. Perkawinan menurut ketentuan yang pertama dan kedua (ditelaah dari sudut hukum adat Bali dan Undang-Undang Perkawinan), tidak banyak bedanya. Artinya, kalau semua proses perkawinan menurut hukum adat Bali dilaksanakan, ditambah penyelesaian akte perkawinan, berarti sudah sama persis dengan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.Menyangkut kawin kontrak, minta ampun beribu-ribu ampun, saya tidak bisa menjelaskan. Terus terang, memang tidak tahu.

KETIKA SARASWATI MEMBELOKKAN LIDAH KUMBAKARNA

LAZIMNYA perayaan hari-hari besar keagamaan Hindu, perayaan Saraswati juga diwarnai dengan mitologi-mitologi yang makin memperkuat kenyakinan umat untuk memuja keagungan Tuhan. Menurut Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat yang juga dosen IHDN Denpasar Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., salah satu mitologi menarik tentang Dewi Saraswati tertuang dalam Utara Kanda yang merupakan bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita itu, Dewi Saraswati dikisahkan bersemayam secara gaib dalam lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan.
Menurut Wiana, Utara Kanda menceritakan pasangan suami-istri Resi Waisrawa dan Dewi Kaikasi yang berputra empat orang yakni tiga orang laki-laki dan seorang prempuan. Putra pertama bernama Dasamuka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi memerintahkan ketiga putra laki-lakinya bertapa di Gunung Gokarna. Ketiga putra sang Resi itu lantas membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di Gunung Gokarma. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekun. Karena ketekunannya, Dewa Brahma berkenan memberikan anugerah kepada mereka.
Pertama-tama, Dewa Brahma mendatangi Dasamuka dan bertanya apa yang diharapkan Dasamuka dari tapanya. Dasamuka mengajukan permohonan untuk dianugerahi kekuasaan di seluruh dunia. Seluruh dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia tunduk kepadanya. Permohonan itu dikabulkan Dewa Brahma.
Selanjutnya, Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan berkenan memberikan anugerah kepadanya. Putra Resi Waisrawa ini menyampaikan permohonannya agar dianugerahi kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Permintaan itu pun langsung dikabulkan Dewa Brahma.
Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna, para dewa datang menyembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak mengabulkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang mahahebat. Kalau Kumbakarna punya kesaktian, jelas akan sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma tetap bertekad memberikan anugerah karena tidak mau berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi, Kumbakarna juga melakukan tapa dengan sangat tekun sehingga layak mendapatkan anugerah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya -- Dewi Saraswati -- diutus supaya ber-stana di lidah Kumbakarna dan bertugas membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu, Dewa Brahma datang memberikan anugerah kepada Kumbakarna.
Kumbakarna memohon anugerah agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu, ia semestinya mengucapkan kata ''sukasada''. Namun, Dewi Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna sehingga ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah ''suptasada'' yang berarti selalu tidur. Andaikata Kumbakarna mendapat anugerah ''selalu hidup bersenang-senang'', maka besar kemungkinan ia selalu mengumbar hawa nafsu. Raksasa yang mengumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan dunia.
''Begitu peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia. Dalam konteks kehidupan nyata, kita juga harus bijaksana menyaring kata-kata sehingga tidak menimbulkan petaka bagi diri sendiri, orang lain maupun masyarakat secara luas,'' kata Wiana memaknai filosofi dari cerita tersebut.
Menurut Wiana, sejatinya masih banyak cerita lain yang mengungkap keagunan Dewi Saraswati. Misalnya, mitologi yang tertuang dalam kitab ''Aiterya Brahmana'' yang sejatinya menabur tuntunan hidup kepada umat untuk berbuat baik. Ditegaskan, semua cerita itu merupakan sebuah metode seni sastra agama untuk meletupkan kehalusan budi. ''Agama akan mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup dan seni akan menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan,'' tegasnya

Sunday, November 11, 2007

MEMUJA DEWI CANTIK

Hari ini, umat Hindu merayakan Hari Saraswati. Mari kita ucapkan doa pendek: Om Saraswati dipataya namah swaha. Oh, Dewi Saraswati, hamba memuja-Mu.
Memuja dewi yang cantik di pagi ini, umat Hindu hakikatnya memuja dewi yang menurunkan ilmu pengetahuan. Semua pustaka yang kita miliki -- dari buku pelajaran di sekolah, buku agama, sampai pada lontar -- diberi sesajen. Dan sesajen itu sendiri khusus karena ada yang disebut sesayut saraswati.
