tag:blogger.com,1999:blog-49153637450295068102024-03-13T12:58:06.081-07:00MENGENAL DAN MEMAHAMI AJARAN AGAMA HINDUDengan mengenal dan mencintai Hindu
akan mempermudah kita dalam memahaminya.Unknownnoreply@blogger.comBlogger35125tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-69555249776579344482010-07-17T08:21:00.000-07:002010-07-17T08:22:23.025-07:00DEWA GANESA1. DELAPAN BENTUK PATUNG GANESA<br />
<br />
Semua bentuk patung Ganesa taring sebelah kanan patah (terpotong)<br />
<br />
Nama/ Gelar Bentuk/ Ciri-Cri Manfaat :<br />
<br />
1. Mayuresvara <br />
menghadap ke utara<br />
menduduki burung merak dan tengkorak manusia<br />
di hadapan Ganesa ada Nandini<br />
sikap duduk bersila<br />
belalai menghadap ke kiri<br />
di mata ada permata<br />
bertangan dua memegang kapak di tangan kiri dan gada di tangan kanan<br />
mohon kemenangan dalam perang<br />
sesuai untuk barak militer<br />
<br />
2. Siddhi-Vinayaka <br />
menghadap ke utara<br />
menduduki bunga teratai dan tikus<br />
sikap duduk bersila<br />
belalai melingkar ke arah kanan ke pundi Pundit (modaka)<br />
bertangan empat, dua di depan dengan sikap tapa atau “devapratistha”, kiri belakang memegang ganitri, dan kanan belakang memegang kapak<br />
mohon keberhasilan dalam pekerjaan<br />
sesuai untuk kantor atau tempat usaha<br />
<br />
3. Sri Ballaleshvar-Vinayaka <br />
menghadap ke timur<br />
berdiri<br />
belalai tergantung di tengah<br />
bertangan dua, yang kiri memegang kapak, yang kanan memegang gada (danda)<br />
mohon perlindungan alam<br />
sesuai untuk kelestarian hutan<br />
<br />
4. Varad-Vinayaka <br />
menghadap ke timur<br />
berdiri di atas kolam dengan satu kaki (kanan) sedang kaki-Nya yang kiri terlipat<br />
belalai tergantung di tengah<br />
bertangan dua, dengan sikap “devapratistha”<br />
mohon sembuh dari penyakit<br />
sesuai untuk rumah sakit, praktik dokter<br />
<br />
5. Chintamani-Vinayaka <br />
menghadap ke timur<br />
duduk bersila di atas batu<br />
di keningnya memakai permata<br />
bertangan empat, kiri belakang memegang teratai, kanan belakang memegang kapak, kiri depan memegang lontar, kanan depan memberi berkat<br />
belalai ditengah-tengah<br />
mohon berhasil dalam tapa/ samadhi<br />
sesuai untuk sekolah<br />
<br />
6. Girijatmaja <br />
duduk di atas batu dalam gua menghadap ke timur<br />
bertangan empat seperti chintamani-vinayaka, belalai di tengah-tengah<br />
memohon kekuatan mengalahkan asura (raksasa)<br />
sesuai untuk di Pura<br />
7. Vighnesvara-Vinayaka <br />
menghadap ke timur<br />
berdiri<br />
bertangan empat seperti chintamani-vinayaka<br />
belalai ditengah-tengah<br />
memohon kekuatan dalam tapa/ samadhi<br />
sesuai untuk di Pura<br />
<br />
8. Sri Mahaganapati-Ranjangon <br />
menghadap ke timur<br />
duduk bersila<br />
bertangan 20 memegang teratai 4, kapak 2, ganitri 4, lontar 4, bejana 4, deva pratistha 2<br />
berbelalai 10, mengarah ke tengah 1 samping kiri 2, samping kanan 2, belakang kiri 2, belakang kanan 2, ke atas 1.<br />
memohon keselamatan dan terhindar dari bencana<br />
sesuai ditempatkan di perempatan jalan<br />
<br />
2. MAKNA SIMBOL GANESA<br />
<br />
1. Ganapati digambarkan sebagai manusia berkepala gajah untuk menunjukkan kesatuan mahluk kecil (manusia) sebagai mikro kosmos dengan Yang Maha Agung sebagai makro kosmos.<br />
<br />
Gajah yang berkepala besar juga adalah simbol dari manusia yang seharusnya mempunyai volume otak yang besar dalam artian mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.<br />
<br />
2. Telinga yang lebar adalah simbol laksana kebijaksanaan untuk banyak mendengarkan.<br />
<br />
Bagi para pelajar mendengarkan ucapan guru, bagi pemimpin mendengar pendapat bawahannya, bagi para cendekiawan mendengarkan kritik atau pendapat orang lain. Semuanya untuk didengar, dipikirkan, dan dipertimbangkan untuk mengambil langkah selanjutnya.<br />
<br />
3. Berbelalai yang panjang, maknanya dapat memanfaatkan kemampuan yang ada untuk segala keperluan.<br />
<br />
Patung Ganesa ada yang belalainya menjulur ke kanan disebutWalamburi, dan ada yang menjulur kekiri, disebut Idamburi. Yang menjulur di tengah tidak diberi nama, karena dianggap sesuatu yang normal.<br />
<br />
4. Taring yang patah menyebabkan Ganesa juga disebut sebagai Ekadanta artinya yang bertaring satu.<br />
<br />
Taring yang patah adalah taring yang di sebelah kanan merupakan simbul pendukung kehidupan yang sejati (berwujud nyata) yang melenyapkan ilusi, sehingga kedua taring itu yang patah dan ynag utuh adalah simbul kesatuan antara yang berwujud dan yang tidak berwujud.<br />
<br />
5. Ganesa berbadan gemuk dengan perut yang buncit, melambangkan semua manifestasi Hyang Widhi ada di dalam diri-Nya.<br />
<br />
6. Ganesa mengendarai tikus (musaka) simbol Atman (roh) yang menguasai semua bentuk perwujudan mahluk hidup.<br />
<br />
7. Sikap tangan Ganesa yang memberikan anugerah (varamudra) sebagai tanda Ia yang memenuhi segala keinginan.<br />
<br />
Tangan lain yang bersikap mengusir kecemasan (abhayamudra) juga menolak segala halangan, bahaya, dan penderitaan. Sikap tangan yang membawa tali penjerat sebagai simbol penguasaan alam semesta oleh Hyang Widhi dan Ia juga mengatasi kehancuran (moha).<br />
<br />
8. Bertangan empat, simbol penguasaan Catur Veda, penguasaan empat unsur alam semesta, atau segala penjuru alam semesta.<br />
<br />
9. Menduduki tengkorak (kapala) artinya sebagai keluarga Siva (Dewa pralina).<br />
<br />
Ciri lain dari Ganesa sebagai putra Dewa Siva adalah penggunaan permata di kening yang disebut sebagai trinetra atau cudamani yaitu mata ketiga Dewa Siva, lembu Nandini sebagai kendaraan Siva, dan Ular sebagai senjata Siva, serta hiasan candrakapala pada gelungan rambut/ mahkotanya.<br />
<br />
3. GELAR-GELAR GANESA<br />
<br />
Vighnesvara = penguasa rintangan. Vighna = halangan, svara = raja/ penguasa<br />
Vinayaka = yang memindahkan rintangan<br />
Ganesa/ Ganapati = pemimpin para Gana (gajah) yakni pengiring Siva. Ga = kebijaksanaan, Na = moksa/ pelepasan jiwa, Sa = hanya satu, Pati = pemimpin.<br />
Ekadanta = yang bertaring satu. Eka = satu/ tunggal, Danta = taring, maknanya yang tunggal dan sangat kuat (adalah Hyang Widhi)<br />
Lambodara = Ia yang berperut buncit<br />
<br />
<i>http://bali.stitidharma.org/ganesa/</i>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-29993397652498080952010-07-05T07:26:00.000-07:002010-07-05T07:26:13.432-07:00BANTEN SEBAGAI PENGGANTI MANTRABanten Sebagai Pengganti Mantra<br />
<br />
Banten pada awalnya ketika diajarkan pembuatannya di Desa Puakan (Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali) oleh Maha Rsi Markandeya kepada penduduk setempat di abad ke-8, bernama “Bali” atau “Wali”.<br />
<br />
Lama kelamaan tradisi yang diajarkan itu berkembang ke seluruh pulau, sehingga orang-orang yang bersembahyang menggunakan banten, dinamakan “Orang Bali” dan pulau kecil inipun bernama Pulau Bali.<br />
<br />
Banten diajarkan kepada penduduk yang buta huruf, karena mereka tidak bisa mengucapkan mantra-mantra dalam persembahyangan.<br />
<br />
Jadi fungsi banten yang utama adalah sebagai “pengganti” ucapan mantra yang kemudian berkembang ke fungsi yang mengikuti, yaitu sebagai simbol kemahakuasaan Tuhan, wujud bhakti, prasadam, dan sarana pensucian roh.<br />
<br />
Beberapa jenis banten yang hingga kini digunakan di Bali sebagai pengganti ucapan mantra, misalnya:<br />
<br />
1. Sesayut Saraswati, pengganti mantra Rg Veda 61.4:<br />
<br />
OM PRA NO SARASVATI, VAJEBHIR VAJINIVATI, DHINAM AVINYAVANTU<br />
<br />
Tuhan, Sarasvati yang agung dan berkuasa, semoga memberikan pengetahuan dan memelihara kecerdasan kami.<br />
<br />
2. Sesayut Prayascita, pengganti mantra Rg Veda 1.3.10:<br />
<br />
OM PRAVAKANAH SARASVATI, VAJEBHIR VAJINIVATI, YAJNAM VASTU DHIYAVASUH<br />
<br />
Tuhan, Sarasvati yang agung dan berkuasa, anugrahilah hamba kesucian dan kecerdasan; terimalah persembahan hamba.<br />
<br />
3. Sesayut Pageh Tuwuh, pengganti mantra Rg Veda VII.66.16:<br />
<br />
OM TACCAKSURA DEVAHITAM SUKRAM UCCARAT, PASYEMA SARADAH SATAM, JIVEMA SARADAH SATAM<br />
<br />
Tuhan yang maha kuasa, semoga selama seratus tahun hamba selalu melihat mata-Mu yang bersinar.<br />
<br />
4. Daksina, pengganti Gayatri Mantra:<br />
<br />
OM BHUR BHUVAH SVAH, TAT SAVITUR VARENYAM, BHARGO DEVASYA DIMAHI, DHIYO YO NAH PRACODAYAT<br />
<br />
5. Beakala Dhurmenggala: pengganti mantra Rg Veda V.82.5:<br />
<br />
OM VISVANI DEVA SAVITAR, DURITANI PARA SUVA, YAD BHADRAM TANNA A SUVA<br />
<br />
Tuhan, Yang Maha Esa, Savitri, usirlah jauh-jauh segala kekuatan jahat; berikan hamba yang terbaik.<br />
<br />
6. Sesayut pemapag rare: pengganti mantra Rg Veda IV.53.6:<br />
<br />
OM BRHATSUMNAH PRASAVITA NIVESANO, JAGATAH STHATURUBHAYASYA YO VASI, SA NO DEVAH SAVITA SARMA YACCHATVASME, KSAYAYA TRIVARUTHAM AMHASAH<br />
<br />
Tuhan Yang Maha Pengasih, yang memberi kehidupan dan memelihara, yang mengatur segala yang bergerak maupun tak bergerak, sebagai Savitar, berilah anugrah kepada bayi ini agar terhindar dari kekuatan jahat.<br />
<br />
7. Peras Sadampati: pengganti Rg Veda X.85.42.<br />
<br />
OM IHA IVA STAM MA VI YAUSTAM, VISVAM AYUR VYASNUTAM, KRIDANTAU PUTRAIR NAPTRBHIH, MODAMANAU SVE GRHE<br />
<br />
Tuhan Yang Maha Pengasih, anugrahilah pengantin ini kebahagiaan, tidak terpisah sepanjang masa, panjang umur dan dianugrahi pula putra-putri serta cucu-cicit yang utama, serta tinggal di rumah yang penuh kegembiraan.<br />
<br />
8. Sesayut/ Canang pengrawos: pengganti mantra Rg Veda I.89.1:<br />
<br />
OM A NO BHADRAH KRATTAVO YANTU VISVATAH<br />
<br />
Tuhan, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.<br />
<br />
9. Sesayut Pageh Urip: pengganti mantra Rg Veda VII.59.12:<br />
<br />
OM TRAYAMBHAKAM YAJAMAHE, SUGANDHIM PUSTI VARADHANAM, URVARUKAM IVA BANDHANAT, MRTYOR MUKSIYA MAMRATAT<br />
<br />
Tuhan, kami memuja-Mu sebagai Rudra, yang menyebarkan keharuman dan membawa kesejahteraan, hindarilah hamba dari kematian tetapi bukan dari kekekalan.<br />
<br />
10. Sesayut Ngulap-Ngambe: pengganti mantra Rg Veda X.186.1:<br />
<br />
OM VATA A VATU BHESAJAM, SAMBHU MAYOBHU NO HRDE, PRA NA AYUMSI TARISAT<br />
<br />
Tuhan Yang Maha Agung, kami memuja-Mu sebagai Hyang Vayu, hembuskanlah kesehatan dan kesejahteraan serta umur panjang kepada hamba.<br />
<br />
Contoh-contoh banten di atas adalah jenis banten yang sehari-hari atau sering dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali.<br />
<br />
Masih banyak lagi yang lain yang perlu diteliti, sehingga tercapai tema pokok, yaitu bila tidak pandai membuat banten, maka Bhakti dapat diwujudkan dalam ucapan mantra-mantra yang benar dan tepat, walaupun sarananya hanya dengan Panca Upakara yang sederhana, yaitu terdiri dari unsur-unsur: air, api, daun, bunga, buah/ biji/ harum-haruman, sebagaimana dimaksud dalam Bhagavadgita IX.26 dan Manava Dharmasastra III.76.<br />
<br />
Om A no bhadrah krattavo yantu sisvatah.<br />
<br />
<i>http://bali.stitidharma.org/banten-sebagai-pengganti-mantra/</i>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-14130593430982039952010-06-29T20:47:00.001-07:002010-06-29T20:47:18.802-07:00PERANAN IBU MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTRA DAN BAHAGIA“Jika ibu wajahnya selalu memancarkan keceriaan, seluruh rumah tangga berbahagia, tetapi jika wajahnya cemberut,semuanya akan kelihatan suram” (Manavadharmaśāstra, III.62.)<br />
<br />
Tanggal 22 Desember setiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari Ibu sebagai penghormatan atas jasanya kepada putra-putrinya yang telah melahirkan bangsa ini. Bila kita membicarakan ibu, maka perhatian kita pada sebuah keluarga (keluarga inti) yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Keluarga merupakan tahapan hidup yang kedua bagi setiap orang. Tahapan yang pertama disebut Brahmacari, yakni menuntut ilmu pengetahuan selaras pula dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia. Ketika ia mencapai kematangan jasmani dan rohani, mereka memasuki kehidupan berumah tangga yang disebut Grahasthasrama. Kehidupan keluarga ini dimulai dengan upacara perkawinan (Vivaha). Perkawinan tanpa upacara ( Vivaha tan sinangaskara) tidak dibenarkan dalam agama Hindu dan diyakini sebagai dosa yang membuat kehancuran rumah tangga dan masyarakat.<br />
<br />
Untuk lebih memahami tentang peranan ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, terlebih marilah kita tinjau makna dari perkawinan menurut kitab-kitab Dharmasastra, yaitu :<br />
<br />
1. Dharmasampati, suami istri secara bersama – sama melaksanakan ajaran Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban hidup sesuai dengan ajaran agama.<br />
<br />
2. Praja, suami istri mampu melahirkan keturunan (putra – putri) yang suputra, berkualitas yang akan melajutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur.<br />
<br />
3. Rati, suami istri dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan lainnya ( Artha dan Kama) yang tidak bertentangan dengan Dharma (kebenaran).<br />
<br />
Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut di atas, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan rumah tangga itu. Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya dinyatakan bahwa hubungan antara suami- istri dinyatakan sebagai satu jiwa dalam dua badan :<br />
<br />
“Hendaknya manis bagaikan maducinta kasih dan pandangan antara suami dan istri, penuh keindahan.Hendaknya senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian. Mereka stu jiwa bagi keduanya” (Atharvaveda VII.36.1).<br />
<br />
Selanjutnya kitab Manavadharmaśāstra menyatakan hendaknya suami istri tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan rumah tangga:<br />
<br />
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan agar mereka tidak bercerai, mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya” (IX.102).<br />
<br />
“Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri” (IX.101).<br />
<br />
“Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya, di sana kebahagiaan pasti kekal abadi”(III.60) .<br />
<br />
Suami dan istri diamanatkan oleh Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan mengikuti jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku), memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sendiri dan hidup dengan sejahtra dan bahagia di dalamnya :<br />
<br />
“Wahai suami dan istri hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan di antara kamu. Lakukan tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah dengan suka cita didalamnya” (Atharvaveda XIV.2.43).<br />
<br />
Terjemahan mantra Veda ini sangat relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Seseorang yang telah siap untuk memasuki rumah tangga harus mampu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Untuk bisa mandiri, seseorang hendaknya memiliki penghasilan yang tetap dan untuk itu peranan pendidikan dan kerja keras yang juga senantiasa ditekankan dalam kitab suci Veda mengantarkan orang dapat mandiri. Demikian pula untuk memiliki putra-putri yang perwira, suputra atau berkualitas, setiap keluarga bila sepenuhnya mengikuti ajaran agama (termasuk disiplin dalam hubungan suami sitri), putra- putri yang dicita-citakan akan lalhir pada keluarga itu. Di sinilah agama berperanan penting dalam menyiapkan SDM atau generasi yang berkualitas sesuai harapan setiap keluarga.<br />
<br />
Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Gṛhapatya, Gṛhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmaśāstra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut :<br />
<br />
a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.<br />
<br />
b. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya.<br />
<br />
c. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah.<br />
<br />
d. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian.<br />
<br />
e. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.<br />
<br />
f. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.<br />
<br />
g. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna.<br />
<br />
Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan.<br />
<br />
Peranan Ibu dalam keluarga<br />
<br />
Di dalam Vanaparva Māhabhārata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya :<br />
<br />
“Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya’ (Sarasamuccaya 245).<br />
<br />
Di dalam kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut:<br />
<br />
“Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22).<br />
<br />
“Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya” (Ṛgveda VIII.33.19).<br />
<br />
Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :<br />
<br />
“Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat” (Rgveda VIII.33.19).<br />
<br />
“Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia” (Atharvaveda XIV.1.42).<br />
<br />
“Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua” (Atharvaveda XIV.2.20).<br />
<br />
“Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti” (Atharvaveda , III.30.2).<br />
<br />
Sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut :<br />
<br />
“Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan” (Rgveda V.28.3).<br />
<br />
“Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini” (Atharvaveda VI.122.3).<br />
<br />
“Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan”<br />
<br />
“Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi”(Atharva veda) istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan” (Yajurveda XVII.85).<br />
<br />
<br />
<br />
“Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu”(Atharvaveda VI.120.3).<br />
<br />
“Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu” (Yajurveda VI.120.3).<br />
