Pages

Bali Google Search

Custom Search

Sunday, November 11, 2007

MEMUJA DEWI CANTIK

Hari ini, umat Hindu merayakan Hari Saraswati. Mari kita ucapkan doa pendek: Om Saraswati dipataya namah swaha. Oh, Dewi Saraswati, hamba memuja-Mu.
Memuja dewi yang cantik di pagi ini, umat Hindu hakikatnya memuja dewi yang menurunkan ilmu pengetahuan. Semua pustaka yang kita miliki -- dari buku pelajaran di sekolah, buku agama, sampai pada lontar -- diberi sesajen. Dan sesajen itu sendiri khusus karena ada yang disebut sesayut saraswati.
Dulu, para orangtua menganjurkan di Hari Saraswati tidak boleh membaca, dari pagi sampai malam. Bahkan saya ingat, di sekolah semua pelajaran yang tertempel di dinding kelas harus dibalik supaya tak ada yang bisa membacanya, baik disengaja maupun tidak. Ini tentu saja tergolong brata yang kebablasan.
Memang betul, pada saat pustaka (apakah itu buku atau lontar) diberi sesajen dan kita memuja Dewi Saraswati kita tak bisa membaca dan menulis. Ini dimaksudkan agar doa kita berlangsung khusyuk. Namun, karena ritual upacara itu umumnya dilakukan dari pagi sampai siang, di sore hari kita sudah bisa membaca. Justru dianjurkan untuk membaca, inilah hari yang baik untuk menimba ilmu pengetahuan dengan membuka-buka pustaka suci. Kita mencari ilmu pengetahuan tatkala Dewi Saraswati turun memberkati apa yang kita pelajari. Inilah hari yang penuh berkah bagi pemburu ilmu pengetahuan.
Di banyak tempat, pada hari ini terutama di malam hari, dilangsungkan malam sastra. Di Jakarta, malam sastra itu dipusatkan di Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur sampai pagi. Kebetulan pula, piodalan di pura ini mengambil hari raya Saraswati.
Di Pura Jagatnatha Denpasar, juga biasanya ada malam sastra pada malam ini. Selain dibaca sastra-sastra suci, ada pula diskusi tentang berbagai aspek ilmu pengetahuan. Di pedesaan malam sastra itu didominasi oleh pesantian.
Perayaan Hari Saraswati belakangan ini memang semarak di mana-mana. Sejak pagi hari anak-anak sekolah sudah berpakaian seperti umumnya melakukan persembahyangan. Di pasar, banten Saraswati sudah ramai dijual. Masalahnya adalah, bagaimana kita menyikapi perayaan Hari Saraswati agar tidak terjebak pada ritual melulu. Inilah tantangan di Bali, di mana kemeriahan upacara keagamaan lebih menonjol pada ritual dan bukan pada maknanya.
Masyarakat yang tinggal di kota sudah merasa puas hanya membeli banten Saraswati di pasar, mungkin pula tak melakukan cek lagi apa unsur-unsur banten itu sudah lengkap dan benar. Lalu banten disuguhkan di depan tumpukan buku-buku keluarga. Kalau cuma ini yang kita lakukan dan kita tidak mencari makna lebih dalam dari Hari Saraswati, kalau cuma terpaku pada sesayut saraswati, daksina, ajuman dan sebagainya, kita selalu ''berjalan di tempat'' tak akan bisa maju. Kita harus meresapi, apa semangat dari turunnya sang dewi yang cantik jelita ini.
Dewi Saraswati turun memegang kitab suci (cakepan, lontar dan sebagainya tergantung sang pelukis) jelas karena Beliau membawa misi menyebarkan ilmu pengetahuan. Namun, tangan Sang Dewi juga membawa genitri, sebagai lambang bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang tiada henti dan tidak ada habisnya. Genitri juga alat untuk melakukan japa, aktivitas spiritual menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Kalau Dewi Saraswati kita puja berulang-ulang berarti ilmu pengetahun kita perlukan setiap saat.
Genitri menyiratkan bahwa ilmu itu harus dicari dan dipelajari tiada henti. Malam sastra tak hanya pada malam ini saja, tetapi hendaknya berkesinambungan. Jangan berhenti untuk belajar dan jangan pernah merasa tua untuk belajar. Belajar seumur hidup. Inilah semangat yang disimbolkan dari genitri di tangan dewi cantik itu.
Kalau saja umat Hindu memaknai Hari Saraswati dengan baik dan tekun melaksanakan apa yang tersurat dari sastra agama, maka tak ada alasan sumber daya manusia (SDM) Hindu terpuruk seperti sekarang ini. Kalau konsep belajar seumur hidup diterapkan di kalangan umat Hindu, tak ada ceritanya umat Hindu banyak yang buta aksara. Tragis, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, SDM Hindu paling rendah, padahal umat Hindu punya hari raya Saraswati. Jelas sekali kita hanya sibuk melaksanakan ritual saja, tanpa peduli dengan konsep ajaran dan tatwa agamanya.
Di Hari Saraswati kita hanya ingat membuat sesayut sasraswati atau bahkan cuma ingat membelinya, tetapi kita lupa membaca pustaka-pustaka yang kita miliki. Atau bahkan kita lupa memperbanyak pustaka sehingga ilmu kita ''tak bersambung'' seperti genitri.
Tangan Sang Dewi membawa wina, di Bali disebut rebab. Ini adalah simbol ilmu pengetahuan itu sesuatu yang indah dan orang yang berilmu hidupnya akan indah. Dewi Saraswati turun disertai unggas angsa, binatang cerdik yang bisa menemukan makanan di dalam lumpur. Makanan masuk ke perut, sedangkan lumpur tidak. Ilmu pengetahun juga begitu, harus disaring. Kalau ilmu dipakai untuk merusak, membuat bom dan diledakkan untuk membunuh orang, untuk korupsi dan menipu rakyat, maka ilmu itu tidak ada gunanya. Ilmu disaring untuk kebaikan umat. Kalau orang bisa melakukan hal ini, maka sempurnalah mereka sebagai pemuja Saraswati, orang itu menjadi berwibawa sebagaimana Dewi Saraswati turun membawa bulu merak, lambang kewibawaan.Jadilah pemuja Sang Dewi yang punya harkat, berilmu dan berwibawa. Om Saraswati namas tubhyam warade kana rupini. Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati pemberi berkah, hamba memuja-Mu.

No comments:

Post a Comment