Dulu, para orangtua menganjurkan di Hari Saraswati tidak boleh membaca, dari pagi sampai malam. Bahkan saya ingat, di sekolah semua pelajaran yang tertempel di dinding kelas harus dibalik supaya tak ada yang bisa membacanya, baik disengaja maupun tidak. Ini tentu saja tergolong brata yang kebablasan.
Memang betul, pada saat pustaka (apakah itu buku atau lontar) diberi sesajen dan kita memuja Dewi Saraswati kita tak bisa membaca dan menulis. Ini dimaksudkan agar doa kita berlangsung khusyuk. Namun, karena ritual upacara itu umumnya dilakukan dari pagi sampai siang, di sore hari kita sudah bisa membaca. Justru dianjurkan untuk membaca, inilah hari yang baik untuk menimba ilmu pengetahuan dengan membuka-buka pustaka suci. Kita mencari ilmu pengetahuan tatkala Dewi Saraswati turun memberkati apa yang kita pelajari. Inilah hari yang penuh berkah bagi pemburu ilmu pengetahuan.
Di banyak tempat, pada hari ini terutama di malam hari, dilangsungkan malam sastra. Di Jakarta, malam sastra itu dipusatkan di Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur sampai pagi. Kebetulan pula, piodalan di pura ini mengambil hari raya Saraswati.
Di Pura Jagatnatha Denpasar, juga biasanya ada malam sastra pada malam ini. Selain dibaca sastra-sastra suci, ada pula diskusi tentang berbagai aspek ilmu pengetahuan. Di pedesaan malam sastra itu didominasi oleh pesantian.
Perayaan Hari Saraswati belakangan ini memang semarak di mana-mana. Sejak pagi hari anak-anak sekolah sudah berpakaian seperti umumnya melakukan persembahyangan. Di pasar, banten Saraswati sudah ramai dijual. Masalahnya adalah, bagaimana kita menyikapi perayaan Hari Saraswati agar tidak terjebak pada ritual melulu. Inilah tantangan di Bali, di mana kemeriahan upacara keagamaan lebih menonjol pada ritual dan bukan pada maknanya.
Masyarakat yang tinggal di kota sudah merasa puas hanya membeli banten Saraswati di pasar, mungkin pula tak melakukan cek lagi apa unsur-unsur banten itu sudah lengkap dan benar. Lalu banten disuguhkan di depan tumpukan buku-buku keluarga. Kalau cuma ini yang kita lakukan dan kita tidak mencari makna lebih dalam dari Hari Saraswati, kalau cuma terpaku pada sesayut saraswati, daksina, ajuman dan sebagainya, kita selalu ''berjalan di tempat'' tak akan bisa maju. Kita harus meresapi, apa semangat dari turunnya sang dewi yang cantik jelita ini.
Dewi Saraswati turun memegang kitab suci (cakepan, lontar dan sebagainya tergantung sang pelukis) jelas karena Beliau membawa misi menyebarkan ilmu pengetahuan. Namun, tangan Sang Dewi juga membawa genitri, sebagai lambang bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang tiada henti dan tidak ada habisnya. Genitri juga alat untuk melakukan japa, aktivitas spiritual menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Kalau Dewi Saraswati kita puja berulang-ulang berarti ilmu pengetahun kita perlukan setiap saat.
Genitri menyiratkan bahwa ilmu itu harus dicari dan dipelajari tiada henti. Malam sastra tak hanya pada malam ini saja, tetapi hendaknya berkesinambungan. Jangan berhenti untuk belajar dan jangan pernah merasa tua untuk belajar. Belajar seumur hidup. Inilah semangat yang disimbolkan dari genitri di tangan dewi cantik itu.
Kalau saja umat Hindu memaknai Hari Saraswati dengan baik dan tekun melaksanakan apa yang tersurat dari sastra agama, maka tak ada alasan sumber daya manusia (SDM) Hindu terpuruk seperti sekarang ini. Kalau konsep belajar seumur hidup diterapkan di kalangan umat Hindu, tak ada ceritanya umat Hindu banyak yang buta aksara. Tragis, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, SDM Hindu paling rendah, padahal umat Hindu punya hari raya Saraswati. Jelas sekali kita hanya sibuk melaksanakan ritual saja, tanpa peduli dengan konsep ajaran dan tatwa agamanya.
Di Hari Saraswati kita hanya ingat membuat sesayut sasraswati atau bahkan cuma ingat membelinya, tetapi kita lupa membaca pustaka-pustaka yang kita miliki. Atau bahkan kita lupa memperbanyak pustaka sehingga ilmu kita ''tak bersambung'' seperti genitri.