<br />
Di dalam berbagai susastra Hindu banyak dijumpai petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan keharmonisan, kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Kunci keberhasilan untuk mencapai hal itu adalah kerja keras dan tekun melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Memperhatikan uraian tersebut di atas, ibu sangat menentukan (bersama bapak) dan sangat berperanan dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Menurut tradisi Hindu, ada 6 jenis ibu yang patut dihormati seperti ibu kandung sendiri, yaitu :<br />
<br />
a. Ibu kandung yang melahirkan,<br />
<br />
b. Bidan atau dukun yang membantu ibu melahirkan.<br />
<br />
c. Istri guru yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.<br />
<br />
d. Istri pejabat (pemerintah) yang turut serta membangun kesejahtraan kesejahtraan rakyat.<br />
<br />
e. Sapi yang membantu petani dalam mengolah tanah dan memberikan susu.<br />
f. Ibu Pertiwi, bumi tercinta yang memberikan kesejahtraan kepada semua makhluk.<br />
<br />
Demikian antara lain peranan seorang ibu dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga.<br />
<br />
Oṁ Dirgayur astu tat aṣtu svaha.<br />
<br />
Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ<br />
<br />
Ditulis dalam I Wayan Sudarma, Religi<br />
<br />
http://singaraja.wordpress.com/2008/12/22/peranan-ibu-mewujudkan-keluarga-sejahtra-dan-bahagia/Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-26278339306905208452010-06-29T01:52:00.001-07:002010-06-29T01:58:16.532-07:00UPAKARA VIVAHA SAMSKARA (STANDAR)I. UPAKARA PEKELING<br />
<br />
a. Padmasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning<br />
<br />
b. Anglurah: Pejati, Ketipat dampulan, Segehan Cacahan Poleng.<br />
<br />
c. Pemedal/Pemesu: Nasi dialasi dengan bakul, lauknya karangan Babi, Nasi digulung dengan upih, lauknya hati, Tuak 1 sujang, Bunga Cempaka 2 buah, Uang Kepeng 11 keteng, Canang Burat Wangi, Tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang –Kilung.<br />
<br />
II. UPAKARA UNTUK KAMAR PENGANTIN:<br />
<br />
Pelangkiran: Pejati, segehan cacahan putih kuning.<br />
Di Atas Pintu Kamar Pengantin: Nasi takilan, lauknya darah mentah yang dialasi dengan limas, garam, bawang, jahe, terasi. Dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga Ulung, dan Kaki Rangga Tan Kewuh.<br />
Sanggar Surya: Suci l, Pejati 1, Soda Putih Kuning, Rantasan Putih Kuning, eteh-eteh Sanggar Surya (Uduh, Peji, Pisang lalung, Penjor, ceniga, gantung-gantungan), bungkak gading 1. Sor Sanggar Surya: Nasi Sasahan 9 tanding, Karangan 1, Nasi Sokan, Byakaon, Olahan babi 9 tanding, Gelar Sanga, Jangan Sekuali, Segehan Agung, tetabuhan arak, berem, tuak.<br />
Sanggar Surya (Caru Dewasa): Suci, Tulung, Sesayut, Peras, Daksina, Penyeneng, Lis, Byakaon, Tetabuhan.<br />
Padamasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning<br />
Anglurah: Pejati 1, Katipat Dampulan, Segehan Cacahan Poleng.<br />
<br />
Lapaan / Ayaban: Suci 1, Pejati 1, Jerimpen Punggul 1 pasang, Sesayut Pewarangan /Sesayut Nganten, Sesayut Pageh Urip, Ayaban Tumpeng Pitu, Penyeneng Taterag (Gede), Banten Padengen-Dengenan/Pekala-Kalaan, Tikeh Dadakan, Kala Sepetan, Tegen-Tegenan, Sok Pedagangan, Penegtegan, Papegatan, Tatimpug, Banten Pejati (Jauman), Gebogan.<br />
Upakara Untuk Pengayengan ke Leluhur Kedua Mempelai : Pejati 2 Soroh, segehan cacahan putih kuning 2 set.<br />
Upakara Penyambutan Kedua Mempelai di depan Pintu Masuk: Segehan Cacahan panca Warna, Api Takep, Tetabuhan.<br />
Upakara Arepan Sang Pandita: Suci 1, Pejati 1, Prayascita, Byakala, Pengulapan, Durmenggala, Payuk Pelukatan, Sibuh Pepek, Lis 1 pasang, Kuma Ligi, Kuskusan Sudamala, Sirawista., Punia, Pejati Pewali 1 soroh + Segehan cacahan.<br />
Upakara Tambahan Untuk Di Pemesu, Dapur, Air: Soda 6 set, Segehan Panca Warna 1, Putih Kuning, 1, Hitam 1<br />
Upakara Tukang Rias: Pejati, Segehan cacahan Putih Kuning.<br />
10. Gantung-Gantungan, Ceniga, Tamiang: 8 set.<br />
<br />
III. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN:<br />
<br />
1.BANTEN PADENGEN-DENGENAN: Pejati, Suci, Sesayut Lembaran, Pengambyan, Penyeneng, Tulung Metangga 2 buah, Sanggah Urip 1, Pamugpug (Tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sayut lengkap dengan kue, buah, dan rerasmen sampyan nagasari), Untek 7 buah dialasi dengan taledan lengkap dengan kue, buah,lengkap dengan rerasmen, Solasan 22 tanding (Nasi dialasi teledan kecil, lengkap dengan buah, kue, lauknya sate, lekesan 1 set. Bayuan (penek warna 5 dialasi dengan daun telujungan lauknya olahan ayam Brumbun, dan baying-bayangnya ditaruh di atasnya lengkap dengan kuangen, canang sari, sampyan nagasari.<br />
<br />
2.TIKEH DADAKAN: adalah sebuah tikar kecil yang terbuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini adalah symbol kesucian mempelai wanita.<br />
<br />
3.SESAYUT PEWARANGAN/SESAYUT NGANTEN: Aled Sayut, kain putih kuning, beras, base tampel, benang, jinah 11 keteng, Daksina mewastra putih kuning 2 set (1 dihias seperti laki-laki/melelancingan, 1 dihias seperti wanita/metapihan), tumpeng putih 1, tumpeng kuning 1, semua mepelekir, masing-masing diisi kuangen , tulung metangga 2, pasucian, penyeneng 2, sesarik 2, tatebus putih-kuning, buah, kue, pisang lengkap, kojong rangkat 2, sampyan nagasari 2, lauknya ayam putih betina 1, ayam putih jantan 1, semuanya dipanggang, peras, 2, soda 2, katipat kelanan 2, canang sari 2 pasang.<br />
<br />
4.SESAYUT PAGEH URIP: Aled sayut, Buah, kue, pisang, Nasi mejangka aji jembung, di atasnya diisi tumpeng putih 1, disisipi bunga cempaka 2, Tumpeng kuning 1, disisipi bunga cempaka kuning 2, bunga teratai putih dan biru masing-masing 1, kojong rangkadan, tulung urip 5, tulung sangkur 5, ketipat pandawa 5, ketipat sari 5, lauknya bebek diguling, garam 1 takir, peras, tulung, sayut (sorohan alit), canang burat wangi, lenga wangi, pasucian, tatebus putih kuning, sampyan nagasari, canang sari.<br />
<br />
5.KALA SEPETAN: Sebuah bakul yang berisi telor ayam mentah 1 butir,batu bulitan, 1 buah, uang 25 keteng, kunir, talas, andong, kapas, lalu bakul tersebut ditutup dengan serabut kelapa yang dibelag tiga dan berasal dari sebutir kelapa, serabut tersebut diikat dengan benang Tri Datu, di atasnya diisi pucuk kayu dapdap, dan lidi masing-masing 3 buah. Banten ini merupakan perwujudan Sang Kala Sepetan, salah satu yang menerima persembahan Padengen –dengenan.<br />
<br />
6.TEGEN-TEGENAN: cangkul, sebatang tebu, dan cabang pohon dapdap, pada salah satu sisinya diisi periuk berisi air, dan di sisi yang lainnya berisi periuk yang di dalamnya ada uangnya. Ini melambangkan bahwa sebagai laki-laki/suami harus bekerja keras, sehingga menjadi sumber penghidupan bagi anggota keluarga.<br />
<br />
7.SOK PEDAGANGAN: sebuah bakul yang di dalamnya berisi, beras, kain, bumbu dapur, rempah-rempah, pohon kunir, pohon talas, dan andong. Ini melambangkan bahwa sebagai wanita/istri harus dapat mengatur rumah tangga sehingga terjalin keharmonisan.<br />
<br />
8.PENEGTEGAN: Sebuah tempat yang berisi Keris lengkap dengan pakainnya, biasanya diletakkan di Sanggah Kemulan. Sebagai simbol bahwa sejak hari ini kedua mempelai memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan Merajan (simbol Purusa).<br />
<br />
9.PAPEGATAN: dibuat dengan ranting pohon dapdap, yang dipasang agak berjauhan, dihubungkan dengan benang putih. Pejati 1, segehan putih kuning 1. Sebagai simbol dimulainya masa Grhastha (berumah tangga).<br />
<br />
10.TATIMPUG: dibuat dari beberapa ruas bambu yang kedua ruasnya masih utuh. Bantennya soda. Dalam upacara nanti dibakar sehingga mengeluarkan suara. Sebagai tanda kesuksesan.<br />
<br />
11.BANTEN PEJATI (JAUMAN): Pejati 1 set, ditambah dengan aneka kue pasar, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan seperadeg, (pakaian 1 stel). Dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan kepada orang tua mempelai wanita.<br />
<br />
12.TUMPENG PITU: Peras tumpeng 2 sampyan pers. Pengambyan tumpeng 2 tulung pengambyan 2, katipat pengambyan 1 sampyan pengambyan. Dapetan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Ayunan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Pengulap tumpeng 1 sampyan jaet guak. Sesayut Lembaran; nasi penek 1 sampyan nagasari. Nasi Pangkonan Putih Kuning sampyan nagasari. Katipat Sirikan sampyan nagasari. Soda; nasi penek 2 sampyan petangas. Pasucian, Penyeneng<br />
<br />
http://dharmavada.wordpress.com/2009/11/26/upakara-vivaha-samskara-standar/Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-22314840370860657432010-06-26T20:50:00.000-07:002010-06-26T20:50:40.400-07:00MAKNA BANTEN PEJATIBANTEN PEJATI<br />
<br />
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)<br />
<br />
I. Daksina<br />
<br />
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos<br />
<br />
<br />
II. Peras<br />
<br />
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)<br />
<br />
III. Soda / Ajuman<br />
<br />
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari<br />
<br />
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.<br />
<br />
IV. Ketipat Kelanan<br />
<br />
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan.<br />
<br />
V. Penyeneng / Tehenan / Pabuat<br />
<br />
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)<br />
<br />
Mantra :<br />
<br />
Om kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona. Om Shri ya namah swaha<br />
<br />
VI. Pasucian<br />
<br />
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur.<br />
<br />
VII. Segehan<br />
<br />
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.<br />
<br />
Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala :<br />
<br />
Peras : kepada Sanghyang Iswara<br />
Daksina : kepada Sanghyang Brahma<br />
Tipat : kepada Sanghyang Wisnu<br />
Soda : kepada Sanghyang Mahadewa<br />
VIII. Beberapa makna filosfis dalam pejati:<br />
<br />
Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan<br />
<br />
Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos<br />
<br />
Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)<br />
<br />
Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.<br />
<br />
Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan<br />
<br />
Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki<br />
<br />
Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa<br />
<br />
Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran<br />
<br />
Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)<br />
<br />
Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja<br />
<br />
Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab<br />
<br />
Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan<br />
<br />
Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)<br />
<br />
Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar<br />
<br />
Daun plawa lambang kesejukan<br />
<br />
Bunga lambang cetusan perasaan<br />
<br />
Bija benih-benih kesucian<br />
<br />
Air lambang pawitra / amertha<br />
<br />
Api saksi dan pendetanya yajna<br />
<br />
Tri kona : upti, sthiti, pralina<br />
<br />
Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)<br />
<br />
Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)<br />
<br />
<i>http://dharmavada.wordpress.com/2009/08/27/banten-pejati/</i>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-51817365664428273542010-06-26T20:46:00.000-07:002010-06-26T20:46:15.871-07:00PELAKSANAAN YADNYA SESAOm Swastyastu<br />
<br />
Sebagai Umat Hindu Kita meyakinai bahwa: adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma. Ini mengandung makna yang sangat mulia bagi manusia. Hidup ini senantiasa memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang seimbang antara jasmani dengan rohani. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan karmanya guna membuahkan hasil atau pahala.<br />
<br />
Demikian juga bahwa manusia untuk tetap menunaikan kewajibannya untuk melaksanakan yajnanya, baik yajna yang dilakukan setiap hari atau nitya karma maupun yajna yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.<br />
<br />
Pelaksanaan yajna sesa merupakan jenis yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu sehari-hari atau Nitya Karma. Yajna sesa adalah persembahan yang tulus ikhlas dengan mempersembahkan makanan berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, garam, dan air, yang dilaksanakan setelah selesai memasak yang dipersembahkan pada tempat-tempat tertentu. Yajna sesa juga disebut Ngejot atau Banten Saiban. Perlu diingat bahwa pelaksanaan Yajna sesa/Ngejot/Saiban ini dilaksanakan setelah selesai memasak nasi dan belum makan yang dipersembahkan setiap hari.<br />
<br />
Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat yajna sesa, sebagai berikut :<br />
<br />
Daun pisang, yang dipotong segi empat agak kecil dan dibuat sedemikian rupa yang berbentuk tangkih atau taledan yang digunakan sebagai alasnya<br />
Nasi, nasi ini sebagai persembahan pokok dari yajna sesa, apabila belum masak lauknya ataupun yang lainnya, biasanya dapat pula dengan suguhan nasi dan diisi sedikit garam. Ini mengandung makna bahwa nasi merupakan makanan pokok manusia yang bermula dari beras dan melalui proses memasak ini yang disertai dengan bantuan kekuatan Dewa Brahma dengan panasnya api, kekuatan Dewa Wisnu dengan air, dan kekuatan Dewa Siwa untuk “Nyupat” atau menyucikan beras sehingga bisa masak berubah menjadi nasi.<br />
Garam, ini sebagai sarinya air laut yang terasa asin dan rasa asin ini sangat diperlukan bagi kebutuhan manusia serta makanan yang akan dimakan tidak terasa hambar. Makna terkandung di dalamnya adalah segala usaha maupun yajna supaya dapat dirasakan atau dapat dinikmati hasilnya, tanpa ada rasa maka sia-sia usaha itu. Lebih dari itu dengan “rasa” bahwa manusia sadar atau merasakan dirinya berutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa.<br />
Lauk-pauk, ini juga merupakan bahan untuk yajna sesa untuk melengkapi rasa yang terkandung dalam suguhan itu. Lauk pauk yang kita masak maka ini pun juga dipersembahkan sebagai yajna sesa. Apapun bahannya lauk-pauk itu perlu juga dipersembahkan, baik dari ikan, daging, buah-buahan atau biji-bijian.<br />
Sayuran, inilah jenis makanan yang dibuat dari daun-daunan yang segar dan hijau yang juga dapat melengkapi persembahan yajna sesa.<br />
Air juga sebagai sarana untuk melengkapi melaksanakan yajna sesa. Seperti halnya manusia jika habis makan perlu air untuk minum sebagai pengantar makanan dan sebagai tanda kepuasan. Dengan minum air kita merasa tenang dan sejuk serta pikiran tidak menjadi tegang, karena kekuatan Dewa Wisnu berfungsi untuk menenangkan dan menyejukan kehidupan umatnya.Demikian halnya juga dalam melaksanakan yajna sesa diakhiri dengan persembahan air sebagai bukti bahwa suguhan itu telah dilaksanakan.<br />
Setelah persiapan untuk melaksanakannya telah dilengkapi sesuai dengan bahan-bahan tersebut di atas dan telah ditata sedemikian rupa (ditanding), maka suguhan itu siap untuk dipersembahkan.<br />
<br />
Pelaksanaan Yajna Sesa atau Ngejot ini ditujukan kehadapan :<br />
<br />
1) Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasinya (Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya) suguhan ditempatkan diatas atap rumah atau di atas tempat tidur pada pelangkiran yang telah disediakan.<br />
<br />
2) Sang Hyang Brahma bertempat di tungku atau tempat memasak.<br />
<br />
3) Sang Hyang Wisnu bertempat di tempat menyimpan air atau bisa juga disumur.<br />
<br />
4) Sang Hyang Amerta atau Dewi Sri bertempat di penyimpanan beras atau nasi.<br />
<br />
5) Sang Hyang Pertiwi bertempat di halaman rumah yang juga ditujukan kehadapan bhuta-bhuti.<br />
<br />
6) Kehadapan Penunggun Karang bertempat di Tugu.<br />
<br />
7) Kehadapan Bhatara-Bhatari dan roh suci leluhur bertempat di Merajan dan Sanggar yang lainnya.<br />
<br />
8) Serta pada tempat-tempat yang lainnya yang dipandang perlu dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan setempat.<br />
<br />
Hakikat pelaksanaan Yajna Sesa tersebut di atas dapat bermakna bahwa Hindu dimanapun berada senantiasa membiasakan diri untuk mendahulukan kepentingan umum atau para dharma dari pada kepentingan pribadi atau swadharma. Juga berarti untuk mendahulukan dharma bakti dan kewajiban daripada pamrih atau kehendak menurut hak untuk diri sendiri.<br />
<br />
Om Santih Santih Santih Om<br />
<br />
