Hakikat Makna Hari KuninganPenganut Hindu, terutama di Bali, memiliki banyak jenis upacara. Ada yang dilakukan setiap hari ada pula sewaktu-waktu, sesuai dengan wuku (pekan) atau sasih (bulan). Di antaranya, ada upacara hari Galungan dan Kuningan, dirayakan setiap 210 hari sekali. Berkaitan dengan hari Kuningan—ada pula menyebut Tumpek Kuningan—saya ingin mendapatkan penjelasan lebih rinci dari Ida Pandita. Apakah ini termasuk upacara asli Hindu atau kelanjutan tradisi upacara orang-orang Bali Mula/Aga? Apa makna pelaksanaan Tumpek Kuningan? Apa banten inti upacara ini dan dihaturkan kepada dewa siapa? Nyoman OrtiPenebel, Tabanan
Jawab:Hari raya warga Hindu memang berbeda-beda. Perbedaan itu terjadi karena agama Hindu menghormati perasaan, kebangsaan, kenegaraan, dan kedaerahan masing-masing. Maka, selain merayakan hari raya, warga Hindu juga merayakan hari raya yang berhubungan dengan hari nasional dan kedaerahan. Khusus di Indonesia, perayaan hari raya agama Hindu tak begitu banyak. Hal ini disebabkan faktor hubungan warga Hindu di Indonesia dengan di negara lain sempat putus berabad-abad. Akibatnya warga Hindu Indonesia tinggal dalam isolasi, tapi taat terhadap agama Hindu. Mulai dari merayakan beberapa hari raya khas agama Hindu hingga ditambah dengan hari raya masing-masing daerah di Indonesia. Hari raya yang merupakan khasanah lokal (daerah) Bali meliputi Nyepi, Galungan dan Kuningan, Pagerwesi, dan Saraswati. Untuk daerah Lombok ada Siwaratri dan hampir semua upacara yang dirayakan di Bali juga berlangsung di Lombok. Hari raya Hindu khas Jawa ada hari Kasodo dan Karo. Di India, Nepal, Saelon, dan Burma ada upacara Samwat, Baisaka Purnama, Biasa Purnama, Kresna Astami, Hari Saraswati, Dipawali, Siwaratri, Durga Puja/Navaratri, dan lainnya. Jadi, hari Kuningan adalah hari raya daerah yang diadopsi menjadi hari raya Hindu di Bali dan Lombok. Hari raya Kuningan jatuh pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Hari raya ini disebut juga Tumpek Kuningan. Pada saat ini Hyang Widhi Wasa turun ke dunia diikuti para dewa/batara dan pitara guna melimpahkan karunia berupa kebutuhan-kebutuhan pokok kepada manusia. Pada hari ini nasi yang dipersembahkan diberi warna kuning sebagai lambang kemakmuran, sedangkan sesajen yang dihaturkan sebagai tanda terima kasih. Lontar Sundarigama menyebutkan jenis banten yang dipersembahkan pada saat Tumpek Kuningan sebagai berikut. Di sanggah berupa segeh selanggi, tebog, rak-raka, pasucian (tamiang dan ceniga pada bangunan). Pada manusia dipersembahkan sesayut prayascitta luwih punjung kuning, ikannya itik putih, panyeneng, dan tetebus. Untuk di halaman pekarangan dihaturkan segehan agung. Persembahan ini dilakukan sebelum jam 12 siang, ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa, dewa/batara dan pitara, dan penguasa wuku Kuningan, yakni Ida Batara Indra.
SudawadaniPada zaman global kini saya melihat beberapa tantangan akan dihadapi warga Hindu di Indonesia, tak terkecuali di Bali. Untuk itu, orang Hindu harus mampu memberikan jalan keluar cerdas sehingga aturan agama tetap teguh dijalankan. Di sisi lain keinginan orang lain memeluk Hindu pun tak patut dihalangi. Sehubungan dengan tantangan ke depan inilah saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Ida Pandita. 1. Ada wanita pemeluk Hindu melangsungkan perkawinan dengan orang Barat yang non-Hindu. Pasangan ini menikah di negeri Barat lewat prosesi upacara bukan Hindu. Jika kedua mempelai sepakat tinggal di Bali dan memilih ikut agama Hindu, kemudian memiliki anak, bagaimana supaya anaknya bisa diupacarai layaknya warga Hindu di Bali? 2. Ada wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri Barat juga dengan cara non-Hindu. Seandainya pasangan ini bercerai dan si wanita bersama anaknya memilih tinggal di Bali, bagaimana agar anaknya bisa diupacarai secara Hindu di Bali? 3. Bila wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan (berdasarkan hasil kumpul kebo) dengan orang Barat, bagaimana cara supaya si anak ini bisa diberikan upacara yang lengkap sebagai orang Hindu Bali? 4. Jika ada wanita Bali memiliki anak di luar perkawinan (hasil hubungan kumpul kebo) bersama orang Barat, tapi saat ini pasangan itu sudah pisah. Bagaimana caranya agar anaknya bisa diberikan upacara yang lengkap sebagai orang Hindu Bali? Itulah beberapa persoalan yang saya lihat dan tak mustahil akan terjadi di Bali atau dialami oleh orang Bali. Mohon diberikan jalan keluar sejelas-jelasnya.Made