Tangan Sang Dewi membawa wina, di Bali disebut rebab. Ini adalah simbol ilmu pengetahuan itu sesuatu yang indah dan orang yang berilmu hidupnya akan indah. Dewi Saraswati turun disertai unggas angsa, binatang cerdik yang bisa menemukan makanan di dalam lumpur. Makanan masuk ke perut, sedangkan lumpur tidak. Ilmu pengetahun juga begitu, harus disaring. Kalau ilmu dipakai untuk merusak, membuat bom dan diledakkan untuk membunuh orang, untuk korupsi dan menipu rakyat, maka ilmu itu tidak ada gunanya. Ilmu disaring untuk kebaikan umat. Kalau orang bisa melakukan hal ini, maka sempurnalah mereka sebagai pemuja Saraswati, orang itu menjadi berwibawa sebagaimana Dewi Saraswati turun membawa bulu merak, lambang kewibawaan.Jadilah pemuja Sang Dewi yang punya harkat, berilmu dan berwibawa. Om Saraswati namas tubhyam warade kana rupini. Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati pemberi berkah, hamba memuja-Mu.

PERAYAAN SARASWATI

Saniscara Umanis Wuku Watugunung atau Sabtu (10/11) hari ini, segenap umat Hindu di seantero Bali kembali larut dalam kekhusyukan persembahyangan Saraswati. Sebuah momen penting dalam gerak kehidupan manusia Hindu yang diyakini sebagai hari turunnya segala jenis ilmu pengetahuan yang akan mencerahkan dunia. Yang terpenting dilakukan oleh umat, pada perayaan Saraswati itu mereka juga diwajibkan melakukan moratorium. Diam sejenak untuk nyelisik bulu (instropeksi-red) apakah ilmu pengetahuan yang dimilikinya sudah diamalkan untuk kebaikan dan kemuliaan umat atau sebaliknya. Aktivitas moratorium juga wajib dilakukan oleh para pejabat pembuat kebijakan, apakah kebijakan yang telah mereka ambil sudah berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, momen perayaan Saraswati tidak cukup dimaknai dengan melaksanakan persembahyangan maupun pantangan membaca dan menulis yang sudah dilakoni umat Hindu dari generasi ke generasi.

Dihubungi Jumat (9/11) kemarin, Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. dan Dekan Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Drs. I Wayan Suka Yasa, M.Si. membenarkan bahwa perayaan Saraswati dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk nyeliksik bulu, instrospeksi, dan bersiap diri untuk menata kehidupan yang lebih baik. Merenungi dan mengevaluasi kembali apakah ilmu pengetahuan itu sudah benar-benar diamalkan sesuai fungsinya. ''Kenapa kita diminta diam sejenak dan pantang membaca serta menulis saat hari raya Saraswati, tujuannya jelas agar kita punya ruang yang lapang untuk mengevaluasi diri,'' kata Wiana dan dibenarkan oleh Suka Yasa.
Pada hari raya Saraswati, kata Wiana dan Suka Yasa, umat Hindu memuja Dewi Saraswati yang diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali, Dewi Saraswati disebut sebagai ''Hyang Hyangning Pangewruh''. Hari raya untuk memuja Saraswati dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Saniscara Umanis Watugunung. Kesokkan harinya atau Redite Paing Wuku Sinta dilaksanakan Banyu Pinaruh yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Ini berarti, perayaan Saraswati mengambil dua wuku yakni Wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan Wuku Sinta (wuku yang pertama) atau disebut juga sebagai wuku nemugelang (pergantian dari wuku puncak menuju wuku baru-red).
''Wuku nemugelang ini diyakini sebagai momen yang sangat sakral dan mencuatkan aura spiritual yang sangat kuat. Momen yang sangat ideal untuk melakukan yoga samadhi maupun introspeksi diri. Makanya, puncak perayaan Saraswati biasanya dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk melakukan samadhi,'' kata Suka Yasa.
Pada Saniscara Wuku Watugunung itu, kata Wiana dan Suka Yasa, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi itu diaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. ''Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari,'' kata Wiana mengingatkan.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, kata Wiana dan Suka Yasa, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari, umat tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Namun, ada juga umat yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh alias ''puasa'' membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, lewat tengah hari mereka sudah dapat membaca dan menulis. Bahkan, di malam hari mereka dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.