<i>http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/pelaksanaan-yajna-sesa/</i>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-80704579128285908572010-06-26T20:13:00.000-07:002010-06-26T20:17:34.256-07:00MAKNA BANTEN JERIMPENOm Swastyastu<br /><br />Setelah sempat tersendat membahas ttg makna upakara tiba saatnya utk dilanjutkan...semoga bermanfaat...!<br />Upakara ini memiliki juga tatanan tertentu dan memiliki ciri khas tertentu shg hampir semua umat Hindu(Bali) mengetahui bhw banten itu adalah jerimpen.<br />Jeripen berasal dari dua suku kata yaitu: jeri dan empen. Jeri berasal dari kata Jari dan empen dari kata Empu. Dari kata jari menjadi asta (Asta Aiswarya) yang diartikan delapan penjuru dunia, sedangkan empu berarti Sang Putus (Maha Suci), diilustrasikan sbg Sang Hyang Widhi, krn Sang Hyang Widhilah yg mengatur dan memutuskan sgl yg ada di alam semesta.<br /><br />Dengan demikian banten jerimpen adalah merupakan simbol permohonan kehadapan Tuhan beserta manifestasiNya (Asta Aiswarya) agar Beliau memberikan keputusan berupa anugrah baik secara lahiriah maupun bathiniah. Oleh karena itu jerimpen selalu dibuat dua buah dan ditempatkan di sampng kanan dan kiri dari banten lainnya, memakai sampyan windha (jit kokokan), windha berasal dr kata windhu yg artinya suniya, dan suniya diartikan Sang Hyang Widhi. Dua buah jerimpen mengandung maksud dan makna sbg simbol lahiriah dan bathiniah.<br />Dalam penataannya jerimpen mengikuti konsep tatanan; kanistama, madyama dan uttama. Dalam tatanan upakara yang kanistama susunannya lebih sederhana dengan dialasi dulang kecil/sesenden dengan sampyan nagasari. Tapi dalam tatanan upakara madyama dan uttama biasanya bentuk banten jerimpen ini memakai keranjang jerimpen (badan) dan memakai sampyan windha (jit kokokan)<br />Om Santih Santih Santih Om<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kalanturang olih: Pekak Sukawati</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-42199453581761915002010-06-26T10:22:00.000-07:002010-06-26T10:27:36.216-07:00YAJNA SESAOm Swastyastu<br /><br />Melaksanakan persembahan atau yajna merupakan kewajiban serta tugas manusia untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas atau kewajiban dharma itu hendaknya dilandasi oleh adanya etika yang baik.<br /><br />Melaksanakan persembahan tentunya agar menimbulkan kebaikan bersama. Sila atau perilaku manusia hendaknya perlu mendapat perhatian, agar tidak terlepas dari sila dan diusahakan untuk menuju kearah susila atau perilaku yang baik. Jangan sampai terjerumus pada perilaku yang asusila atau perbuatan yang tidak baik, seperti lalai melaksanakan yajna itu. Dalam berperilaku tentunya selalu dalam pengawasan akal sehat dan pikiran yang suci. Dalam beryajna wajib dilandasi oleh pikiran dan sanubari yang suci, diusahakan kekalutan itu dijauhkan dari diri manusia. Bilamana hatinya jernih, pikiran suci, wajahnya cerah tentu usahanya mencapai hasil. Sebagai kunci keberhasilan persembahan itu tentu kesuciannya yang turut memberikan makna yang penting. Untuk itu bagaimana bisa dikendalikan (tapa) yang mengarah pada ketidakbaikan tersebut. Segala hasil karya yang kita peroleh jika itu dharma landasannya, maka arta itu sangat utama nilainya. Namun perlu disadari bahwa yang kita nikmati dari hasil karya itu tidak hanya kita nikmati sendiri, atau kita tumpuk sampai melimpah ruah arta kekayaan itu, tentu tidak! Hasil jerih payah itu sebagian perlu disedekahkan atau berdana kepada siapa saja yang berhak menerimanya atau arta itu hendaknya dipersembahkan kehadapan Hyang Pencipta, kehadapan sesama, serta makhluk lainnya yang memiliki kehidupan di dunia ini.<br /><br />Sebagai sedharma tentu kita ingat kewajiban untuk melaksanakan yajna itu. Dapat melakukan penghormatan terhadap orang suci agama itu pun juga yajna namanya. Melakukan yoga dan samadhi juga merupakan yajna, karena hal ini merupakan yajna, karena hal ini merupakan usaha konsentrasi diri atau memusatkan perhatian diri terhadap Hyang Maha Kuasa. Dengan demikian memang jenis yajna itu beragam pelaksanaannya, namun dengan keanekaragaman yajna itu tidak mengecilkan semangat dan gairah umat untuk melakukan persembahan, semoga tidak!<br /><br />Dalam Kitab Suci Atharwa Weda XII, 1.1 dapat ditegaskan bahwa enam unsur yang merupakan kewajiban manusia dalam hidupnya. Adapun bunyi slokanya yakni :<br /><br /><br />“Satyam Brhad Rtham Ugram Diksa,<br /><br />Tapo Brahma Yajna Prithiwim Dnarayanti”.<br /><br />Yang artinya :<br /><br />Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma, dan Yajna yang menyangga dunia.<br /><br />Dari sloka di atas terdapat unsur yajna, karena hakikat yajna turut memberikan motivasi umat untuk menyelamatkan dunia ini. Sebagaimana diketahui bahwa yajna sebagai sarana untuk memuja dan menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasinya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian bahwa yajna merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus ikhlas tanpa adanya imbalan yang sangat diharap-harapkan.<br /><br />Pada dasarnya yajna itu hendaknya dilaksanakan dengan hati yang tulus ikhlas. Demikian juga kita terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya hendaknya juga beryajna. Dengan adanya saling menghormati, saling menolong, saling memberikan, saling harga menghargai, hal itu merupakan juga suatu yajna yang konkret. Bilamana hal ini dapat dilakukan dengan penuh kesadaran yang tinggi tanpa adanya paksaan untuk beryajna. Timbul pertanyaan, mengapa manusia harus dapat menumbuhkan kesadaran sendiri? Kita sadari bahwa manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti hewan, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia selalu bersama-sama dengan yang lainnya. Melalui yajna manusia dapat menyatu dengan lingkungannya, baik pencipta-Nya, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.<br /><br />Melalui pelaksanaan Yajna manusia ingin mencapai ketentraman hati, kenyamanan hidup, keharmonisan dengan sesama yang lainnya, dan ingin melepaskan segala duka dan lara serta terhindar dari dosa-dosa.<br /><br /><br />“Yajna sistasinah santo<br /><br />mucuante sarwa kilbisaih,<br /><br />bunjate te twagham papa<br /><br />ye pacanty atma karanat”. (Bhagavadgita, III, 13).<br /><br />Yang artinya :<br /><br />Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tetapi Ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.<br /><br />Menyimak makna sloka tersebut, maka jelas bagi kita betapa pentingnya beryajna itu. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini.<br /><br />Mempersembahkan yajna berupa makanan itu disebut dengan Yajna Sesa.Dengan demikian bahwa makanan juga sebagai sarana untuk melaksanakan persembahan. Disini mengandung makna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan dan makanan itu sebagaimana kita ketahui merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Agar manusia memperoleh kehidupan dan penghidupan, maka sebaiknya terlebih dahulu perlu disuguhkan sebagai yajna sebelum dinikmatinya.<br /><br />Apabila manusia dapat memakan sisi yajna akan terlepas dari segala dosa, ini berarti bahwa manusia harus ikhlas beryajna, manusia dapat mendahulukan kebutuhan yajna, dapat pula bermakna bahwa manusia selalu mengusahakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi., dapat menolong sesama dan menghargai yang lainnya. Menjamin kenyamanan dan keharmonisan pihak yang lain yang berarti pula menciptakan keharmonisan dan ketentraman diri sendiri. Jika manusia telah dapat mewujudkan harapan-harapan mulia tersebut berarti manusia telah berhasil melepaskan dan terhindar dari penderitaan dan malapetaka.<br /><br />Selanjutnya mari kita renungkan makna sloka berikut ini :<br /><br />“Istan bhogan hi vo deva<br /><br />dasyante yajna bhavitah,<br /><br />tair dattan apradayai ‘bhyo<br /><br />yo bhunkte eva sah”, (Bhagavadgita, III,12).<br /><br />Yang artinya :<br /><br />Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri.<br /><br />“Annad bhawanti bhutani<br /><br />parjanyad annasambhawah,<br /><br />yajnad bhawati parjanyo<br /><br />yajnah karma samudbhawah”, (Bhagawadgita, III,14)<br /><br />Yang artinya :<br /><br />Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma.<br /><br />Kedua sloka tersebut mengingatkan umat Hindu betapa pentingnya melaksanakan Yajna, termasuk juga melaksanakan yajna sesa dengan mempersembahkan terlebih dahulu makanan yang telah dimasaknya sebelum menikmatinya. Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yajna sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup di dunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri, hidup untuk menyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri. Tegakah kita sebagai sedharma dijuluki sebagai pencuri? Yang jelas tentu tidak. Dari renungan diatas tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryajna, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yajna sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yajna sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yajna sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menentramkan kehidupan makhluk yang lainnya.<br /><br />Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Nasi diperolehnya berkat kerja keras petani untuk mengerjakan lahannya dengan penuh pengharapan supaya menghasilkan padi, selanjutnya padi diolah juga untuk menghasilkan beras, dan beras inilah kemudian dimasak untuk dijadikan nasi. Tidak cukup hanya itu, bahwa diperlukan juga bantuan yang lainnya dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan Panca maha Bhuta yakni adanya kekuatan tanah atau pertiwi, adanya kekuatan air atau apah adanya kekuatan panas/api atau teja, adanya kekuatan angin atau bayu, adanya kekuatan zat ether atau akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kamahakuasaan Hyang Widhi melalui manifestasinya yang disebut tri murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyumpatannya dan dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperoleh nasi itu. Proses ini merupakan suatu kerja sama manusia baik secara sekala maupun niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia ini menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu dipersembahkan kembali pada kekuatan alam yang lainnya melalui yajna sesa itu sendiri.<br /><br />Sebagaimana ada yang ditegaskan dalam makna sloka di atas dimana adanya makanan ini karena adanya hujan. Ini dimaksudkan bahwa dalam mengolah makanan itu memerlukan adanya air, termasuk juga yang lainnya yang dapat dijadikan sumber kehidupan di dunia ini.<br /><br />Dengan demikian bahwa yajna sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makanannya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan garam yang dialasi taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatinya. Persembahan yajna sesa ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting.<br /><br />Tujuan Yajna Sesa<br /><br /><br />Sebagaimana halnya dalama pelaksanaan yajna-yajna yang lainnya, seperti : Dewa yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna, Bhuta Yajna, dan jenis yajna yang lainnya. Semua jenis yajna itu mengandung makna dan memiliki tujuan yang sangat mulia dan spiritual sesuai dengan jenis dan tingkatan yajna yang dilaksanakannya. Namun yang jelas bahwa yajna itu sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya agar senantiasa dianugerahi kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal dan abadi di dunia ini maupun di akhirat atau moksartham jagadhita ya ca iti dharma.<br /><br />Dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Hidup ini bukan hanya untuk diabdikan pada kepentingan jasmani melulu, namun perlu juga dipenuhi kebutuhan rohani. Hidup ini juga bukan hanya untuk mengumpulkan materi atau harta kekayaan yang melimpah ruah tanpa adanya tuntutan spiritual serta pembinaan mental yang berkesinambungan.<br /><br />Demikian pula halnya bahwa makanan ini tidak hanya untuk dapat mengenyangkan perut saja, bukan pula untuk memuaskan kebutuhan pangan melulu. Hidup ini bukan hanya untuk makan dan selalu bermewah-mewah tanpa ada rasa kepedulian terhadap yang lainnya. Yang terpenting bahwa sesungguhnya makanan itu kita nikmati setelah terlebih dahulu dipersembahkan sebagai yajna dan sisa yajna inilah sebagai wujud anugerah Tuhan untuk dinikmati yang tidak mengurangi kadar gizi dan kesehatannya.<br /><br />Secara sederhana dikemukakan di sini tujuan melaksanakan Yajna sesa bagi umat Hindu, antara lain :<br /><br />Sebagai persembahan yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya yang telah memberikan anugerahnya.<br />Sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang setulus-tulusnya ke hadapan Hyang Widhi yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi.<br />Untuk mengharmoniskan dan menyelaraskan antara adanya kebutuhan jasmani yang berupa makanan dengan kebutuhan rohani melalui pelaksanaan yajna sesa.<br />Sebagai sarana persembahan dan penghormatan terhadap makhluk hidup yang lainnya yang juga merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa.<br />Untuk memupuk rasa kedisiplinan dan toleransi sesama serta dapat mengutamakan kepentingan pribadi atau dirinya sendiri.<br />Demikianlah beberapa tujuan pelaksanaan yajna sesa yang dilaksanakan setiap hari (Nitya Karma) guna terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini.<br /><br />Om Santih Snatih Santih Om<br /><br />By: I Wayan Sudarma<br />http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/yajna-sesa/#more-411Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-78045944186779729832010-06-19T23:31:00.000-07:002010-06-19T23:34:13.946-07:00Menjaga Citra Agama HinduKITAB Catur Veda adalah kitab sucinya Agama Hindu. Veda itu adalah sabda Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam kitab Atharva Weda X.7.20. Dalam Mantra Atharvaveda tersebut dinyatakan bahwa Rgveda dan Yajurveda adalah sabda Tuhan, SamaVeda adalah rambutnya sedangkan Atharvaveda adalah mulutNya. Mantran Atharwa Weda ini menyatakan bahwa Veda kitab suci Agama Hindu itu adalah benar-benar Sabda Tuhan. Weda itu bukan buatan manusia. Dalam kitab Yajur Weda XXXI.7 ditegaskan pula bahwa umat manusia mempersembahkan yadnya kepada Tuhan Yang Mahaesa dan Tuhan Yang Mahesa mensabdakan Rgveda, Samaveda dan juga muncul Yajurveda dan Atharvaveda. Veda sebagai Sabda Tuhan juga dinyatakan dalam kitab Bhagwad Gita dan Manawa Dharmasastra.<br /><br />=== Oleh I Ketut Wiana ===<br /><br />Di dalam kitab Bhagawad Gita XV.15 disebutkan bahwa: Tuhan bersemayam dalam hati semua makhluk. Dari Tuhanlah timbulnya ingatan dan pengetahuan, Tuhan dapat dipahami melalui empat kitab suci Veda. Tuhanlah sebenarnya pencipta Veda dan Tuhan juga yang paling tahu dengan Veda dan Vedanta. Demikian juga dalam kitab Manawa Dharmasastra I.23 juga disebutkan bahwa kitab suci Veda itu disabdakan oleh Tuhan. Jadi umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu adalah Sabda Tuhan bukanlah karena suatu pernyataan manusia, namun Tuhanlah yang mensabdakan sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci Veda itu. Sedangkan dalam kitab Sastra juga para Resi menegaskan kembali bahwa Veda itu adalah ciptaan Tuhan. Jadinya umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu Sabda Tuhan bukanlah membuat-buat. Namun ada fakta dalam kitab sucinya. Sesungguhnya kalau kita memahami moral dan etik pergaulan antara pemeluk Agama yang berbeda-beda sangat tidak dibenarkanlah menilai Agama orang lain yang tidak dianut.<br /><br />Untuk menjaga citra Agama Hindu seyogianya umat Hindu sendirilah yang pertama-tama mewacanakan pernyataan Veda yang menyatakan bahwa Veda itu adalah sabda Tuhan. Demikian juga dengan tegas menyatakan bahwa tradisi yang bertentangan dengan sabda Tuhan itu harus ditingkatkan. Tradisi berjudi di Pura saat ada upacara. Minum-minuman keras saat ada upacara Yadnya harus dengan tegas ditingkatkan dalam rangka menjaga citra Agama Hindu. Demikian juga adanya beberapa tradisi yang bertentangan dengan kitab suci harus dengan tegas ditingkatkan demi citra Agama Hindu itu sendiri. Demikian juga umat Hindu terutama para pemimpinnya yang berada di berbagai lembaga keumatan hendaknya proaktif mensosialisasikan keberbagai lembaga pemerintahan dan juga non-pemerintahan untuk menyatakan bahwa kitab suci Veda itu adalah sabda Tuhan. Bila perlu melakukan langkah-langkah hukum, kalau ada yang dengan sengaja memojokan Agama Hindu sebagai Agama yang bukan sabda Tuhan. Istilah Agama langit dan Agama bumi harus dihilangkan di bumi NKRI ini. Hal itu akan menjadi pemicu ketidak rukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini akan merusak citra kehidupan beragama di Indonesia.<br /><br />Disamping itu ajaran kitab Suci Veda sabda Tuhan itu harus terus menerus dijadikan landasan membina kehidupan individual maupun kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Pengamalan Agama Hindu harus dapat dibuktikan ada perbaikan kwalitas hidup individu maupun kwalitas kehidupan sosial yang semakin meningkat. Citra Agama Hindu akan terus meningkat baik bagi penganutnya maupun bagi orang lain apa bila umat Hindu berhasil menjadikan Agama Hindu itu untuk meningkatkan kwalitas kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya.<br /><br />Secara individual penerapan Agama Hindu seyogianya dapat membangun individu yang berkwalitas. Penerapan Agama Hindu harus dapat membangun individu yang semakin sehat secara fisik, tenang secara rokhani. Fisik yang sehat dan rokhani yang tenang dapat didayagunakan untuk mengeksistensikan profesi. Kalau penerapan beragama Hindu itu menjadi sejumlah kewajiban yang menimbulkan beban hidup yang dirasakan memberatkan, itu berarti cara pemahaman Agama yang keliru. Bukan kesalahan pada ajaran Agama sabda suci Tuhan tersebut. Dalam ajaran Agama Hindu memang ada kewajiban-kewajiban yang seyogianya dilakukan oleh seorang penganut Agama Hindu. Tetapi kewajiban-kewajiban tersebut kalau tepat caranya memahami dan melakukan justru akan dirasakan sebagai suatu yang indah dalam hidup ini. Kalau setiap umat yang melakukan ajaran Agama Hindu itu merasakan manfaatnya, maka hal ini akan menumbuhkan citra positif pada kehidupan beragama. Untuk menjaga citra positif pada Agama Hindu tersebut, pahamilah ajaran Agama Hindu tersebut secara baik dan benar. Terapkanlah ajaran Agama Hindu tersebut secara tepat dalam kehidupan individu. Demikianlah juga dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Penerapan ajaran Agama Hindu dalam kehidupan bersama seyogyanya mampu membangun kebersamaan yang berkwalitas. Kebersamaan yang berkwalitas itu adalah kebersamaan dinamis, harmonis dan produktif dalam artian yang luas. Tidak saja menumbuhkan nilai-nilai material, tetapi juga nilai-nilai sosial religius secara seimbang. Kebersamaan yang dinamis, harmonis dan produktif itu akan dapat terwujud apa bila dalam kebersamaan itu ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Tidak mungkin suatu kebersamaan itu langgeng kalau tidak ada kesetaraan. Seperti adanya sekelompok orang diistimewakan hanya berdasarkan keturunan atau wangsa. Apa lagi dalam kebersamaan itu satu dengan yang lainnya tidak merasa bersaudara dan juga tidak bersahabat. Ditambah lagi tidak adanya kemerdekaan untuk mengembangkan diri masing-masing sesuai dengan swaguna dan swadharmanya. Kebersamaan yang demikian itu membuat masyarakat bersatu dengan sangat rapuh. Mudah goyah dan mudah dipicu konflik. Karena itu penerapan ajaran Agama Hindu tersebut hendaknya diupayakan benar agar dapat membina kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Kalau tiga hal itu tidak diwujudkan dalam kehidupan bersama, maka kebersamaan itu dapat merusak citra kehidupan beragama Hindu. Karena itu jadikan ajaran Agama Hindu tersebut membangun kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan.<br /><br />http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=71Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-47344823112465164612009-12-22T06:53:00.002-08:002009-12-24T14:33:22.797-08:00UPACARA BAYI BARU LAHIRTata pelaksanaan upacara anak yang baru lahir memiliki beberapa tatanan dalam pelaksanaannya yaitu :<br /><br />A.TATA CARA MENANAM ARI-ARI<br /><br />Persiapan sebelum memulai menanam ari-ari<br />1.Air kumkuman secukupnya<br />2.Boreh gading ( dibuat dari beras dan bangle )<br />3.Kelapa yang telah terkupas kulit luarnya dan dibelah dua, dan ditulis dengan rerajahan, bagian atas atu penutup dengan “ Ongkara “ dan bagian bawah dirajah dengan tulisan <span style="font-style:italic;">“ Ongkara, Angkara, dan Ahkara “</span>.<br />4.Serabut ijuk<br />5.Daun lontar ditulis aksara dasa bayu dengan huruf Bali atau huruf latin dengan tulisan <span style="font-style:italic;">“ Om, i, a, ka, sa, ma, ra, la, wa, ya, ung “</span>.<br />6.Sebuah ngad dengan panjang 5 cm<br />7.Batu bulitan atau batu hitam dengan diameter 15 – 20 cm<br />8.Pohon pandan<br />9.Batang pohon kanta wali<br />10.Sanggah tutuan beratap ijuk atau kelopak bambu<br />11.Air bersih<br />12.Sebuah kwangen berisi uang bolong 11 kepeng<br />13.Duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian<br /><br />Cara menanam ari-ari<br />1.Nyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra :<br /><span style="font-style:italic;">“ Om ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna yenamah suaha”</span>.<br />Ucapan :<br /><span style="font-style:italic;">Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu yenamah suaha.<br /></span>2.Setelah mengucapkan mantra diatas barulah membuat lubang, selanjutnya ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih, sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya di masukkan kelubang tersebut.<br />3.Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan disi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara dasa bayu, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul diatasnya, dan dipasangkan kwangen diatasnya.<br />4.Masukkan ari-ari kedalam lubang atau bangbang dengan muka kwangen kearah halaman rumah. Sambil meletakkan didalam lubang ucapkan mantra dalam hati :<br /><span style="font-style:italic;">“ Om presadha stiti sarisa sudha yenamah. “</span><br />Ucapan :<br /><span style="font-style:italic;">Ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amrtasanjiwani, amrtani ikang sarwa tumuwuh ………( nama bayi ) moga moga dirgahayusa. Poma poma poma.<br /></span>Tata letak pembuatan lubang memiliki etika yang berbeda antara bayi wanita dengan bayi laki-laki. Kalau bayi laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita menghadap ke halaman rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri.<br />5.Setelah ditanam diatasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan.<br />6.Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.<br />7.Dibagian hulu dari ari-ari ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.<br />8.Suguhkan segehan manca warna pada ari-ari sebanyak lima tanding antara lain :<br />a.Segehan putih satu tanding menghadap ke timur<br />b.Segehan abang satu tanding menghadap ke selatan<br />c.Segehan kuning satu tanding menghadap ke barat<br />d.Segehan ireng satu tanding menghadap ke utara<br />e.Segehan brumbun satu danding ditengah-tengah menghadap ke timur.<br />Ucapan :<br /><span style="font-style:italic;">Sa, ba, ta, a, i, panca butha yenamah suaha, Ndah ta kita Sang Anta Preta, metu saking wetan, Sang Kala metu saking kidul, Sang Bhuta metu saking kulon, Sang Dengen metu saking lor, muah Sang Angga Sakti metu saking madia, mari sira mona mekabehan, ingsun paweh sira tadah saji ganjaran, pilih kabelanira suang-suang, iki tadah sajinira, ngerararis amuktisari, wus amukti sari ingsun aminta kesidianta, tunggunan di jabang bayi sekala niskala, menadi urup waras dirgayusa, Ang Ah mertha bhuta yenamah suaha.<br /></span>Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak <br />Selanjutnya setiap hari diatas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam diatas daun dapdap dengan lauk garam dan arang kemudian disiram dengan air selam 42 hari<br />9.Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan ucapan :<br /><span style="font-style:italic;">“ Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang…Ah amertha snjiwa ye namah suaha.”<br /></span>10.Menghaturkan soda pada pelinggih kemulan, dengan tujuan memohon tirtha pasucian kehadapan Hyang Guru dengan mantra :<br /><span style="font-style:italic;">“ Om guru rupam sadadnyanam, guru pantharanam dewam, guru nama japet sadha, nasti-nasti, dine-dine, Om gung guru paduke byonamah suaha.”</span><br />Ucapan “<br /><span style="font-style:italic;">“ Om pakulun paduka Bhatara Hyang Guru mami angaturaken tadah saji pawitra, aminta nugraha Bhatara tirtha pengelukatan pebersihan, nggenlumulangaken keletehan sariran ipun dijabang bayi, kelukat, kelebur de paduka Bhatara matemahan sarira sudha nirmala yenamah, Om sidhi rastu yenamah suaha. “</span><br />11.Tirtha pasucian dipercikkan ketempat sanggah tutuan dan tempat ari-ari, banten buwu, serta dapetan. Selanjutnya bayi dan ibunya diperciki tirtha buwu dan ayabang banten dapetan.<br /><br />B.MAKNA DAN TUJUAN<br />Maknan dan tujuan yang terkandung pada upacara saat bayi baru lahir yaitu :<br />1.Ari-ari<br />Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang merupakan personifikasi dari Sang Catur Sanak, yaitu :<br />a.Sang Anta Preta<br />Sang anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia.<br />b.Sang Kala<br />Sang Kala merupakan sebutan darah yg keluar pada saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu<br />c.Sang Bhuta<br />Sang Bhuta merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelican saat bayi lahir.<br />d.Sang Dengen<br />Sang Dengen adalah sebutan untuk ari-ari atau placenta yang ikut lahir. Karena ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan , sebab ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari Ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si Ibu<br />2.Batu hitam atau batu bulitan<br />Batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.<br />3.Pohon Pandan<br />Pohon pandan diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.<br />4.Lampu Bali<br />Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karan itu lampu tersebut ditatabkan atu ayab. Mantra : “ Om Ang Ah Surya Candra Gumelar Yenamah swaha. “<br />5.Sangkar Ayam<br />Sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala ( batas pandang alam semesta ). Bahwa catur sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi<br />6.Batang Rumput kanta Wali<br />Sebagia lambang atau niyasa kekuatan asuri sampad, yang merupakan manefistasi Sang Catur Sanak yang disebut malipa malipi, dan sebagai kekuatan pelindung bayi. Apabil sudah masanya bayi akan dipisah menyusui maka batang itulah dipotong getahnya diteteskan pada susu si Ibu.<br />7.Sanggah Tutuan<br />Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi<br />8.Banten Bhuwu<br />Merupakan banten penyucian terhadap bayi dan ibunya serta lingkungan agar suci dari kecuntakaan atau sebel pada tahap permulaan<br />9.Banten Dapetan<br />Mengandung makna dan tujuan sebagai penyapa kehadapan roh suci yang baru reinkarnasi menjadi bayi.<br /><br />C.UPAKARA<br />1.Merajaan<br />Daksina, peras, soda, ketipat kelanan atau banten soda.<br />2.Ayaban untuk Ibu dan bayi<br />Banten dapetan asoroh<br />Banten ajuman putih kuning<br />3.Upakara penyucian<br />Banten bhuwu asoroh<br />4.Upakara di sanggah tutuan<br />Soda putih kuning<br />Canang burat wangi<br />Cangang lenga wangi<br />5.Untuk di ari-ari<br />Segehan manca warna asorohUnknownnoreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-50949433763049899842009-12-07T06:20:00.000-08:002009-12-07T06:43:15.942-08:00PENJAGAL HEWAN JADI PEMANGKUPamangku Juru Jagal? <br />Mungkin timbul pertanyaan demikin dibenak kita, berikut penuturan Bapak Nyoman Rame Jl. Raya Besakih Klungkung.<br />Sejak tamat SMA tahun 1985 saya bekerja di rumah pemotongan hewan Sanggaran, Denpasar Selatan. Kasarnya, saya tukang jagal. Tapi, saya dibuat pangling, karena sebulan lalu dalam sebuah acara nyanjan , saya ditunjuk jadi pamangku pura dadia , apa boleh buat saya nyaris pingsan dibuatnya. Memang bukan keluarga besar yang menunjuk, tapi saya tidak bisa mengelak.<br />Lewat Jero Tapakan yang didatangkan dalam prosesi nyanjan itu saya nyaris bertengkar. Kenapa saya yang tukang jagal dipilih jadi pamangku, kenapa tidak keluarga saya yang lain, yang lebih bersih, tekun, dan rajin belajar agama?<br />Aduh, sekarang saya jadi bingung, roh leluhur saya “mengancam” hendak mengambil nyawa saya jika tidak ngiring . Di sisi lain saya dihantui pekerjaan sebagai tukang sembelih hewan, ya karena memang dari sana saya memperoleh kehidupan. Saya sadar, pekerjaan tukang jagal terang teramat hina. Jikapun saya mau jadi pamangku, apakah pekerjaan ini harus saya tinggalkan?<br />Lalu, di mana saya mencari penghidupan, sementara jadi pamangku membatasi gerak aktivitas saya. Bayangkan: jagal jadi pamangku. Nah, sudi kiranya Bapak membukakan saya jalan, sementara anak-anak sedang butuh biaya. Menjadi pamangku jelas berseberangan dengan hati nurani saya. Lalu, apakah pekerjaan yang kita tekuni senantiasa membawa dampak bagi kesucian seseorang, dengan demikian ia dijauhi Tuhan. Benarkah?<br /><br />Jawab:<br />Jika kita mencoba memetik intisari pertanyaan Sdr. Nyoman Rame ini akan menjadi masalah kemanusiaan universal, yang akan diangkat sebagai pertanyaan oleh semua orang di muka Bumi. Betapa tidak? Di dunia ini banyak sekali orang menginginkan sesuatu, seperti menginginkan kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, dan seterusnya, tetapi keinginan tersebut tidak juga didapatkan meskipun mereka telah berusaha keras mendapatkan hal itu. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang tidak menginginkan sesuatu, tetapi dia justru mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkannya itu.<br />Banyak orang menginginkan pekerjaan yang mendatangkan banyak uang, dan sebaliknya, tidak sedikit orang tidak menginginkan pekerjaan yang tidak memberikan uang berlimpah. Apabila kita mencoba mengukur realitas ini dari ajaran Sang Buddha, inilah yang disebut duhkha (penderitaan). Disatukan dengan sesuatu yang kita benci adalah duhkha . Dipisahkan dengan sesuatu yang kita cintai adalah duhkha . Mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan adalah duhkha , dan tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan adalah duhkha.<br />Tetapi, jangan khawatir, duhkha ini bisa dilenyapkan, seperti yang telah dilakoni Sang Buddha melalui pemutaran roda dharma ( dharmacakrapravartana ) yang diwedarkan dalam kotbah pertama di Taman Rusa, kota Benares , India . Jalan keluarnya adalah dengan melenyapkan keinginan. Mengapa Sdr. Rame sekarang mengalami kebimbangan? Tidak lain karena hasrat, keinginan atau tanha . Lenyapkanlah keinginan ini.<br />Memang, tidak ada yang salah dengan keinginan. Masalahnya, manakala keinginan itu tidak terpenuhi, maka terjadilah duhkha . Karena itu, seharusnya orang jangan menginginkan sesuatu, dan juga jangan tidak menginginkan sesuatu. Bekerjalah di dalam tidak bekerja, dan tidak bekerja di dalam bekerja. Ini adalah kata-kata Mahabharata, yang lebih verbal diuraikan lagi dalam Bhagavad-gita : karmany eva dikaraste , ‘bekerjalah tanpa mengharapkan hasil'.<br />Lebih daripada itu, mengapa keinginan mendatangkan penderitaan ini menyangkut apa yang diinginkan. Dewasa ini, sangat sedikit orang bercita-cita menjadi orang suci semacam pamangku. Kalau menjadi pejabat dengan gaji besar, pasti banyak yang menginginkan. Jadi, keinginan itu pada akhirnya akan selalu mendatangkan penderitaan, karena keinginan itu selalau diarahkan untuk menguasai dunia material, dan salah satu ciri utama dunia material ini adalah duhkhalayam : penuh penderitaan.<br />Dalam konteks ini, Sdr. Nyoman Rame harus mensyukuri panggilan ngiring untuk menjadi pamangku di Pura Dadia. Memang, setelah menjadi pamangku bukan berarti Anda bebas dari penderitaan. Pendeitaan akan tetap ada. Tetapi dalam kedudukan sebagai pamangku, penderitaan itu akan menjadi sesuatu yang remeh di hadapan Anda. Menjadi pamangku berarti menjadi medium atas karunia Tuhan, sehingga pamangku setiap saat dituntut bersih lahir dan batin. Orang yang selalu bersih dan tekun, sebenarnya tidak ada masalah penderitaan baginya.<br />Menjadi pamangku adalah panggilan Dharma. Ini adalah kesempatan mengabdi kepada umat manusia, kesempatan emas untuk membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan dunia material, dan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan tujuan agama: moksartham jagaddhitaya ca iti dharma. Secara ideal, kalangan agamawan sering agak berseloroh mengatakan, bahwa bagi orang suci, pintu surga sudah terbuka. Karena itu, tidak ada suatu karunia yang lebih tinggi, selain karunia “dipaksa” melakoni pengabdian suci sebagai seorang pamangku.<br />Setelah menjadi pamangku, apakah harus meninggalkan pekerjaan sebagai jagal, dan bagaimana halnya dengan nafkah yang harus didapatkan untuk menghidupi keluarga? Kebimbangan ini menunjukkan bahwa Sdr. Nyoman Rame belum memahami siapakah Tuhan. Tuhan adalah Mahakaya, dan pemilik segala-sesuatu. Dalam Bhagavad-gita 10.8 disebutkan, “Tuhan adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu berasal dari Tuhan (aham sarvasya prabhavo mattah sarvam pravartate).” Dalam Isa Upanisad keterangan yang sama juga dijelaskan. Tuhan adalah sumber segala makhluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak (isavasyam idham sarvam).<br />Kalau Tuhan sudah memilih Anda mengabdi di jalan dharma (melalui upacara nyanjan ), pasti Tuhan telah memberi solusi dan jalan keluar terhadap berbagai masalah yang akan Anda hadapi sebagai konsekuensi atas pilihan terhadap pengabdian itu. Jangan pernah mengerdilkan keagungan Tuhan. Ingat, Tuhan adalah Mahakaya. Meskipun demikian, hendaknya seseorang jangan mendekati Tuhan hanya untuk mendapatkan kekayaan.<br />Tentang pekerjaan sebagai jagal, apakah harus ditinggalkan? Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan ini, kiranya penting dijelaskan bahwa manusia hanya mengetahui kehidupannya pada babak kehidupan saat ini. Sedangkan Tuhan mengetahui masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Inilah perbedaan antara manusia dengan Tuhan.<br />Jadi, pekerjaan sebagai jagal yang dilakoni Sdr. Rame hanyalah pekerjaan yang dilakoni pada kehidupan ini. Saudara Rame tentu tidak tahu pekerjaan yang Saudara lakoni pada kehidupan yang lalu, demikian juga pekerjaan yang Saudara akan lakoni pada kehidupan nanti. Jadi, pilihan yang dijatuhkan oleh leluhur Anda untuk ngiring sebagai pamangku, harus dihubungkan dengan pekerjaan Anda di masa lalu. Mungkin saja, atas jasa pekerjaan yang Anda lakoni pada kehidupan di masa lalu mengharuskan Anda menjadi pamangku pada kehidupan sekarang.<br />Jika jawaban tersebut belum memuaskan Sdr. Rame, dan juga mungkin tidak memuaskan sebagian besar Pembaca, karena tidak realistik atau masih mengawang-awang ke masa lalu, maka bersama ini saya tunjukkan karunia Tuhan. Tuhan bisa mengubah batu menjadi emas, tentu saja Tuhan juga bisa mengubah seorang jagal menjadi seorang pendeta. Pernahkah Anda mendengar cerita seorang Ratnakara? Ia seorang penjahat yang melakukan berbagai jenis kejahatan. Suatu hari ia merampok seorang rsi. Rsi ini bertanya kepadanya, apakah anak-anaknya dan saudara-saudaranya mau menerima dosa-dosa akibat kejahatan yang dilakukannya?<br />Setelah kembali dari rumahnya untuk menanyakan masalah itu (yang ditanyakan rsi tadi) kepada anak-anak dan saudaranya, Ratnakara kembali kepada rsi itu dan menyampaikan jawaban anak-anak dan saudaranya, bahwa mereka tidak bersedia menerima dosa akibat kejahatan yang dilakukan Ratnakara. Sang Rsi lalu menasihati agar meninggalkan pekerjaan sebagai perampok. Sejak itu, Ratnakara bertobat dan melakukan pertapaan keras. Ratnakara, yang adalah seorang penjahat, kemudian dikenal sebagai seorang penyusun Ramayana dan dikenal dengan nama Valmiki.<br />Jika, dalam pertanyaan tadi, Sdr. Rame menganggap pekerjaan jagal adalah pekerjaan hina, maka pekerjaan itu memang segera harus ditinggalkan. Persoalannya, bukan karena Anda menjadi pamangku lalu pekerjaan jagal itu harus ditinggalkan, melainkan karena Anda sendiri menganggap pekerjaan itu hina. Bagaimana mungkin, Anda sadar suatu pekerjaan itu hina, lalu Anda tetap lakoni pekerjaan itu semata-mata demi uang. Model seperti ini terlalu jamak dalam masyarakat kita dewasa ini. Banyak orang melakoni berbagai jenis pekerjaan hina hanya demi uang. Di satu sisi, sraddha atau kepercayaan mereka terhadap Tuhan lemah. Mereka tidak pernah yakin, Tuhan adalah mahakaya. Di sisi lain, ini suatu bukti betapa kuat pragmatisme bercokol dalam relung kalbu kita.