KajaGianyarJawab:Lembaga umat Hindu, seperti Parisada, sudah memutuskan dan menetapkan proses yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan memeluk agama Hindu. Aturan tersebut, antara lain, diatur dalam keputusan Mahasabha Parisada. Proses yang dilakukan sesuai dengan pertanyaan Saudara yang pertama, yakni bila ada pemeluk Hindu (orang Barat) sedangkan pasangan ini menikah di Barat dengan proses non-Hindu, kemudian mereka berkeinginan memeluk agama Hindu dan menetap di Bali, maka harus diawali dengan proses upacara sudawedani, yakni suatu proses pengesahan seorang non-Hindu untuk menjadi pemeluk Hindu. Upacara ini sangat sederhana dan dapat diambil dari tingkatan paling kecil, seperti byakala, prayascitta, pangulapan, pabersihan, dan banten ayaban. Sarananya bisa berupa canang sari, atau yang lebih besar dalam wujud banten daksina pajati. Jadi, dengan upacara sudawedani seseorang yang ingin memeluk agama Hindu sudah dianggap sah secara Hindu. Seandainya ada wanita Hindu kawin dengan orang Barat dan menikah di negeri Barat lewat cara non-Hindu, kemudian pasangan ini bercerai dan si anak diserahkan kepada ibunya. Jika ibu beserta anaknya ingin memeluk agama Hindu, maka proses yang harus dilakukan selain disahkan lewat upacara sudawedani adalah mesti melewati upacara manusa yajnya, layaknya warga Hindu di Bali. Antara lain: upacara abulan pitung dina (42 hari), tiga bulan (105 hari), enam bulan (210 hari). Ini bisa dilakukan bertahap. Itu kalau memungkinkan. Berbeda halnya kalau perceraian itu terjadi ketika anaknya sudah remaja, maka upacara pengesahan dari lahir hingga upacara ngotonin (enam bulanan), dapat dilakukan sekaligus, bersamaan dengan upacara sudawedani. Prosesinya juga sederhana. Contoh, dalam prosesi tiga bulanan. Saat ini juga dilakukan pengesahan nama si anak melalui upacara. Kalau toh sebelum usia tiga bulan atau 105 hari, sesuai kalender Bali, anak bersangkutan sudah memiliki nama lengkap yang dibuktikan lewat akte kelahiran yang dikeluarkan Dinas Catatan Sipil, maka nama tersebut tak perlu lagi diubah. Apa yang tertera di akte kelahiran, itulah yang dipergunakan dalam upacara tiga bulanan. Untuk upacara lain, sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Tak mesti bermegah-megah kalau hal tersebut memang tak memungkinkan dilakukan. Menyangkut pertanyaan ketiga, yakni seorang wanita Bali mempunyai anak di luar perkawinan berkat hasil hubungan gelap (kumpul kebo) dengan orang non-Hindu, kemudian ada keinginan supaya si anak ini dapat diberikan upacara lengkap selayaknya orang Hindu di Bali. Kalau saja proses upacara perkawinan kedua pasangan ini bisa dilangsungkan dan sah menurut agama, tentu kasus yang Saudara ajukan terselesaikan secara elok. Anak yang lahir tersebut sah secara hukum maupun agama. Bukan sebagai anak bebinjat. Berbeda jika pasangan kumpul kebo ini tak mau melangsungkan perkawinan baik secara aturan Hindu ataupun mengikuti ketentuan agama pasangan kumpul kebonya. Jalan keluar yang mungkin diambil: wanita yang melahirkan anak di luar nikah ini bisa mencari seorang calon wali anaknya. Sebab, dalam proses perkawinan harus ada wali yang mungkin akan mengangkat si anak tanpa ayah sah itu. Misalkan, dengan keluarga dekat atau orang-orang yang memang secara sukarela mau melakukan itu sehingga si anak menjadi sah menurut agama.Kalau tak ada pihak laki yang menjadi wali dan mengangkat si anak, bisa mengikuti sila, yaitu aturan-aturan yang bisa kita lihat pada zaman kerajaan dulu, di mana wanita yang hamil di luar perkawinan bisa melakukan proses perkawinan dengan simbol tertentu yang ditentukan agama. Misalkan, dengan keris. Cuma, bila ini dihubungkan dengan hak asasi manusia, tentu ada sedikit benturan. Sebab, ada keganjilan: manusia kok dikawinkan dengan simbol-simbol agama tertentu. Adapun aturan yang berlaku pada kalangan warga Hindu di Bali menentukan bahwa seorang anak dianggap sah kelahirannya secara adat, terlebih dari sudut agama Hindu, jika orangtuanya telah melalui prosesi perkawinan. Di sinilah para cendekiawan Hindu ke depan perlu memikirkan lebih seksama lagi perihal hak seorang ibu untuk memelihara anaknya, sebagai orangtua seutuhnya. Selanjutnya, pertanyaan Saudara keempat, memiliki keterkaitan dengan pertanyaan kedua. Proses yang harus dilalui, yakni dengan upacara sudawedani, dan upacarai anak bersangkutan layaknya orang Hindu dari semenjak lahir hingga dewasa
mau nanya apa perbedaan hindu bali dengan hindu india ???
ReplyDelete