''Pada intinya, ada tiga tingkatan pelaksanaan upacara Saraswati. Tingkatan kanista di mana umat hanya melaksanakan persembahyangan Saraswati tanpa disertai pantangan membaca dan menulis. Tingkat madya di mana umat melakukan persembahyangan Saraswati dan pantang membaca dan menulis hingga tengah hari. Sedangkan tingkat utama, umat melakukan Brata Saraswati selama 24 jam penuh dan selama rentang waktu itu sama sekali tidak melakoni aktivitas membaca dan menulis,'' papar Wiana panjang lebar.

Tiga Tingkatan
Wiana dan Suka Yasa menambahkan, mayoritas umat Hindu di Bali umumnya merayakan Saraswati tingkat madya. Ini berarti, mereka hanya pantang membaca dan menulis selama setengah hari di mana malam harinya mereka melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Pada malam sastra itu, umumnya diselipi dengan kegiatan dharma wacana yang bertujuan memberikan pencerahan jiwa kepada umat. Keesokan harinya atau bertepatan dengan hari pertama Wuku Sinta, mereka melangsungkan upacara Banyu Pinaruh.
Bentuk prosesi upacara berupa mengaturkan laban nasi pradnyan air kumkuman dan loloh sad rasa (jamu mengandung enam rasa-red). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Rangkaian upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan. ''Upacara Banyu Pinaruh ini juga dirangkaikan dengan mandi di laut yang bertujuan untuk membersihkan diri, pikiran dan jiwa dari segala jenis mala (kekotoran-red),'' kata Suka Yasa dan Wiana kompak.
Upacara dan upakara dalam agama Hindu, kata Wiana, pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, Saraswati berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis meskipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.
Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. ''Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman,'' katanya seraya memaparkan makna perayaan Saraswati secara panjang lebar.

PERKAWINAN HINDU DENGAN PERAWAN

Kawin dengan Simbol PurusaBapak Pengasuh Rubrik Susila, pada sebuah desa di Gianyar saya mendapatkan satu kisah yang tergolong langka menyangkut perkawinan. Di desa bersangkutan ada seorang pemudi yang hamil di luar nikah. Sayang, yang menghamili tak bertanggung jawab, malahan menghindar dengan pergi ke luar daerah. Betapa terenyuh hati si wanita ini, apalagi kehamilannya terus membesar, sedangkan lelaki yang diharapkan mempertanggujawabkan perbuatannya tak juga datang.Wanita yang mengandung itu beserta keluarganya sempat kebingungan. Di satu sisi ingin menyelamatkan jabang bayi yang tak berdosa, makanya tak digugurkan. Di lain pihak, bila dibiarkan sampai bayi itu lahir, berarti harus ada lelaki yang mengawini si wanita hamil ini, sehingga anak yang lahir nanti sah secara adat maupun agama. Pernah ada keinginan dari pihak keluarga untuk ‘meminjam' salah satu keluarga laki agar mau melangsungkan upacara perkawinan. Habis upacara si laki tadi tak lagi ada ikatan tanggung jawab apa pun terhadap si wanita hamil maupun sama anaknya kelak.Sayang, tak ada keluarganya yang rela melakukan langkah itu, hingga akhirnya untuk menghilangkan aib sekaligus tak membuat leteh desa jika anaknya sampai lahir nanti, si wanita ini memilih tidak menggugurkan kandungan. Dia rela kawin mengikuti kesepakatan keluarga, yakni dengan simbol purusa (berwujud adegan ). Unik, memang. Tapi, itulah kenyataan yang pernah terjadi di desa tersebut.Yang menjadi pertanyaan saya, apakah perkawinan seperti ini bisa dianggap sah? Bagaimana bila dihubungkan dengan etika yang berlaku di masyarakat, apakah langkah yang ditempuh wanita hamil tadi beserta keluarganya bisa dianggap tindakan yang benar, demi untuk menyelamatkan si bayi dan menghilangkan leteh di desa? Jawaban dari Bapak Pengasuh Susila sangat penting kami dapatkan guna meredam simpang siur pendapat di masyarakat, khususnya di desa yang warganya pernah melaksanakan cara perkawinan seperti yang disebutkan tadi.