<br />Dalam tradisi Bali , menjadi pamangku adalah pinandita dengan kedudukan ekajati . Sebagai seorang pamangku, ia mulai melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi. Karena itu, ia harus menghindari pembunuhan, apalagi menjadi seorang jagal. Dalam banyak kasus, seperti dalam upacara bhuta yajna , seorang pamangku bahkan dilarang langsung berperan dalam panyamblehan (pembunuhan binatang yang dipersembahkan kepada bhuta ).<br />Satu hal yang harus dipahami dari berbagai uraian di depan ialah: karunia Tuhan tidak selalu dalam wujud harta-benda berlimpah, rumah mewah, jabatan tinggi, dan keturunan manis-manis. Ada kalanya Ia mengambil semua pekerjaan dan harta benda kita sehingga kita menjadi benar-benar miskin. Orang miskin sangat terikat dengan Tuhan. Karena itu, Dewi Kunti berdoa dalam Bhagavata Purana 1.8.27 : namo ‘kincana-vittaya, “Hamba bersujud kepada Anda, yang menjadi milik orang yang miskin secara material”.<br /><br />I Ketut WidnyaUnknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-69820205215713427012009-12-05T08:02:00.000-08:002009-12-05T08:07:17.452-08:00MENUKAR ”ANUGRAH” DENGAN ”BABI GULING”Entah kapan dimulainya masyarakat Hindu di Bali sangat umum melakukan persembahan ”Babi Guling” dalam suatu acara, apakah piodalan, hari baik, atau sekedar Nawur Sesangi (bayar janji). Kenapa Nawur sesangi? Umumnya ketika umat ini menghadapi suatu masalah, atau ada keinginan tertentu seperti naik pangkat, anak dapat sekolah, atau sehat dari sakit, dll maka kepasrahan rupanya tidak cukup jadi perlu perjuangan atau menjanjikan sesuatu kepada sang Pencipta, atau agar tidak dibilang tidak tahu terima-kasih, maka Hyang Whidi dijanjikan Babi Guling, padahal semua yang ada didunia ini termasuk kita adalah ciptaan beliau, kenapa harus dipersembahkan babi guling ini kepada beliau?. Waktu berjalan dan suatu saat tercapai niatnya, maka pada hari yang dianggap baik dipersembahkanlah Babi Guling, ibaratnya Anugrah diterima, babi guling dipersembahkan, ini seperti barter anugrah ditukar dengan babi guling. Bentuk lain adalah persembahan babi guling ditujukan kepada ”Penunggun Karang/Penglurah” yang sebenarnya Bhuta (Bhuta Dewa/satpam para Dewa), jika ini dilakukan maka sudah tidak percayakah umat pada Hyang Whidi sehingga harus meminta pada Bhuta. Fenomena seperti ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi kebiasaan sehingga umat banyak yang tidak tahu atau tidak perlu tahu apakah cara-cara itu dibenarkan menurut ajaran Hindu. Yang menjadi pertanyaan apakah sudah seperti itu pola pikir masyarakat akan makna persembahan, sebebelum sampai kesitu coba kita simak kenapa ada persembahan Babi Guling kepada Hyang Whidi atau Penunggun Karang. <br /><br />Seperti diketahui jaman dulu kita belum mengenal nama Hindu seperti sekarang ini, yang ada adalah sebuah Mazab/Sekte/Pakse yang merupakan penonjolan Ista Dewata tertentu, sehingga ada : Sekte Siwa, Sekte Waisnawa, Sekte Bhairawa, juga ada sekte Budha, dll dimana pada abad XI oleh Mpu Kuturan di Bali sudah di-fusi menjadi satu dengan pemujaan Ista Dewara Tri Murti dalam bentuk Pelinggih Kemulan Rong Tiga dan ditingkat desa berupa Desa Pakraman dengan Pura Desa, Dalem, dan Puseh. Rupanya fusi ini tidak otomatis menghilangkan salah satunya atau memunculkan sesuatu yang baru sama sekali karena ciri khas sekte itu masih ada, sebut saja : Sekte Bhairawa yang disebutkan dalam persembahyangan perlu mabuk, sehingga yang masih bisa dilihat sekarang Caru dengan tuak/arak, pemotongan binatang/darah binatang, persembahan Babi Guling, bahkan lawarpun konon peninggalan dari para penganut sekte Bhairawa, sehingga sekarang ini tidak mudah memisahkan hal itu dari kebiasaan masyarakat. Apakah kemudian kita berhenti makan lawar atau berhenti mempersembahkan Babi Guling? tentunya sebelum memutuskan itu alangkah baiknya disimak dulu apa sebenarnya makna persembahan bagi kita? Kepada siapa persembahan itu ? Hyang Whidi, Ista Dewata, Bhatara, Leluhur, atau Bhuta Penunggun karang/Panglurah. Coba kita lihat pertama dari sikap, itu saja sudah dibedakan, sikap pada Hyang Whidi, Ista Dewata atau Bhatara dengan tangan dicakupkan didahi menghadap keatas, sementara kepada leluhur didepan hidung, kepada sesama didada, dan kepada bhuta didada menghadap kebawah. Selanjutnya sarana sembahyang bagaimana ?. Disebut dalam Bhagawad-Gita sbb : ”patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, Tad aham bhakty-upahrtam asmani prayatatmanah “ (Kalau seseorang mempersembahkan daun,bunga,buah atau air, dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. Bhagavad-Gita 9.26), jadi tidak pernah tersurat disana persembahan dengan binatang atau babi guling. Kita lihat lagi sarana persembahan : “Banten Pejati”, menekankan kesejatian bhakti kita, “banten suci” mengandung pesan hati yang suci diwaktu bersembahyang, “Pareresik (Byekaon,durmenggala,prayascita)” mengandung makna pensucian tiga alam Bhur-Bwah-Swah loka, pada diri manusia Bhur=pusar kebawah, Bwah=pusar sampai leher, Swah=kepala, dan bentuk sarana lainnya seperti Canang, dan lain-lain, semua persembahyangan itu justru merupakan pesan kesucian bagi para penyembah (Bhakta). Lalu bagaimana yang punya kemampuan menari mempersembahkan tarian, yang bisa menabuh dengan megamel, atau yang punya pohon mangga mempersembahkan mangga, dll bukankah itu juga dipersembahkan kenapa boleh, itu semua merupakan “ucapan terima-kasih” karena Hyang Whidi telah memberikan anugrah buat kita berupa pengetahuan dan hasil bumi. Kalau begitu benar bukan, kalau Babi guling juga dipersembahkan? Untuk ucapan terima-kasih terkait dengan hewan termasuk Babi, ada “tumpek kandang” namanya, tetapi pada hari itu tidak ada penyembelihan hewan tersebut ! Memang ada disuatu desa yang penulis tahu sehubungan dengan babi mereka beranak-pinak, maka dipersembahkan babi yang terkecil untuk dipersembahkan (di-guling), tetapi sebenarnya itu tidak sejalan dengan makna tumpek kandang, jadi hanya dikai-kaitkan agar dapat mempersembahkan babi guling atau bisa makan babi guling. Kalau kita tanya bagi sebagian umat yang mempersembahkan babi guling, umumnya mereka tidak mengerti itu pengaruh sekte Bhairawa, atau tidak mempertanyakan itu ada dasar sastranya atau tidak, yang mereka tahu mereka masih suka makan babi guling dan sebelum dimakan maka dipersembahkan dulu kepada Hyang Whidi sehingga lungsuran/prasadam yang dimakan jadi tidak makan dosa. Sekilas kelihatannya benar, namun ada cara yang lebih mengena, sebelum memotong babi lakukan permohonan “tirta pengentas” agar si Babi dikelahiran nanti bisa menjadi lebih baik, misalnya menjadi manusia karena kita umat Hindu percaya dengan re-inkarnasi, dan ketika akan menikmatinya boleh saja bersembahyang dulu atau panjatkan doa ucapan terima-kasih karena telah dianugrahi babi sehingga bisa disantap dengan benar (bukan menyantap dosa). Penulis berharap walau tidak dipaksakan, secara pelan-pelan kesenangan makan daging termasuk babi guling sebaiknya dikurangi kalau bisa dihilangkan, karena ketika makan daging sesungguhnya sifat-sifat raksasa yang masih ada pada diri manusia menjadi dominan, seharusnya sifat-sifat dewata yang dominan sehingga kita tidak perlu menyantap daging, jika memungkinkan yang dimakan adalah “Catur Kahuripan yaitu : daun, buah, bunga, akar/umbi, karena makanan tersebut secara ilmu kesehatan adalah makanan sehat apalagi bagi yang sudah usia diatas 40 tahun. Selanjutnya sesuai ajaran Catur Asrama kita bisa menapak fase ketiga (Wanaprastha) dengan mulai banyak belajar Weda, mulai sering tirta-yatra ke pura-pura atau petilasan, atau melakukan japa dirumah. Dengan pola seperti ini kita juga telah mendukung “Global Warming” karena mereka menyebutkan penyembelihan hewan dan makan daging hewan juga termasuk yang ikut andil terhadap pemanasan global. Akhirnya apapun yang kita lakukan akan ada pahalanya sesuai ajaran Kharma Phala, jika yang suka makan daging atau yang tidak makan daging bahkan vegetarian, akan mendapat pahala masing-masing, minimal dari sisi kesehatan yang tidak bisa ditukar dengan babi guling, karena kesehatan adalah terkait dengan pola hidup khususnya pola makan. Semoga semua mahluk saling menyayangi .. Aum.<br /><br />Nyoman Sukadana<br />http://www.damuhantara.blogspot.com/Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-28965438969826268032009-10-22T21:45:00.000-07:002009-10-22T21:47:42.640-07:00PANCA DATUPanca Datu...<br /><br />Panca Datu dan Perjalanan Maharesi Markandeya<br /><br />Bila kita membaca kisah perjalanan Maharsi Markandeya(yang dijadikan panutan di Pesraman Batu Ngadeg Narayana dengan konsep Waisnawa) tampak jelas dimana keberhasilannya untuk merabas Pulau Bali adalah dengan membawa Panca Datu dan menanamnya di Pura Basukian atau Besakih sekarang. Kok bisa hanya membawa lima jenis logam dapat selamat merabas Pulau Bali yang dulunya terkenal angker dengan roh-roh jahatnya ?<br /><br />Ini merupakan petunjuk/wahyu yang didapat oleh beliau di lereng Gunung Raung (Jatim) atas petunjuk Dewa Brahma dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Pasupati. Ada apa dengan Panca Datu? Seperti yang anda ketahui panca Datu adalah lima jenis logam mulia yang dipakai biasanya ditanam di tanam sebelum membangun suatu pura. Upacaranya dinamakan "mendem pedagingan (mengisi inti). Logam-logam itu antara lain adalah Emas, Perak, Besi,Perunggu dan timah atau beberapa sumber menjelaskan logam-logam tersebut adalah: mirah permata, emas, perak, perunggu dan baja. Dalam postingan ini kami coba mengupas arti panca datu yang dikomparasi dari kajian kitab Weda, Lontar, ilmiah(sebagai sumber tertulis) dan wedangga(sumber lisan wahyu/tutur). Tujuannya bukan mencari kelemahan atau mengkritik satu sama yang lain, melainkan belajar untuk mengupas nilai-nilai Agama yang dapat digunakan dasar/isnspirasi untuk mengarungi samudera kehidupan yang luas ini.<br /><br />Panca datu (lima jenis logam) sekarang telah menjadi suatu ritual resmi di Bali dalam rangka pemelaspasan/proses inisiasi energi ketuhanan ketika akan mentransformasi suatu pura yang baru selesai dibangun agar dapat dipakai untuk sembahyang (mentransfer energi/sinar suci ketuhanan). Begitu pula bagi pura yang telah lama berdiri, perlu di recharge energinya dengan upacara mupuk pedagingan, pedudusan dll. Kita tidak membahas fungsi panca datu sebagai bagian dari upacara melainkan kenapa Maharesi Markandeya hanya berbekal lima jenis logam dapat merabas pulau Bali? dan kenapa Maharesi diperintahkan menanamnya di pulau ini? ada apa dengan logam dalam konteks energi spiritual.<br /><br />Sifat dan Energi Logam<br /><br />Logam dan dunia spiritual/supranatural memang tidak bisa dipisahkan. kami berikan contoh "Keris" keris adalah salah satu jenis tradisional yang diposisikan paling tinggi statusnya, karena keris selain berfungsi untuk senjata penjaga diri juga berfungsi sosial sebagai lambang suatu jabatan, media supranatural dan prestise (kebanggaan pribadi/golongan). Banyak mitos yang lahir dari sosok "keris" ini keris ada yang diyakini mempunyai "roh", keris dianggap dapat memberikan kekuatan tertentu pada pemiliknya dll. Kebudayaan keris di Bali diperkirakan munculnya pada jaman Bali Arya dimana Bali mulai ada interaksi dengan Kerajaan di Pulau Jawa.<br />Olahan logam yang juga diyakini memiliki nilai spiritual/supranatural adalah gamelan/gong. Gamelan di Jawa dan Bali diyakini meiliki "roh" tertuma di instrumen "Gong"-nya. Di Jawa bahkan instrumen gong ini bersifat "laki perempuan" dan diberikan nama tertentu sedangkan di Bali bahkan ada upacara khusus terhadap instrumen "gong" yang dilakukan sebelum memulai memainkan gamelan.<br /><br />Dari contoh di atas tampak jelas unsur logam merupakan media yang bagus untuk menyimpan energi-energi spiritual dibandingkan zat yang lain. Jika ditilik dari sifatnya menurut ilmuwan, bahwa logam sebagai suatu kristal terdiri dari ion positif logam dalam bentuk bola-bola keras dan sejumlah elektron yang bergerak bebas dalm ruang antara. Elektron-elektron valensi logam tidak terikat erat (karena energi ionisasinya rendah), sehingga relatif bebas bergerak. Hal ini dapat dimengerti mengapa logam bersifat penghantar listrik yang baik dan juga mengkilap.<br /><br />Dalam kepercayaan di Bali logam tidak dicantumkan kedalam unsur pembentuk alam. Unsur pembentuk alam di Hindu dikenal sebagai Panca Maha Bhuta yaitu:<br />Pertiwi(tanah), apah(air), teja(api), bayu(udara), akasa(ether/zat kosong). Panca Maha Bhuta ini diciptakan dari unsur tenaga Tuhan yaitu:<br />Gandhatanmatra adalah benih unsur pertiwi, rasatanmatra benih unsur apah/air, rupatanmatra benih unsur teja/api, sparsatanmatra benih unsur bayu/udara dan sabdatanmatra benih unsur akasa.<br /><br />Jika kita komparasikan dengan ilmu alchemy/alkimia. Alkimia (alchemy) adalah suatu seni abad pertengahan untuk menciptakan emas dari logam apa saja. Walau alkimia seolah-olah hanya menghasilkan ilusi akan tetapi tetap berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern terutama ilmu kimia.<br /><br />Menurut catatan, alkimia lahir di tanah mesir tepatnya Alexandria. Pada periode yang bersamaan, ilmu ini dikembangkan di daratan Cina. Alkimia dipengaruhi oleh teori yang disusun oleh Empedocles sekitar 5 abad sebelum masehi, yang mengatakan bahwa seluruh benda disusun dari udara, tanah, api dan air. Dari teori dasar pembentukan benda tersebut di atas, maka para filsuf terus mengembangkan Alkimia, seperti Zosimus (tahun 250-300), Aristoteles, Geber, Roger Bacon dari Inggris, Albertus Magnus dari Jerman, St. Thomas Aquinas dari Itali dan lain-lain.<br /><br />Yang paling menarik adalah Philippus Paracelsus, ahli kimia dari Swiss yang menyatakan secara tegas bahwa segala hal dibentuk dari tanah, udara, air, api dan sebuah elemen yang “belum” diketahui. Jika elemen tersebut diketahui, maka diyakini bahwa manusia bisa “menciptakan apa saja” dari keempat elemen tersebut di atas. Setelah Paracelcus tiada, para ahli kimia di Eropa dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok yang berkonsentrasi pada usaha-usaha scientific untuk menemukan unsur dan reaksi yang baru sedangkan kelompok lain berkonsentrasi pada sisi metafisik dari alkimia kuno (kijeromartani.blogspot.com)<br /><br />Sangat canggih ya, semua unusr ini kalo disatukan akan menjadikan emas, masalahnya unsur kelima akasa (ether) masih belum diketemukan/dimengerti sampai sekarang, tugas anda untuk mencarinya. Emas dalam alkimia yang dianggap tujuan akhirnya merupakan logam yang sangat indah warna kuning yang mengkilap sempurna menjadi idaman manusia dari jaman dulu. Terbukti di lukisan-lukisan Dewa atau yang tercantum dalam Weda (digambarkan para dewa berpakaian emas).<br /><br />Jika dilihat dari kaca mata spiritual warna emas merupakan assosiasi dari sinar suci Tuhan, jadi pengolahan keempat unsur tadi plus unsur kelima akan membuat bumi/badan kita akan bersinar. Caranya bagaimana tentu membutuhkan pendalaman ajaran spiritual sesuai yang diinginkan.<br /><br />kembali ke kelima unsur logam, jadi panca datu tersebut adalah pengolahan sinar suci tuhan yang ditanam di pulau Bali sehingga menghubungkan kepada Sinar yang tertinggin yatu Tuhan Yang Maha Esa. maka dengan menanam panca datu di pura yang baru berarti tanah pura tersebut telah diubah menjadi "emas" yang penuh dengan sinar-sinar kesucian Tuhan.<br /><br />Panca Datu dalam Kajian Filsafat Agama<br /><br />Seperti yang telah kami kemukakan di atas bahwa Panca Datu ditanam di tanah ketika akan "mensahkan" satu pura menjadi tempat suci yang dapat digunakan untuk sembahyang. Kenapa harus ditanam di tanah. Kita kembali lagi ke konsep Bhuwana Agung=Bhuwana Alit dan unsur pembentuknya sama yaitu Panca Maha Bhuta.<br /><br />Nah kelima jenis panca datu ini merupakan penetralisir dari panca Maha Butha tersebut, jadi panca datu ini adalah "jangkar" atau sofware yang "diinstall ke dalam tanah" sehingga unsur tanah tersebut dalam memancarkan sinar kesucian. Tentu pada waktu-waktu tertentu "software tersebut wajib diupdate biar tidak terjakit "virus" yang merusak sistem.<br /><br />Menurut pesraman Batu Ngadeg Narayana Panca Datu yang dibawa oleh Maharsi Markandeya secara filsafat berarti Panca(Lima) Datu=Dasar Tutur(dasar Filsafat/pondasi keimanan).<br /><br />Apakah Dasar Tutur menurut pesraman? itu tidak lain dan tidak bukan adalah Lima pokok /tuntunan dasar beragama Hindu yaitu Panca Sradha. Yaitu: Percaya terhadap Brahman, percaya terhadap atman, percaya terhadap karma Phala, percaya terhadap Punarbawa/reinkarnasi/samsara, percaya terhadap moksa.<br /><br />Jadi sesuai dengan wahyu/sabda yang didapat dengan membawa "panca Datu" ini dan kemantapan dalam menjalaninya membuat Maharsi markandeya sukses "merabas" Hutan sampai akhirnya sampai ke Tujuannya (Besakih).<br /><br />Hutan disini tentu yang dimaksud adalah dinamika kehidupan di dunia fana ini dan tujuannya adalah kelepasan/kebahagiaan Abadi/ Moksa. itu yang didapat berdasarkan tutur/sabda/wahyu yang didapat.<br /><br />Jadi logam-logam tadi perlambang itu semua:<br />Emas=percaya terhadap Brahman (unsur yang dianggap tertinggi/murni)<br />perunggu=percaya terhadap Atman (mirip kayak emas namun belum murni)<br />Besi=percaya dengan karmaphala (unsur yang paling gampang ditempa)<br />baja=percaya terhadap reinkarnasi (unusr terkuat/perlambang kita tidak bisa terlepas darinya)<br />mirah permata=percaya terhadap moksa (unusr mengikat sekaligus merupakan tujuan akhir)<br /><br />Memang hal ini perlu didiskusikan tidak bisa didoktrin sebagai yang paling benar. Namun kami harapkan dengan membaca pemaparan kami anda dapat menyimpulkan sendiri atau bahkan mempunyai inspirasi untuk mengungkapkan apa arti panca datu tersebut menurut logika dan "rasa". Semoga bermanfaat.<br /><br />Posted by Pesraman Batu Ngadeg Narayana<br />http://lingganarayana.blogspot.com/2009/09/panca-datu.html?Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-37885893208340976292009-10-20T17:29:00.000-07:002009-10-20T17:35:42.368-07:00PAID BANGKUNGTuesday, September 29, 2009<br />By ngarayana<br /><br />Saya rasa istilah “paid bangkung” sudah bukan istilah yang asing lagi di telinga umat Hindu etnis Bali. Yaitu sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan seorang lelaki Hindu yang menikah dengan wanita non-Hindu dan kemudian mengikuti agama istrinya. Etimologi “paid bangkung” sendiri berasal dari bahasa Bali, yaitu dari kata “paid” = ditarik dan “bangkung” = babi betina yang dipelihara untuk dibiakkan. Jadi istilah “paid bangkung” selalu dikonotasikan sebagai hal yang negatif.<br /><br />Sering kali seorang pemuda Hindu Bali khususnya yang baik karena merantau ke luar Bali atau karena memang lahir di luar Bali dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang sudah pasti pernah dialami oleh orang normal, yaitu “Cinta”. Sebagian besar pemuda/pemudi Hindu di luar Bali pernah menjalin cinta dengan pemuda/pemudi non-Hindu.<br /><br />Cinta, sebuah hal yang sederhana tetapi juga ruwet. Cinta memang buta, hanya karena cinta pada pasangan, seseorang dapat meninggalkan agama dan keluarga. Tidakkah mereka sadar bahwa cinta pada lawan jenis tidak ubahnya bagai bunga rumput yang kadang tumbuh dan bersemi lalu mati dalam hitungan sekejap? Sering kali kita jatuh cinta pada seseorang karena fisiknya, padahal kalau mau jujur, sampai kapan kecantikan/ketampanan fisik itu akan bertahan? Tidak akan lebih dari umur 30 tahun kan?<br /><br />Kita adalah Jiva (Atman) yang mandiri dan terpisah dari jiva-jiva lainnya. Jiva (Atman) hanya memiliki hubungan khusus dengan sumber dari Atman itu sendiri, yaitu Paramatman, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagavad Gita 8.15 Sri Krishna mengatakan “Bhair antas ca bhutanam, Aku bersemayam dalam hati setiap insan”. Dalam aspeknya sebagai paramatman, Tuhan selalu menyertai sang jiva. Jika jiva dan paramatman diibaratkan sebagai dua ekor burung yang hinggap di sebuah pohon (analogi dari badan), Maka burung yang satu (jiva) sibuk sebagai penikmat dan pengguna semua fasilitas dan makanan yang ada pada pohon (badan) tersebut, sementara itu burung yang satunya lagi (paramatman) selalu setia menemani dan mengawasi burung penikmat (jiva) tadi. Celakanya, sering kali burung penikmat (jiva) ini selalu disibukkan oleh pemuasan nafsu kenikmatan pribadinya, sehingga dia melupakan burung yang selalu menemaninya (paramatman) dan selalu tertarik untuk terbang ke pohon-pohon lainnya demi kenikmatannya sendiri. Kita sering kali lupa akan siapa sejatinya diri kita. Apakah kita badan ini atau sesuatu di balik badan ini? Kita sering kali terperangkap untuk menikmati badan serta tertarik pada badan-badan yang lain dan kita lupa pada Tuhan (paramatman) yang selalu setia menemani kita. Andaikan seseorang sadar akan kedudukannya ini, dan mengerti bahwa cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, maka penderitaan akan cinta yang konyol seperti kasus “paid bangkung” ini tidak akan pernah terjadi.<br /><br />Dalam pelaksanaan perkawinan (vivaha) Hindu, hendaknya seseorang harus memperhatikan beberapa aturan dasar yang harus diketahui dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan vivaha tersebut, mokshatram ya ca iti dharma.<br /><br />Tujuan mendasar dari sebuah perkawinan adalah membentuk keluarga yang berazaskan dharma sehingga menghasilkan anak-anak yang suputra dan selanjutnya suami istri harus dapat saling bahu-membahu melaksanakan yajna (upacara agama) sehingga diharapkan keduanya pada akhirnya akan mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu moksha. Hal ini diuraikan dalam Manava Dharma Sastra 9.96; “untuk menjadi ibu/istri maka wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah/swami maka lelaki diciptakan, keduanya diciptakan untuk menyelenggarakan upacara agama”.<br /><br />Disamping itu seorang laki-laki yang akan menikah harus menyadari betul hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Istilah suami berasal dari kata sansekerta “svami” yang artinya mengendalikan. Penggunaan kata svami ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk orang suci dan untuk pemimpin keluarga.<br /><br />Orang suci dapat menyandang nama/gelar svami jika mereka mampu mengendalikan indria-indrianya, mampu melaksanakan Panca Yama Bratha dan Panca Nyama Bratha serta menjalani aturan kehidupan sanyasi (bhiksuka), tidak terikat lagi dengan keluarga dan kehidupan material dan hanya disibukkan dalam pelayanan bhakti pada Tuhan dan menyebarkan dharma ke seluruh dunia.<br /><br />Seorang laki-laki berumah tangga dapat disebut suami/svami jika mampu mengendalikan dan menuntun istri serta anak-anaknya sesuai dengan ajaran dharma. Seorang suami tidak dibenarkan takut pada istri dan berada di bawah ketiak istri, tapi swamilah yang harus mengendalikan istrinya dan tentunya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dharma. Seorang lelaki yang mengendalikan pasangan hidup dan keluarganya secara sewenang-wenang dan tanpa aturan sastra agama yang benar juga tidak layak disebut sebagai suami.<br /><br />Sehingga dengan ketiga prinsip dasar ini, yaitu bahwasanya cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, suami dan istri diciptakan untuk saling bahu membahu melaksanakan ajaran dharma serta pada dasarnya seseorang hanya dapat disebut suami jika dia mampu mengendalikan dan mendidik keluarganya sesuai dengan prinsip dharma, maka beberapa jenis pernikahan yang marak terjadi belakangan ini tidak dapat dibenarkan.<br /><br />Yang pertama, pernikahan “paid bangkung” sudah pasti menunjukkan bahwa pemuda yang “paid bangkung” ini tidak menyadari dirinya yang sejati sebagai jiva. Dia terlena akan kecantikan lawan jenis, iming-iming harta warisan atau mungkin karena pengetahuan agama dan antar agamanya yang sangat kering.<br /><br />Kesalahan utama pemuda Hindu dalam meminang seorang wanita non-Hindu adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agamapun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agamapun acap kali terdapat perbedaan pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki toleransi paling tinggi adalah Hindu dan berikutnya diurutan kedua adalah Buddha serta agama-agama Timur lainnya. Pada urutan berikutnya adalah Kristen dan dikuti oleh agama Yahudi. Sementara itu agama yang paling tidak toleran menurut survei tersebut adalah Islam. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.<br /><br />Kasus menarik “paid bangkung” akibat kebanggaan buta akan sikap toleransi dan keringnya pengetahuan akan Hindu pernah terjadi di Yogyakarta. Pada waktu itu sebuah rombongan keluarga dari seorang alumnus salah satu perguruan tinggi di Yogya mendatangi rumah keluarga pacarnya dengan maksud meminang pacarnya tersebut. Setelah melakukan percakapan yang cukup hangat, tibalah pada sebuah percakapan yang menyangkut perbedaan agama antara kedua keluarga tersebut. Percakapanpun berlangsung a lot dan tegang, namun pada akhirnya diredam dengan satu “kalimat sakti” oleh pemimpin rombongan keluarga Hindu dari Bali tersebut. Beliau berujar dan mengatakan bahwa semua agama sama, sehingga tidaklah masalah untuk melakukan pernikahan beda agama antra pasangan ini. Meski meredakan ketegangan, namun ternyata pernyataan ini menjadi bumerang bagi keluarga Hindu Bali ini. Salah satu pihak perempuan akhirnya berujar; “Kalau memang menurut anda semua agama sama, berarti tidak masalah dong ya kalau anak bapak yang pindah ke agama kami?”. Logika yang bagus dan dengan primis yang memang tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dengan kecewa, keluarga dari Bali ini harus pulang dengan merelakan anak lelaki mereka “paid bangkung”, menikah dan berubah agama mengikuti agama istrinya.<br /><br />Kasus kedua yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah dimana suami dan istri memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Manava Dharma Sastra 9.96 sudah sangat tegas mengatakan bahwa suami dan istri harus saling bahu membahu melaksanakan yajna (upacara agama). Jika mereka memiliki keyakinan berbeda, bagaimana mereka dapat melaksanakan yajna sesuai dengan aturan Veda?<br /><br />Kasus yang kedua ini biasanya terjadi untuk meredam masalah dimana pihak suami atau istri sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan agamanya. Namun biasanya yang pada akhirnya kalah adalah pihak Hindu, walaupun yang Hindu adalah suaminya, sering kali anak-anak mereka dididik dengan agama istrinya yang non-Hindu. Faktor utama penyebab ini sudah barang tentu karena Hindu sebagai minoritas di Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan yang baik. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah karena sebagian besar orang Hindu tidak memahami ajarannya dengan baik dan tidak dibekali dengan pemahaman akan ajaran agama yang lain.<br /><br />Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.<br /><br />Menurut sebuah milis pemuda Hindu, saat ini terdapat seorang menteri Hindu yang juga sedang terjerat kasus seperti ini. Dalam keluarganya hanya dialah satu-satunya Hindu, istrinya dan anak-anaknya non-Hindu. Apakah seseorang yang tidak mampu mengendalikan keluarganya sendiri dapat diangkat sebagai menteri dan disuruh mengendalikan departemen? Kasus yang sama juga saya temukan di kota Metro, Lampung. Sungguh menyedihkan ketidakberdayaan lelaki-lelaki takut istri ini. Mereka sama sekali tidak layak disebut sebagai suami (svami).<br /><br />Jatuh cinta dan menikah dengan lawan jenis yang berbeda agama tidaklah masalah, karena grahasta / vivaha adalah jenjang yang harus dilewati oleh setiap orang yang menjalankan catur ashrama secara normal. Namun untuk melaksanakan pernikahan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma dan tidak juga menyebabkan kita tergerus keluar dari ajaran yang sudah tepat, maka setiap pemuda-pemudi Hindu harus memiliki bekal filsafat Hindu yang benar dan juga memahami ajaran agama yang lain dengan baik. Sehingga apapun argumen memojokkan dari agama lain dapat kita tangkis dan bahkan dibalikkan kembali untuk memperlihatkan kekeliruan mereka.<br /><br />Jika sistem pendidikan Hindu di Indonesia kuat dan setiap orang Hindu sadar akan pentingnya filsafat maka sudah pasti tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti diatas tadi.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-68304989056841057652009-10-19T21:45:00.000-07:002009-10-19T21:46:54.268-07:00Benarkah Roh Leluhur Bisa Diajak Bicara?Agama Hindu menyediakan literatur yang melimpah untuk dijadikan tumpuan belajar dan panduan mempraktikkan kehidupan beragama. Ada kelompok kitab Weda yang banyak jumlahnya, kemudian di Bali sendiri masih dibantu dengan literatur dalam bentuk lontar. Nah, itu baru panduan yang tertulis saja, karena di luar itu masih ada sulinggih ataupun pemangku sebagai tempat konsultasi tentang masalah keagamaan. Jika itu pun belum cukup, maka masih ada lusinan dresta, sima atau tradisi yang telah lumrah dipraktikkan turun-temurun. Demikian banyaknya tempat untuk bertanya dan belajar, toh orang Bali (Hindu) belum merasakannya cukup. Masih ada satu sumber yang patut dan (harus) digunakan: cara gaib dengan nunas bawos alias wawancara gaib dengan pihak-pihak yang diharap. Entah dengan leluhur, betara, atau panumadian-nya (roh yang menjelma). Ya, nunas bawos atau istilah lainnya meluasang, mepeluasang, ngalih munyin pipis baas, metuunang, dan istilah lainnya.<br /><br />Kebiasaan yang paling umum berlaku di masyarakat adalah metuunang roh keluarga yang baru saja meninggal. Dengan minta bantuan jro dasaran, keluarga yang anggotanya ada meninggal itu bermaksud mencari tahu keadaan roh itu di alam sana. Maka pertanyaan yang sering dilontarkan bila roh itu telah merasuki jro dasaran adalah, “subake meme (bapa—cening) maan tongos?” dan sebagai jawabannya bisa saja jro dasran berucap atas nama roh itu seperti ini, “tonden, tiang nak nu menyi, jani tiang nu ngayah di Pura Dalem dadi jurui sampat.” <br /><br />Kemudian yang nunasang bertanya lagi: “meme (bapa—cening dsb) lakar genanag banten, apa tagih meme?” Lantas jro dasaran menjawab, “Abenang cang pang sing nu dini meguyang, apang nyak bersih lantas maan tongos melah.” Ya, kurang lebih demikian dialog itu berlangsung sedemikian rupa. Ada kalanya jawaban itu berbunyi melarang untuk mengabenkan dirinya dan minta dikubur saja. Atau dalam kasus yang lain ada ‘sabda’ yang mengatasnamakan betara ini betara itu menuntut dibuatkan pelinggih baru. Dan sering juga petunjuk-petunjuk jro dasaran ini dipatuhi oleh masyarakat yang punya masalah, walaupun sering juga petunjuk serupa diacuhkan, karena dipandang tak sreg di hati. <br /><br />Begitu juga dengan isi dari petunjuk jro dasaran itu tak selalu benar. Sudah biasa kalau banyak ucapan-ucapan itu ngawur, meskipun di lain kesempatan tak sedikit ucapan balian sonteng ini benar dan dapat menyelesaikan problema seseorang yang datang padanya. <br /><br />Tradisi nunas bawos ke tempat balian sonteng adalah warisan kebudayaan animisme yang masih dipraktikkan hingga kini. Datang ke jro dasaran harus hati-hati untuk mampu membedakan pesan itu datang dari pitara, bhuta atau Betara? Inilah, mengapa menyimak isi dialog seperti ini harus cerdas dan ber-wiweka. <br /><br />Melihat kenyataan ini, berarti di Bali tidak melulu sastra sebagai guru, karena pelaku ngelmu gaib (bagaimana pun proses ngelmunya), seperti jro dasaran atau balian sonteng juga memiliki porsi sama dalam menentukan visi keagamaana umat. Hanya saja untuk menjadi sulinggih atau mangku bisa ditempuh lewat cara belajar secara metodis, namun balian sonteng, dasaran dan sejenisnya sering ‘jadi’ begitu saja tanpa proses nyata. Inilah yang menyulitkan kemudian, karena toh mereka mengklaim bekerja atas nama sesuhunan yang gaib, namun tetap saja harus bicara dalam bahasa manusia. Dan ucapan-ucapan harus dipertanggungjawabkan secara hukum positif dan hukum agama. Banyak juga ucapan bertuah dilontarkan balian, namun tak jarang ucapan menghasut dan menyesatkan terucap. Mungkin masalahnya adalah, apakah dasaran itu ngiring bhuta, ngiring bhatara atau melanjutkan pekerjaan pitara yang belum tuntas. <br /><br />Apakah ada orang ngiring bhuta (menyembah dan menjadi abdi bhuta—makhluk alam bawah)? Dalam benak kita, yang diasosiasikan sebagai bhuta kala adalah makhluk-makhluk assura: daitya, danawa, raksasa, pisaca, yaksa, pratikelena dan lainnya. Namun kita pun belum pasti benar siapa danawa, yaksa, pisaca itu? Sebenarnya roh-roh manusia yang mati bisa digolongkan menjadi beberapa jenis. Pertama roh yang mencapai alam kebebasan (moksa), kedua roh yang mencapai alam dewa (sorga), kemudian roh yang terikat dengan dunia, tetapi memiliki karakter baik (dewa yoni) dan roh yang berada dalam kesdaran tingkat bawah Preta yoni). Dewa yoni dan preta yoni inilah yang paling banyak berhubungan dengan manusia yang masih hidup, memberikan pawisik, paica, penampakan gaib dan sejenisnya. Makhluk dewa yoni dan preta yoni ini memiliki kualitas berbeda dan motivasi berbeda pula. Namun keduanya memiliki persamaan, yaitu memiliki kepentingan mencari pengikut (partner kerja—penyembah) di dunia nyata. Masalahnya adalah, di alam mereka sendiri juga terdapat koloni-koloni dan mereka harus dapat mempertahankan wilayahnya masing-masing. Roh-roh sakti yang berkuasa di suatu wilayah akan mencoba mengembangkan kekuasaannya dengan mencari pengiktu dan penyembah. Salah satu caranya adalah memberikan manusia paica benda gaib, memberikan kemurahan rejeki (pesugihan), memberikan manusia kesaktian dan sejenisnya. Semua pemberian itu tak ada yang cuma-cuma, tetapi terikat kontrak kerjasama yang rapi dan susah diputuskan oleh manusia. <br /><br />Paica berupa benda gaib atau perjanjian gaib yang mengikat manusia itu sekaligus sebagai piagam kontrak kerjasama itu, dan sebagai imbalannya, roh-roh seperti itu pasti meminta sesuatu persembahan. Persembahan ini tentu akan datang dari pasien-pasien balian atau dasaran yang tangkil nunas tamba atau nunas bawos. Persembahan inilah yang dinikmati oleh sesuhunan. Jika sesuhunan itu dewa yoni, maka ia termotivasi untuk membantu secara murni, karena dulunya mungkin ia adalah orang baik-baik di masa hidupnya dan memiliki energi sakti. Dan karena energi saktinya inilah ia harus menuntaskan karma wasananya dengan melanjutkan menyalurkan energi yang terlanjur ia terima sebelumnya kepada manusia yang masih hidup (kekuatannya diberikan kepada balian). Umumnya, roh macam ini tak banyak permintaan, tak minta banten banyak dan persyaratan sulit buat pasien. Ujung-ujungnya pun umat akan digiring untuk tangkil ke pura-pura tertentu untuk tangkil kepada Ida Bhatara disana. Berbeda dengan roh preta yoni, yang mana motivasinya mencari pengikut adalah untuk menyuburkan kedudukannya di alam sana. Ingin memperluas dan memperekuat hegemoni. Roh seperti ini akan memberikan pawisik menyesatkan. Awalnya kelihatan benar, tetapi berikutnya akan disamarkan secara perlahan, sehingga yang mengemuka adalah kepentingannya, bukan mengatasi masalah manusia. Misalnya, kemudian minta pelinggih, minta upacara tertentu, minta dibuatkan pelinggih di pohon yang angker (kendati tidak semua yang minta pelinggih itu preta yoni, bisa juga dewa yoni). <br />Orang Bali bukannya tak paham akan hal ini. Takut menjadi abdi gaib dari roh yang tak jelas identitasnya, maka dalam banyak kasus kita saksikan banyak orang berusaha mati-matian untuk menolak menjadi dasaran atau balian. Mereka takut, makhluk apa yang mereka iring, siapa yang mereka jadikan tuan, dewa yoni-kah atau preta yoni? Sebab semua sesuhunan itu saat menampakkan diri kepada abdinya selalu mengaku Ratu ini ratu itu. <br /><br />Karena roh-roh ini, baik dewa yoni maupun preta yoni belumlah roh yang sempurna, maka apa yang dibisikkannya kepada manusia tidak bebas dari risiko kebohongan, kesalahan, ketidakbenaran, dan lainnya. Jadi berhubungan dengan mereka ini patut dipetik manfaat positifnya saja. Karena roh-roh seperti ini adalah pasti roh tua, berasal dari mereka yang meninggal dahulu kala, mungkin juga di zaman purba atau kerajaan. Tentu ia memiliki kemampuan untuk menghubungi roh-roh yang baru meninggal, untuk memediasi berdialog dengan bekas keluarganya di alam nyata. Itulah fungsi sesuhunan dasaran atau balian sonteng. Tinggal sekarang kita perlu waspada dan menyelamatkan jalan spiritual kita. Untuk tidak terjerumus pada hasutan gaib yang tak bertanggungjawab, maka jadikan saja ajaran agama sebagai pedoman utama.