Jawab :
Di Bali, kasus seperti yang Saudara ceritakan itu lumrah disebut lokika sanggraha. Intinya, terjadi kehamilan pada seorang wanita karena perbuatan seorang lelaki, namun lelaki tersebut tidak mengakui perbuatannya di kemudian hari. Kasus seperti ini sudah sangat lumrah di Bali, sebab tidak hanya terjadi di Gianyar, melainkan juga terjadi di mana-mana. Bahkan sudah terjadi sejak dahulu.Menikahkan wanita yang hamil tersebut dengan simbol purusa adalah satu-satunya cara terbaik yang selama ini sudah dipilih dan diterima luas oleh umat Hindu di Bali. Jadi, pernikahan tersebut adalah sah menurut adat, tradisi, dan kebiasaan, serta norma yang ada sekaligus dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali. Fenomena ini memang tidak bisa sepenuhnya memuaskan perasaan kemanusiaan kita, apalagi perasaan spiritual kita yang selalu harus diukur berdasarkan sasuluh sastra, guru, dan sadhu. Apakah manusiawi, misalnya, menyandingkan sebilah keris yang kita anggap sebagai simbol purusa dengan seorang pengantin wanita? Mungkin menurut kaidah-kaidah keagamaan dan norma dalam tradisi hal itu dapat diterima, namun kenyataannya hal ini tetap tidak memuaskan perasaan kemanusiaan kita. Oleh karena itu, meskipun perkawinan dengan simbol purusa ini dianggap sah, namun orang tetap menggugatnya dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah perkawinan seperti ini bisa dianggap sah?”Logika yang dijadikan dasar pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah sama dengan uraian Saudara Agus tadi, yaitu untuk menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa. Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah.Tentang menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama Hindu disebut w iwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah—yang sebenarnya menjadi sumber leteh— disucikan dengan upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta.Jadi, keputusan wanita yang hamil untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan yang benar. Selama ini belum ada alternatif lain yang bisa diterima secara umum. Memang, kadang-kadang ada tawaran dari pihak keluarga, agar wanita hamil itu menikah dengan salah satu anggota keluarganya secara simbolis. Artinya, setelah nikah lelaki itu bebas dari tanggung jawab. Tetapi, hal ini sangat jarang terjadi. Jarangnya pilihan ini dilakukan bukanlah tanpa alasan. Sebab, perkawinan itu, baik secara spiritual maupun sosial, mempunyai akibat hukum sehingga tidak bisa dilakukan secara berpura-pura.Ada kalanya pernikahan antara wanita hamil di luar nikah itu dengan salah satu anggota keluarganya dilakukan secara sungguh-sungguh. Artinya, lelaki yang adalah keluarganya itu menerima wanita hamil luar nikah itu, sebagai istrinya yang sah, sehingga dilangsungkanlah upacara perkawinan yang sebenarnya. Dalam beberapa catatan hukum adat di Bali, kita menemukan solusi ini pernah dipilih oleh kalangan yang sangat terbatas. Tetapi, karena masih menyisakan masalah-masalah ikutan, atau masih menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya tentang status atau kedudukan anak yang akan dilahirkan kelak, maka langkah ini tidak menjadi populer.Penerimaan masyarakat atas sah-tidaknya perkawinan dengan simbol purusa ini, apabila dilihat dari sudut pandang agama, tampaknya sengaja dikaburkan. Itulah sebabnya, penerimaan oleh masyarakat dibatasi dalam kerangka norma-norma adat, tradisi, dan kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat Hindu di Bali. Mengapa demikian? Jawaban atas pertanyaan ini adalah bertumpu pada kenyataan, bahwa titik awal dari kasus lokika sanggraha ini adalah dimulai dari pelanggaran atas norma agama.
Sebagaimana diketahui, seks pranikah yang menjadi sumber kemelut ini adalah melanggar norma agama Hindu. Dalam agama Hindu, perkawinan harus dilangsungkan di antara pasangan calon pengantin pria dan wanita yang masih perawan, atau dikenal dalam purana-purana dengan terminologi a ksata-yoni. Jadi, dapat dimaklumi apabila upacara perkawinan dengan simbol purusa ini tetap digugat keabsahannya hingga kini, karena memang ia dimaksudkan sebagai “penyelaras” atas ketidakseimbangan kosmis sebagai akibat tindakan asusila.Usaha penyelarasan itu adalah sebuah usaha yang sangat berat. Namun, dalam hal menghindari stagnasi dan korban yang lebih besar sebagai akibat tindakan asusila itu atau tindakan-tindaan pelanggaraan atas norma-norma agama secara keseluruhan, maka solusi melalui perkawinan dengan simbol purusa semacam ini, boleh dikatakan jalan keluar yang sangat cerdas.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwa dalam kasus lokika sanggraha ini, pihak yang selalu menjadi korban adalah kaum wanita dan keluarganya. Mereka menerima aib sekeluarga, bahkan desa mereka juga ikut tercemar ( leteh ), karena ulah satu orang lelaki. Oleh karena itu, kiranya tidaklah berlebihan jika kita juga ikut mengingatkan para orangtua di Bali, agar—sesuai dengan ajaran agama Hindu: aksata yoni, yang di Bali dituangkan dalam simbol menusuk tikar daun pandan—menjaga keperawanan putra-putrinya sampai ke jenjang pernikahan.

JENIS DAN MAKNA TIRTA PENGABENAN

Ngaben dengan Banyak TirtaSaban upacara ngaben saya sering memperhatikan pemakaian sejumlah tirta. Di antaranya: tirta panembak, tirta pangentas, tirta balu, tirta pamanah, dan lain sebagainya. Dilihat dari nama-nama tirta bersangkutan, rasanya nama tirta tersebut berasal dari bahasa lokal, yakni bahasa Bali, bukan dari bahasa Sansekerta.Pertama, saya ingin tanyakan makna kata panembak, pangentas, pamanah, termasuk kata balu. Dilihat dari bentuk, fungsi, dan maknanya apa sesungguhnya hakikat yang dimaksud tirta-tirta tersebut? Misalnya, kenapa disebut tirta balu, tirta panembak, tirta pangentas, dan tirta pamanah ?Kedua, bagaimana urutan yang benar pemakaian bersangkutan dalam upacara ngaben?Ketiga, baru-baru ini seorang teman yang sempat bertirtayatra ke Sungai Gangga, India, menawari saya semangkok tirta dari Sungai Gangga. Menurut penuturan teman saya, konon tirta ini bagus untuk memerciki jenazah yang segera dibakar, karena menghapus segala dosa dan kepapaan, melengkapi tirta-tirta lain yang lumrah dipakai di Bali. Karena dia teman baik, saya terima saja tirta bersangkutan, namun karena ragu tirta itu saya simpan di mrajan. Saya belum berani memakai tirta dari Sungai Gangga itu sembarangan. Pertanyaan saya, patutkah tirta Gangga itu dipakai dalam upacara ngaben?


Simbolisasi atau pelambangan dalam agama Hindu disebut nyasa. Simbolisasi itu diakui oleh agama Hindu betapa penting digunakan dalam upaya manusia menghubungkan diri dengan Hyang Widhi—karena Hyang Widhi hanya dapat diwujudkan dalam suatu pelambangan. Simbol-simbol itu sendiri penting pula artinya bagi ajaran psikokosmos, suatu ajaran yang dijelaskan berdasarkan simbol-simbol alam kejiwaan dan alam dunia fana ini, juga hubungannya dengan alam gaib, dalam bentuk hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos atau buana-agung dengan buana-alit.Dunia atau buana-agung ini adalah suatu realitas yang dihadapi manusia. Adanya manusia itu sendiri juga adalah suatu realitas. Maka itu, dalam diri manusia muncul suatu dorongan ingin tahu terhadap sesuatu secara realitas pula. Dengan lain kata, bahwa segala sesuatunya ingin dihayati secara realitas. Atas dasar pandangan ini maka suatu yang abstrak ingin diwujudkan secara konkret oleh manusia. Dalam upaya mengongkritkan yang abstrak itulah muncul suatu simbolisasi atau lambang dalam imajinasi manusia yang kemudian diekspresikan ke dalam suatu wujud konkret.Simbolisasi Hyang Widhi bermacam-macam bentuknya, sesuai tanggapan rohani manusia. Simbol itu merupakan inspirasi para seniman yang hendak menggambarkan Hyang Widhi dalam seni dan imajinasi manusia, dan berarti penggambaran sifat-sifat Hyang Widhi yang dituangkan ke dalam seni, baik seni rupa, seni sastra, maupun seni bahasa. Dengan demikian, maka banyak simbol yang dijumpai dalam agama Hindu.Tirta merupakan simbol atau pelambang penyucian atau pemutus, penangkal, dan lainnya. Tirta ada dua macam, yaitu tirta yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan batara-batara, kemudian ada pula tirta yang dibuat pendeta lewat puja.Tirta bukanlah air biasa, melainkan benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci, untuk membuktikan kesuciannya. Tirta itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan penganut Hindu tak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirta adalah sarana agama. Membuktikan kebenaran agama dasar utamanya adalah kepercayaan. Rasio hanya sebagai pembantu saja.Kalau tirta itu dipandang secara rasional semata, tidaklah lebih daripada air biasa. Bila diuraikan secara ilmu kimia adalah H2O, yaitu dua hidrogen dan satu oksigen. Karena itu, kesucian tirta hanya dapat dibuktikan kalau diyakini sebagai benda agama, di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa sebagai manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itu pula sebabnya penganut Hindu dalam melakukan persembahyangan, sikap yang paling penting ditumbuhkan pada diri sendiri adalah kepercayaan pada sarana-sarana