<br /><br />Makhluk preta yoni ini banyak bergentayangan di sekitar kita mencari ‘nasabah’ militan. Hati-hatilah pergi ke gunung, goa, pohon besar, tempat angker untuk minta kesaktian. Kesaktian dan pesugihan adalah hal yang sangat remeh dan paling murah di alam niskala yang bisa dijadikan umpan untuk menjerat leher manusia yang keburu terhanyut hayalan kemewahan dunia. Dan bagi mereka yang emoh, enggan ngiring sesuhunan yang tak jelas identitasnya, punya keraguan di hati untuk menajdi abdinya, maka segeralah berlindung kepada guru rohani. Temuilah sath guru dan kita akan dibebaskan dari risiko buruk itu. Jika pun harus ngiring, maka kita akan menjadi abdi dewa-dewa yang bertahtakan kesucian. Mohonlah petunjuk kepada leluhur di Sanggah Kemulan supaya dibukakan jalan terang.<br /><br />Jadi, pergi ke balian sonteng atau jro dasaran tak ada salahnya, asalkan semua isi dialog itu disaring sesuai keyakinan dan petunjuk sastra-sastra agama. Sebenarnya yang kita cari di tempat balian sonteng bukanlah wahyu dewata, tetapi kita pinjam ‘pesawat telephone’ untuk menghubungi keluarga kita di alam lain. Ingat! Roh keluarga kita yang bisa dihubungi adalah yang dimensinya masih dekat dengan alam ini. Semakin tinggi alam yang dicapai roh bersangkutan, maka makin sulit dihubungi, apalagi roh yang sudah mampu bebas dari ikatan-katan duniawi. Namun kenyataannya, siapa saja yang hendak kita kontak lewat jro dasaran selalu bisa. Nah! Hati-hatilah dengan subjektivitas jro dasaranUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-6277746820350228542009-10-17T17:34:00.000-07:002009-10-17T17:37:53.208-07:00PENUNGGUN KARANGOm Swastyastu<br /><br />Semoga Damai Dalam Lindungan Brahman<br /><br />Penunggun Karang, dalam beberapa susatra dijelaskan bahwa yang distanakan di sana adalah Hyang Bahu Rekso, artinya yang menjadi penguasa alam secara niskala tempat atau wilayah tersebut. Jadi yang distanakan di Penunggu Karang tidak dapat diimport dari tempat lain apalagi dari Bali. Penunggu Karang bersifat local genius, punya batasan teritorial (batasan kekuasaan).<br />Jika melaspas atau ngelinggihan membutuhkan kepekaan dari seorang pinandita/pandita untuk tahu siapa yang menjadi penguasa tempat itu. Semua penguasa alam seperti Hyang Bahu Rekso, diketuai oleh Deva Ganesha, jadi Hyang Bahu Rekso dikelompokkan ke dalam GANA BHALA (pasukan Gana),<br />Jadi kalau di rumah menstanakan Ganesha itu sangat baik karena Ganesha meiliki multifungsi diantaranya adalah:<br /><br />Sebagai VIGHNASVARA:<br />Penghalau segala rintangan (OM VAKTRA TUNDA MAHA KAYA SURYA KOTI SAMAPRABHA NIRVIGHNA KURUME DEVA SARVA KARYESU SARVADAM). makanya para Balian meuja Beliau agar dapat menghilangkan penyakit. Sebagai SIDDHI DATA: sebagai pemberi kesuksesan, (SARVA KARYESU SARVADAM).<br /><br />Sebagai VINAYAKA: <br />Lambang kecerdasan (intelek), makanya dijadikan simbol pengetahuan, dan baik untuk anak-anak.<br /><br />Sebagai BUDHIPRADAYAKA:<br />Memantapkan kebijaksanaan setiap Vaidika Dharma (pencari kebenaran),<br /><br />sebagai LAMBODARA: <br />Sumber kemakmuran. Akan lebih baik kalu di Penunggu Karang dilinggihkan Arca Ganesha (devanya para Bahu Rekso), daripada tidak tahu siap yang distanakan. ada beberapa mantra untu Ganesha selain yg diatas:<br /><br />Gayatri Ganesha:<br />1)OM EKA DANTHA YA VIDMAHE, VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI, TANNO DANTIH PRACCODAYAT<br />2)OM TAT PURUSA YA VIDMAHE VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT.<br />3)OM TAT KARTAYA YA VIDMAHE HASTA MUKHA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT.<br /><br />Ganesha Stava: <br />OM NAMOSTUTE GANAPTI SARVA VIGHNA VINASANAM SARVA KARYA PRASIDDHAYATU NAMO KARYAM PRASIDDHATAM <br />Japa Ganesha: OM GAM GANAPATAYE NAMAHA / OM SHRI GANESHA YA NAMAHA.<br />semoga bermanfaat.<br /><br />Om Shantih Shantih Shantih OmUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-90041403188741257672009-10-15T18:53:00.000-07:002009-10-15T19:01:34.856-07:00TETIKESAN PUJA MANTRAOleh: I Wayan Sudarma<br /><br />Oṁ sahana vavatu sahana bhunaktu<br />Saha viryam karavavahai<br />Tejasvināvaditham āstu mā vidviṣā vahai<br />Ya Tuhan semoga kami dapat belajar bersama, berkembang bersama, memperoleh pengetahuan bersama. Semoga tidak terjadi suatu kesalahpahaman di antara kami. Dan apabila terjadi sesuatu kesalahan secara sengaja atau tidak sengaja, semoga kami dapat saling memaafkan.<br /><br />A. Pendahuluan<br />Dalam melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk Bhakti umat Hindu dapat dilakukan dengan menggunakan: mantra, yantra, tantra, yajña, dan yoga. Mantra adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan tingkatannya. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Yajña yaitu pengabdia yang ulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian. Dan Yogaartinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga(yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi) (Bhagavan Shri Sathya Sai Baba, 1995: 12).<br />——————————————————————————————————————————–<br />** Penyuluh Agama Hindu Kota Bekasi<br /><br />B. Mantra<br />Berkaitan dengan pengucapan Mantra, apakah mantra itu?. Mantra berasal dari suku kata Man (Manana) dan kata Tra (Trana) yang berarti pembebasan dari ikatan samsara atau dunia phenomena ini. Dari kombinasi Man dan Tra itulah disebut mantra yang berarti dapat memanggil datang (Amantrana). Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang bijak dan yang dapat membawa seseorang yang mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti mantra yang tertingi. Arti mantra yang lebih rendah adalah rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi, tergantung dari motif pengucapan mantra tersebut. Mantra adalah sebuah kekuatan kata yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan material, yang dapat dipergunakan demi kesejahteraan ataupun penghancuran diri seseorang. Mantra seperti energi atom yaitu suatu tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bhakti seseorang yang mempergunakannya. Sabda adalah Brahman, karena itu ya menjadi penyebab Brāhmanda manifestasi chit sakti itu sendiri seperti yang disebutkan dalamVishvasara Tantra, yaitu ”Parabrahman itu sebagai sabda Brahman yang substansinya semua adalah mantra, dan yang berada di dalam wujud jivātma”. Bentuk itu sebagiantidak beraksara (Dhvani), sebagian lagi beraksara (Varna). Yang tidak beraksara itulah yang memunculkan yang beraksara, dan itulah aspek yang halus dari Śākti yang menghidupkan jiwa itu (Svami Rama: 1984: 24).<br />Sedangkan Prapancha Sara mengatakan bahwa: ’ Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam wujud halus (Suksma). Dari penjelasan tersebut, dapata dipahami bahwa Mantra merupakan aspek dari Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini. Secara filosofis sabda itu adalah guna dari Akasa atau ruang ethernal. Tetapi sabda itu bukan produksi Akasa. Sabda memanifestasikan diri di dalam Akasa. Sabda itu adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa atau di rongga tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan sesuai dengan gerakan-gerakan Praṇa vāyu dan preses menarik napas dan mengeluarkan napas.<br />Mantra disusun dengan menggunakan akṣara-akṣara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sdangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara (ritme) dan varna (bunyi). Huruf-huruf penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai perwujudan Śastra dan Tantra yang terdiri atas Mantra adalah Paramātma., Veda sebagai Jivātma, Dharsana sebagai indriya, Puraṇa sebagai jasad, dan Smṛti sebagai anggota. Karena itu Tantra merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra. Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk menasehati diri (Ātmanivedana)<br />Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda. Mantra tiga suku kata disebut Kartari, yang terdiri dari empat suku kata smpai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh sampai duapuluh suku kata disebut Mantra, dan yang terdiri lebih dari duapuluh suku kata disebut Mālā. Tetapi istilah Vija juga diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.<br /><br />C. Jenis-jenis Mantra<br />Berdasarkan sumbernya mantra ada bermacam-macam jenis yang secara garis besar dapat dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika mantra, dan Puraṇik mantra. Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra(mantra yang diucapkan guna untuk pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapka guna kemakmuran duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra (mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk menghancurkan atau menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatan-perbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam). Disamping itu mantra juga dapt dibagi menjadi:<br />1. Mantra: yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa suku kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru(Mantra Diksa)<br />2. Stotra: doa-doa kepada para devata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika memimpin persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa dari seoarang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya, misalnya doa memohon anak, dan sebagainya.<br />3. Kāvaca Mantra: mantra yang dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari berbagai rintangan.<br />Dalam kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat kesukarannya, yaitu:<br />1. Paroksa Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan mantra jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami.<br />2. Adyatmika Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang lebih rendah. Mantra ini dapat dicapai maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih kotor, tidak mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini.<br />3. Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami. Untuk menjangkau makna mantra ini dapat hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan indriya.<br />Disamping itu ada juga jenis mantra yang ditulis baik dalam buku, kitab, lontar yang disebut Varnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan disebut Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran melaui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang diucapkan ataupun dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan keperluan, kemampuan serta motif pelaksana.<br /><br />D. Cara mengucapkan Mantra<br />1. Vāikari, yaitu mengucapkan mantra dengan mengeluarka suara dan dapat didengar oleh orang lain, kekuatan mantra yang diucapkan dengan cara ini akan mampu memecah guna tāmas (kelambanan), ketakutan yang ada pada diri seseorang. Cocok dipakai bagi para sadhaka pemula dan dapat menghancurkan energi negatif yang ada di sekitar pengucapnya.<br />2. Upaṁsu, yaitu mantra yang diucapkan yang hanya didengar oleh orang yang mengucapkannya saja (berbisik-bisik), kekuatan mantra yang diucapkan dengan teknik ini dapat memurnikan guna rājas (nafsu). Jika mantra ini diucapkan dengan cara ini juga dapat memberikan perlindungan (kāvaca) dari berbagai gangguan (lingkungan, energi negatif, roh jahat, dan sebagainya).<br />3. Mānasika, yaitu mantra yang diucapkan dalam hati, bermeditasi pada jiwa dari mantra serta arti dari kata-kata suci tersebut tanpa menggerakkan lidah ataupun bibir. Kekuatan mantra ini akan dapat menumbuhkan kesadaran illahi pada diri yang mengucapkannya, sedangkan yang bermeditasi pada irama pernapasan dengan menggunakn mantra disebut Ajapajapa.<br /><br />E. Kualitas Mantra<br />1. Sattvika mantra (Produktif); yaitu dipakai dalam rangka meningkatkan kesadaran illahi, semata-mata untuk memuliakan kebesaran Brahmandengan segala prabavaNya, sehingga muncul perasaan welas asih, cinta, dan pengabdian, terbebas dari ego kepemilikian dan nafsu, dipakai sebagai media untuk menyebrangkan sang jiwa melewati lautan samsara/penderitaan kelahiran-kematian.<br />2. Rajasika Mantra (Protektif); yaitu kualitas mantra yang dipakai untuk kelangsungan hidup secara duniawi, memenuhi keinginan (kama), memperoleh artha, keturunan, kemuliaan, kemewahan, kesehatan, kewibawaan, kedudukan, dan sebagainya.<br />3. Tamasika Mantra (Destruktif); kualitas mantra yang dipakai untuk kegiatan menundukkan lawan, menghancurkan penyakit, mencelakakan orang lain, termasuk ilmu hitam. (Sudarma, 2003: 164)<br />Terlepas dari hal tersebut di atas, sebuah mantra akan dapat memberikan manfaat maksimal (śākti, śiddhi, suci) baik kepada uyang mengucapkannya maupun orang lain dan lingkungan dalam bentuk vibrasi dipengaruhi oleh beberapa hal prinsip, yaitu:<br />1. Śraddhā; keyakinan yang mendalam terhadap sebuah mantra yang dipakai media untuk merealisasikan tujuan tersebut. Tanpa keyakinan, sama halnya ketika sakit lalu pergi ke dokter dan minta diobati tetapi kita tidak yakin terhadap resep dan anjuran dokter tersebut, tentu kita tidak akan sembuh.<br />2. Bhakti; perasaan hormat, rindu, cinta kasih, yang mendalam terhadap mantra tersebut, memperlakukan mantra itu seperti kita merawat diri sendiri, Dia adalah istri yang sesungguhnya yang dengan setia menyertai langkah kita. Tanpa bhakti mantra apapun akan menjadi bumerang buat kita. Kasih dan hormat pada mantra dengan keyakinan pada hasil yang dijanjikannya jauh lebih penting daripada sekedar pengulang-ulangan secara mekanis dengan pikiran ngelantur kemana-mana.<br />3. Sadhāna, cepat atau lambatnya sebuah mantra memberikan manfaat kepada kita adalah karena Sadhāna (disiplin spiritual), Bagaimana mungkin mantra akan menjadi Śiddhi apalagi Śākti kalau hanya diucapkan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali, sementara kita setiap saat berhubungan dengan dunia maya yang senantiasa mengkontaminasi badan, emosi, dan jiwa kita. Lukakanlah Sadhāna dengan konsisten dan berkesinambungan. Tidak perlu tahu banyak mantra tetapi kita tidak paham terhadap arti, makna yang tersirat didalamnya, cukup satu mantra tetapi kita paham dan memilikiSadhāna . saat ini, banyak orang tahu banyak jenis mantra tersebut, hal seperti itu tak ubahnya seperti tong kosong yang bunyinya nyaring tapi tidak memiliki kekuatan.<br />4. Chānda; teknik pengucapan mantra sangat penting keberadaannya, karena jika sebuah mantra salah memberikan penekanan dan pemenggalan sesuai denganChānda atau guru laghu dan guru bhasanya, tentunya akan memiliki arti dan maksud yang berbeda. Mengenai irama itu sesuai dengan bakat suara masing-masing sadhaka.<br />5. Kriya; kegiatan berupa pemujaan, baik luar maupun dalam dengan pengetahuan tentang arti esoterik dan eksoteriknya, ataupun pemujaan dalam semacam pengorbanan ke-akuan atau pembakaran segala keinginan. (Sudarma, 1998: 6).<br /><br />F. Penggunaan Mantra<br />Menurut waktu penggunaannya mantra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:<br />1. Nitya Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilaksanakan setiap hari secara rutin, misalnya seperti Puja Tri Saṇdhya, yang dilaksanakan setiap hari. Nitya Karma Puja ada dua jenis, yaitu:<br />1. a. Saṇdhyā Vandanā atau Saṇdhyŏpāsanā, yaitu pemujaan yang dilakukan pada setiap pertemuan waktu, artinya doa dan pemujaan yang dipersembahkan kepada Tuhan, pada pertemuan waktu (saṇdhi) malam hari dengan pagi hari, tengah hari dan pertemuan antara sore hari dengan malam. Saṇdhyŏpāsanā harus dilakukan pada saat Saṇdhya yang tepat, agar mendapat manfaat yang sebesar-besarnya berupa Brahma Teja (Pencerahan Brahman), karena pada tiap-tiap Saṇdhya itu terdapat perwujudan kekuatan khusus yang akan lenyap apabila Saṇdhya tersebut berlalu. Kekuatan-kekuatan khusus tersebut dapat memotong rantai saṁsara masa lalu dan mengubah seluruh situasi masa lalu seseorang, serta memberikan kemurnian dan keberhasilan setiap usaha, dan menjadikannya penuh daya serta ketenangan. Pelaksanannya Saṇdhya mutlak diperlukan bagi seseorang yang menelusuri jalan kebenaran, karena pelaksanaan Saṇdhya merupakan kombinasi dariJapa Upāsana, Svadhyāya, Meditasi, Konsentrasi, Āsana,, Praṇāyāma, dan lain sebagainya. Pelaksanaan Saṇdhyŏpāsanā bersifat wajib, perlu dipelajari tata tertib pelaksanaannya agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; karena kalau tidak dilaksanakan akan menimbulkanPratyavaya Doṣa atau doda karena lalai, dan jelas akan kehilangan Brahmma Teja atau kecemerlangan spiritual. Referensi bacaan: Chandogya Upaniṣad II.24, I.24, III.16, I.7; Brahma Upaniṣad; Maitreya Upaniṣad II.13-14; Jabalŏpaniṣad. 12,13, dan sebagainya.<br />2. Japa atau Namasmaranaṁ, yaitu pemujaan yang dilakukan untuk mengagungkan nama-nama suci Tuhan dengan cara menyebut secara berulang-ulang. Dapat pula dibantu dengan mala/rudraksa/ruas jari tangan atau menuliskannya di buku secara terus-menerus/berulang-ulang.<br />2. Naimitika Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilakukan secara insidential pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya: mantra yang diucapkan ketika upacara abhiseka, peletakan batu pertama, dalam berbagai saṁskāra, Purnama, Tilem, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya Naimitika Karma Puja ini ada yang berdasarkan Panca Wara, Sapta Wara, Wuku, Sasih/Bulan, Varsa/tahun, dan berbagai kejadian yang dianggap penting, seperti Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, Wabah, tempat angker, dan sebagainya.