tersebut, sebagai bukti sarana yang memiliki kekuatan magis, relegius, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa.Setiap banten dalam upacara yajnya , sebelum dipersembahkan, terlebih dahulu dibersihkan serta disucikan secara simbolis dengan tirta pembersihan yang dibuat pendeta. Kewajiban menyucikan upacara atau banten yang akan dipersembahkan disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa Gong Wesi sebagai berikut: “ salwir bebanten yadnya matirta yan tan karyan pedanda putus ten ketampi aturannya. ” Artinya: segala/sajian bebanten kalau tidak disucikan dengan tirta yang dibuat oleh padanda utama, tidak akan diterima persembahannya.Berpijak dari penjelasan dalam lontar Kusuma Dewa Gong Wesi tadi, maka setiap upakara yang disucikan dan digunakan sebagai sarana persembahan, terlebih dahulu diperciki tirta pangelukat . Istilah pangelukat berasal dari kata lukat yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti ‘pembersihan'. Ini proses penyucian tahap pertama untuk membebaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara keagamaan dari segala kotoran fisik dan spritual. Adapun tirta pembersihan merupakan suatu kenyataan bahwa segala sesuatu itu sudah benar-benar bersih suci.Ada beberapa tirta atau toya yang dipakai dalam sebuah upacara, antara lain:a. tirta pembersihan;b. tirta pangelukatan;c. tirta kakuluh;d. tirta panembak;e. tirta pamanah;f. tirta pangentas.Pendeta dalam membuat tirta pembersihan dan pangelukatan terhadap segala perlengkapan dalam upacara menggunakan mantra Aspu Dewa , yakni mantram yang memohon kepada Dewi Gangga agar menyucikan atau melepaskan segala yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara dari segala pengaruh negatif. Di samping itu, ada pula pendeta menggunakan mantram pangelukatan lain.Untuk pangelukatan segala sesajen mantramnya: Om sidhi Guru Srang Sarasat, Om sarwa wighanaya namah, sarwa klesa sarwa roga, sarwa satru, sarwa papa, winasaya namah swaha. ”
Mantra tadi adalah mantram tirta pangelukatan yang dibuat pendeta. Mantra ini pada hakikatnya bertujuan agar upacara dapat terlepas dari godaan atau hambatan. Penyakit, cacat, musuh, dan papa supaya lenyap semua.Jika tirta dari pamangku atau pinandita umumya dibuat melalui memohon ke hadapan Dewa Siwa atau nuur. Dewa Siwa yang berstana di Pura Besakih (Gunung Agung) puja permohonan tirtanya terdapat dalam mantram puja lontar Sangkul Putih , dalam bentuk puja saa pamangku. Puja pembuatan tirta ini untuk penyucian sesajen dan alat-alat kelengkapan upacara. Adapun pembuatan tirta pangelukatan untuk hal-hal lain, misalkan tirta pangelukatan pitra yajnya , berbeda dengan tirta pangelukatan untuk yajnya lain.Tirta pangelukatan pitra yajnya terdapat dalan lontar Pitra Yajnya , sedangkan puja pangelukatan untuk orang sakit dicantumkan dalam lontar-lontar Usadha.Selain tirta pangelukatan , dikenal pula tirta pembersihan ( pabersihan—R ed.) yang fungsinya sama dengan tirta pangelukatan . Cuma, tirta ini dipergunakan untuk penyucian tingkat lanjut. Kalau tirta untuk memohon kelepasan segala kotoran, maka pemujaan ditujukan kepada Dewa Gangga dan Dewa Siwa.Puja pembuatan tirta pembersihan, di samping pada Dewi Gangga juga ditujukan kepada Pancadewata dalam lambang wijaksara sebagai urip bhuana dan ditujukan pada sungai-sungai suci di India, sebagai wujud nyata anugerah Tuhan untuk pembersihahan secara lahir dan batin semua unsur yang terkait dengan yajnya . Puja pembuatan Tirta pembersihan tersebut antara lain:Om AnantasanayanamahOm PadmasanayanamahOm, i, ba, sa, ta, a,Om, ya, na, ma, siwa,Mang Ang Ung Namah,Om Aum Dewa Pratistha ya namahOm Sa ba ta a iOm nama siwayaAng Ung Mang NamahOm Gangga Saraswati Sindhu, Wipasa Kausikinadhi,Yamuna maha srestha Serayu, ca mahanadhi,Om Ganggadewi maha punya Ganggasahastra medhini.Gangga tarangga Samyukte Ganggadewi namostute,Om Gangga mahadewi sadupama mrtanjiwani.Ongkaraksa bhuwana padamrta manohara,Utpati sarwanitaca, utpatiwa sriwahitan.Puja tadi bermakna lebih meningkatkan kesucian dengan memuja kekuatan suci Tuhan yang diwujudkan ke dalam tujuh sungai di India yang dianggap sebagai lambang penyucian. Ketujuh sungai yang sering pula disebut Saptatirta itu: Sungai Gangga, Saraswati, Sindhu, Yamuna, Serayu, Kausaki, dan Mahasresta. Demikianlah, tirta pangelukatan dan tirta pembersihan, mempunyai makna pembersihan, penyucian lahir dan batin terhadap seluruh unsur yang terkait dalam pelaksanaan upacara pancayajnya.Setelah tahu bahwa sulinggih atau pendeta memuja air suci Gangga di India untuk “diturunkan” ke Bali, akhirnya tak perlu mendapatkan air suci Gangga lagi. Kalau ada yang memberi atau membawakan, tidak apa. Boleh saja dipakai.Arwah orang yang baru meninggal dan belum diaben disebut petra , yakni arwah yang masih dilekati kekotoran sehingga perwujudannya disebut bhutacuil . Arwah demikian masih berada di bhuh-loka.Apabila sudah diabenkan, maka arwahnya disebut pitara. Arwah ini telah suci karena sudah melakukan dwijati dengan memohonkan pada Hyang Widhi. Arwah yang demikian itu sudah berada di bhuwah-loka , disebut pula alam pitra.Arwah dalam tingkatan pitara belum bisa ke swah-loka atau alam dewata yang juga disebut swarga , karena belum melakukan upacara peningkatan kesucian yang terakhir, yaitu upacara mamukur atau nyekah . Mamukur artinya menuju alam atas, yakni alam di atas bhuwah-loka , yaitu swah loka.Swah loka juga disebut swarga yang artinya berada di dalam swah . Upacara mamukur adalah upacara peningkatan kesucian arwah menjadi dewa pitara , artinya pitara yang telah berada di alam-dewa, yaitu swah-loka . Karena dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya berada di alam-dewa dan juga berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara juga diberikan sebutan batara kawitan , sebagaimana yang dipuja di palinggih kamulan atau kawitan oleh keturunannya.Di samping tirta pembersihan yang telah diuraikan, khusus dalam upacara ngaben ada pula tirta:a. toya panembak yang digunakan saat memandikan mayat. Tirta ini mengandung makna membersihkan jasad orang yang meninggal dari kotoran-kotoran lahir batin. Toya ini diperoleh pada tengah malam dan mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan mayat, toya panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir.b. tirta pangelukatan . Tirta ini mengandung arti bahwa orang yang diabenkan diruwat mala pataka- nya oleh tirta ini.c. tirta pamanah . Satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan membawa “panah” yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.d. tirta pangentas . Kata pangentas berasal dari tas yang berarti putus. Dalam upacara pengabenan ada istilah tiuk pangentas yang artinya pisau untuk memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan air suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan ngaben yang besar, tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat menyatunya purusa dan prakerti . Tanpa tirta pangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa diputuskan.Bagi orang-orang yogin, mereka telah dapat memutuskan sendiri ikatan dengan kekuatan yoganya sehingga mereka bisa melakukan moksa angga . Dalam Yoga Kundalini dikemukakan, apabila yoganya telah mencapai titik kulminasi maka akan muncul panas dan dari panas inilah muncul api yang membakar stula -nya, sebagaimana yang dilakukan Ida Padanda Sakti Wawu Rauh di Uluwatu pada zaman dulu. Itu sebabnya, tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara ngaben.Bila ditinjau dari sisi materialnya, tirta pangentas tak banyak berarti, namun dari sudut spiritual tirta inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya upacara ngaben dimaksudkan mencapai tujuan. Seberapa besar upacara ngaben dilaksanakan, jika tak memakai tirta pangentas , maka upacara itu akan sia-sia.e. tirta kakuluh , bermaksna sebagai pemberian restu kepada orang yang diabenkan.Khusus untuk tirta balu, seperti yang Saudara tanyakan, sayang penulis belum pernah melihat atau memberi penjelasan mengenai tirta jenis ini