<br /><br />G. Tetikesan Pemujaan (Purnama-Tilem)<br />Persiapan Kebersihan Jasmani:<br />• Menggosok gigi: Om shri bhatari sayoga ya namah svaha – Ya Tuhan, besihkalah gigi hamba dari segala kotoran.<br />• Berkumur: Om vaktra suddha mam svaha – Ya tuhan, bersihkalah mulut hamba dari segala kotoran.<br />• Mandi: Om parama gangga sarira suddha mam svaha – Ya Tuhan, bersihkanlah seluruh badan hamba dengan air ini dari kotoran.<br />• Mencuci tangan: Om Ung Hrah Phat astra ya namah svaha – Ya Tuhan, bersihkanlah tangan hamba dari kotoran.<br />• Mencuci kaki: Om Pang pada ya namah svaha – Ya Tuhan, bersihkanlah kaki hamba dari kotoran.<br />• Keramas: Om Ghring Siva ya namah svaha – Ya Tuhan, bersihkanlah rambut hamba dari kotoran.<br />• Bercermin: Om vesnava ya namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkalah sinar kesucian kepada hamba.<br />• Bersisir: Om shri dewi byo namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkanlah kewibawaan kepada hamba.<br />• Mengambil pakaian: Om sarva busana ya namah svaha- Ya Tuahan, sucikanlah pakaian hamba.<br />• Berpakaian: Om Siva busana ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba memujaMu dalam prabhavaMu sebagai Siva semoga menyatu dalam jasmani hamba.<br />• Mekampuh: Om Mahadeva ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Mahadeva yang menyatukan sabda-bhayu-idep dalam jasmani hamba.<br />Persiapan Sarana:<br />• Alas duduk (tikar, karpet, dsb)<br />• Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di pelingih, pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha wangsuhpada.<br />• Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi wewangian (bija)<br />o Dupa secukupnya<br />o Sesajen / Banten / Upakara / Bunga / Canang Sari / Kwangen secukupnya<br />• Sebuah nampam yag berisikan:<br />Persiapan rohani:<br />• Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita), Padasana (berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.<br />• Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba kepadaMu.<br />• Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.<br />• Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.<br />PALET I<br />Upadeku (Utpatti, Deva Partistha, Kuta Mantra)<br />Upatti<br />Upatti ini dilaksanakan untuk membersihkan diri kita, agar dalam melaksanakan pemujaan nanti kita bisa memberikan energi yang bagus terhadap tempat dimana kita akan memuja sehingga bisa memberikan vibrasi yang bagus adapun tahap-tahap yang mesti dilaksanakan dalam melakukan Upatti antara lain :<br />Asana<br />Sikap tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Om Prasada Sthiti Sarira Siva Suci Nirmala ya namah svaha<br />Karasodana<br />Om Sodha mam svaha<br />Om Ati Soddha mam svaha<br />Pranayama<br />Tarik nafas : Om Ang namah<br />Tahan nafas : Om Ung namah<br />Buang nafas : Om Mang namah<br />Penyembahan I<br />Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali dengan maksud kita memuja Hyang Widhi dengan tulus sehingga kita bisa mendapatkan keheningan pikiran.<br />Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha<br />Mensucikan bunga dan dupa<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk membersihkan sarana dan prasarana yang kita pergunakan dalam memuja Hyang Widhi.<br />Dupa : Om Ang Dhupa Dipastra ya namah svaha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Mensucikan Air I<br />Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk memohon kepada Devi Gangga agar membersihkan air ini dari segala kekotoran.<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hrang Hring Sah Parama Siva Gangga Tirtha Amerta ya namah svaha<br />Mensucikan Air II<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Siva membersihkan air ini dari segala kekotoran.<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Siva Amertha ya namah svaha<br />Lalu bunga dimasukkan ke dalam air<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Sadasiva membersihkan air ini dari segala kekotoran.<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Sadasiva Amertha ya namah svaha<br />Lalu bunga dimasukkan ke dalam air<br />Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Paramasiva membersihkan air ini dari segala kekotoran.<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Paramasiva Amertha ya namah svaha<br />Lalu bunga dimasukkan ke dalam air<br />Membersihkan badan<br />Pemercikan tirtha ke badan<br />Om Budha Pawitra ya namah<br />Om Dharma Maha Tirtha ya namah<br />Om Sang Hyang Maha Toya ya namah svaha<br />Kuta Mantra<br />Kuta mantra merupakan doa untuk mensucikan tempat dimana kita akan melakukan pemujaan sehingga tempat tersebut memiliki nilai religius yang tinggi, adapun mantranya adalah :<br />Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha.<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hung Hrah Phat Astra ya namah<br />Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha<br />Om Ksama Sampurna ya namah svaha<br />Om Shri Pasupataye Hung Phat<br />Om Shriyam bhavantu<br />Sukham Bhavantu<br />Purnam Bhavantu ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Padmasana<br />Mantra atau doa yang dipanjatkan pada tahapan ini bertujuan untuk mensucikan padmasana, padmasari, pelangkiran serta yang lainnya, doa yang di ucapkan adalah<br />Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Ananta Sana ya namah svaha<br />Om Padmasana ya namah svaha<br />Om Deva Pratistha ya namah svaha<br />Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali<br />Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha<br />Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)<br />Om I – Ba – Sa – Ta – A<br />Om Wa – Si – Ma – Na – Ya<br />Mang – Ung – Ang Namah<br />Lalu bunga dibuang ke depan<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Sa – Ba – Ta – A – I<br />Om Na – Ma – Si – Va – Ya<br />Ang – Ung – Mang Namah<br />Bunga di buang ke depan<br />Deva Pratistha<br />Deva pratistha merupakan mantra pemujaan yang ditujukan kepada para deva supaya berkenan hadir dan berstana di tempat yang akan kita puja, adapun mantra yang di ucapkan adalah :<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Pranamya Sang Linggam,<br />Deva Linggam Mahesvara<br />Sarva Devati Devanam<br />Tasmei Lingga ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Mantram Genta:<br />Menyucikan Genta :<br />• Genta dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan memegang sekar dipakai memercikan toya anyar pada Genta sebanyak 3 x mantra : Om Ung Visnu ya namah svaha.<br />• Selanjutnya Genta diukupi asep dengan tangan kanan sambil memutar kekanan (Pradaksina) sebanyak 3 x mantra : Om Ang Dupa Astra ya namah. Kemudian Sekar disuntingkan pada ujung tangkai Genta.<br />Ngastawa Genta<br />Genta dipegang dengan tangan kiri didepan dada, sedangkan tangan kanan memegang pentil (sikap Deva pratista) dengan mantra :<br />Om karah Sadasivastah, jagatnatha hitangkarah,<br />Abhivada-vadaniyah, ghanta sabdah prakasyate.<br />Om Ghanta-sabdah maha sresthah Om karah parikirtitah.<br />Candrardha – bindu – nadantam, sphulingga Sivatattvan-ca.<br />Om Ghantayur pujyate devah a-bhavya-bhavya karmesu<br />Varadah labda-sandheyah, varam-siddhir nirsangsayam.<br />PALET II<br />Ngaksama, memohon tirtha pabersihan, palukatan, dan tirtha prayascitta<br />Ksama Puja:<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha:<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Ksamasva mam Mahadeva<br />Sarva Prani Hitankara<br />Mamoca Sarva Papebhyah<br />Phalayasva Sadasiva<br />Om Papo`ham Papa Karmaham<br />Papatma Papa Sambhavah<br />Trahimampundharikaksah<br />Kenancit Mama Raksantu<br />Om Ksantavyah Kayiko Dosah<br />Ksantavyo Vaciko Mama<br />Ksantavyo Manaso Dosah<br />Tat Pramadat Ksamasva mam<br />Om Hinaksaram Hina Padam<br />Hina Mantram Tataivaca<br />Hina Bhakti Hina Vrddhim<br />Sadasiva Namo’stute<br />Om Mantra Hina Kriya Hinam<br />Bhakti Hinam Mahesvara<br />Yat Pujitam Mahadeva<br />Paripurnam Tad Astu me<br />Bunga di buang ke depan<br />Memohon tirtha pabersihan, palukatan,<br />Apsu Deva<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Apsudeva Pavitrani<br />Gangga Devi Namo’stute<br />Sarva Klesa Vinasanam<br />Toyane Parisuddhaya Te<br />Sarva Papa Vinasini<br />Sarva Roga Vimocane<br />Sarva Klesa Vinasanam<br />Sarva Bhogam Avapnuyat<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Pancaksaram<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Pancaksaram Maha Tirthan Pavitram Papanasanam<br />Papa Koti Sahasranam<br />Agadham Bhavet Sagaram<br />Om Pancaksaram Param Brahma,<br />Pavitram Papanasanam<br />Parantam Parama Jnanam<br />Siva Lokam Pratam Subham<br />Om Namo Siva Iti Yo Yam<br />Para Brahma Atmane Devanam<br />Para Sakti Panca Deva<br />Panca Rsi Bhavet Agni<br />Om A Karasca U Karasca,<br />Ma Kara Vindu Nadakam<br />Pancaksaram Maya Protam<br />Om Kara Agni Mantranke ya namah svaha<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Gangga Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Gangga Sarasvati Sindhu<br />Su-Yamuna Godhavari Narmada Kaveri Sarayu Mahendra Tanaya<br />Carmanvati Venuka<br />Om Badhra Netra Vati Mahasuranadi<br />Kyatancaya Gandhaki Punyah Purna Jale Samudrah Sa Hetangkur Watu Te Manggalam ya namah svaha<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Pasupati Puja<br />Doa ini digunakan untuk memberikan energi pada air supaya memiliki kekuatan yang sangat ampuh untuk menghidupkan air sehingga memiliki kekuatan illahi.<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Sang Hyang Pasupati Ang Ung Mang ya namah svaha<br />Om Brahma Astra Pasupati ya namah svaha<br />Om Wisnu Astra Pasupati ya namah svaha<br />Om Rudra Astra Pasupati ya namah svaha<br />Om Isvara Astra Pasupati ya namah svaha<br />Om Ya namah svaha<br />Om Sang Hyang aji Sarasvati<br />Tumurun Maring Surya Chandra<br />Angawe Pasupati Mahasakti<br />Angawe Pangurip Maha Sakti<br />Angurip Sahananing Raja Karya<br />Teka Urip Teka Urip Teka Urip<br />Om Sang Hyang Akasa Pertivi Pasupati Angurip tirtha……….<br />Om Eka Vastu Vignam Svaha<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Mantra Prayascita<br />Mantra Pangeresikan<br />Pangeresikan dipegang dengan kedua tangan didepan hulu hati<br />Om asta sastra empu sarining visesa<br />Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel<br />Cuntakaning pebhaktyaning hulun<br />Om sanut sang kala pegat<br />Pegat rampung sahananing visesa<br />Om shri Devi bhatrimsa yogini ya namah<br />Om gagana murcha ya namah svaha.<br />Isi pengeresikan ditaburkan ke depan (arah Banten)<br />Air<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Gangga Devi Maha Linggam<br />Siva Dvara Maha Pujam<br />Sarva Amerta Manggala Ya<br />Tirta Nadi Maha Toyam<br />Om Shri Gangga Devayai namah svaha<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Bungkak Gading<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)<br />Om I – Ba – Sa – Ta – A<br />Sarva Mala Prayascitta ya namah<br />Om Sa – Ba – Ta – A – I<br />Sarva Papa Pataka Lara Roga Vighna Prayascitta ya namah<br />Om A – Ta – Sa – Ba – I<br />Sarva Dasa Mala Geleh Pateleteh Prayascitta ya namah svaha<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />Natab<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga : Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Prayascita Kara Yogi Visyan Tayet<br />Catur Vaktranca Puspadhyam<br />Om Greng Prayascitta Subhagyam Astu<br />Masukkan bunga ke tempat tirtha<br />PALET III Menstanakan Hyang Widhi<br />Astra mantra<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hung Hrah Phat Astra ya namah<br />Om Atma Tattvatma Sudamam Svaha<br />Om Ksama Sampurna Ya Namah Svaha<br />Om Shri Pasupataye Hung Phat<br />Om Shriam bhavantu<br />Sukham Bhavantu<br />Purnam Bhavantu ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Memepersembahkan dupa<br />Dupa di pegang di epan hulu hati dengan sikap tangan deva pratistha<br />Om Ang Brahma Sandhya namah<br />Om Ung Visnu Sandhya namah<br />Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha<br />Dupa ditaruh ditempatnya semula<br />Surya Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Om Adhityasya Paramjyotih<br />Rakta Teja Namo’stute<br />Siva Agni Teja Mayanca<br />Siva Deva Visiantakam<br />Om Padma Lingganca Pratistha<br />Asta Deva Parikirtitham<br />Sivagraha Samyuktam<br />Ghanaksaram Sadasiva<br />Om Hrang Hring Sah Paramasiva<br />Surya Chandra ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Akasa Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Om Akasa Nirmalam Sunyam<br />Guru Deva Bhyomantaram<br />Siva Nirbhanam Viryanam<br />Reka Omkara Vijaya<br />Om Ah Akasa Bhyo namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Perthivi Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Om Perthivi Sariram Devi<br />Catur Deva Mahadevi<br />Catur Asrami Bhatari<br />Siva Bhumi Maha Siddhi<br />Om Shri Bhava Devayai namah svaha<br />Samodhaya Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Om Samodhaya Sivaya<br />Nara Astava Sanggaya<br />Sajnana Mona Sanggaya<br />Namastu Bhayu Akasa<br />Om Perthivi ya namah<br />Basuki ya namah<br />Chandra Adhitya Na Srahaya<br />Ghana Kumarayai svaha<br />Om Sarasvati Shri svaha<br />Yama Ludra ya Sanggaya<br />Kuvera, Baruna ya namah<br />Brahma Wisnu Mahadeva ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Lingga Stava<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha<br />Om Linggantu Sarva Devatam<br />Om Linggantu Sarva Devanca<br />Om Linggantu Sarva Devanam<br />Om Shri Guru Bhyo namah svaha<br />Bunga dibuang ke depan<br />PALET IV Mempersembahkan Upakara<br />Astra mantra<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hung Hrah Phat Astra ya namah<br />Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha<br />Om Ksama Sampurna ya namah svaha<br />Om Shri Pasupataye Hung Phat<br />Om Shriam bhavantu<br />Sukham Bhavantu<br />Purnam Bhavantu ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Memepersembahkan dupa<br />Dupa dipegang dengan kedua tangan di depan hulu hati<br />Om Ang Brahma Sandhya Namah, Om Ung Visnu Sandhya Namah<br />Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha<br />Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram<br />Prajapatir yogayusyam<br />Balam astu teja paranam<br />Guhyanam triganam trigunatmakam<br />Om namaste bhagavan Agni<br />Namaste bhagavan Harih<br />Namaste bhagavan Isa<br />Sarva bhaksa utasanam<br />Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara<br />Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.<br />Om Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah<br />Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute<br />Om Naividyam Brahma Visnuca<br />Bhoktam Deva Mahesvaram<br />Sarva Vyadi Na Labhate<br />Sarva Karyanta Siddhantam.<br />Om Jayarte Jaya mapnuyap<br />Ya Sakti Yasa Apnoti<br />Siddhi Sakalam Apnuyap<br />Paramasiva Labhate ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha<br />Mantra Canang Sari<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha<br />Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan (arah Banten)<br />Mantra ngayabang upakara<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Deva Bhatyam Maha Sukham<br />Bojanam Parama Saamerthan<br />Deva Baksya Mahatustam<br />Boktra Laksana Karanam<br />Om Bhuktyantu Sarva Ta Deva<br />Bhuktyantu Triloka Natha<br />Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah<br />Om Deva Boktra Laksana ya namah<br />Deva Tripti Laksana ya namah<br />Treptya Paramesvara ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan (arah Banten)<br />Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat<br />Penyeneng dipengan dengan kedua tangan didepan hulu hati<br />Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng<br />Kajenengan denira Sanghyang Brahma Visnu Iswara Mahadeva<br />Surya Chandra Lintang Teranggana<br />Om shri ya namah svaha.<br />Isi penyeneng ditaburkan ke depan (arah Banten)<br />Mantra Peras<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Panca wara bhawet Brahma<br />Visnu sapta wara waca<br />Sad wara Isvara Devasca<br />Asta wara Siva jnana<br />Omkara muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.<br />Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha<br />Pemercikan Tirtha ke semua upakara<br />Om Pertama Sudha,<br />Dvitya Sudha<br />Tritya Sudha<br />Caturti Sudha<br />Pancami Sudha<br />Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.<br />Om Puspam Samarpayami<br />Om Dupam Samarpayami<br />Om Toyam Samarpayami<br />Sarva Baktyam Samarpayami<br />Mantra Segehan<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Atma Tattvatma suddha mam svaha<br />Om svasti-svasti sarva bhuta suka pradhana ya namah svaha<br />Om shantih shantih shantih Om.<br />Bunga di buang ke depan (arah segehan) lalu diperciki tirtha<br />Mantra Metabuh Arak Berem<br />Sambil mengucapkan mantra sambil menuangkan petabuhan<br />Om ebek segara, ebek danu<br />Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.<br />Doa Ini dipakai bila sarananya hanya bunga, air dan dupa saja<br />Om Puspam Samarpayami<br />Om Dupam Samarpayami<br />Om Toyam Samarpayami<br />Sarva Baktyam Samarpayami<br />PALET V PENUTUP<br />Astra mantra<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hung Hrah Phat Astra ya namah<br />Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha<br />Om Ksama Sampurna ya namah svaha<br />Om Shri Pasupataye Hung Phat<br />Om Shriyam bhavantu<br />Sukham Bhavantu<br />Purnam Bhavantu Ya namah svaha<br />Bunga di buang ke depan<br />Ngaksara Jagatnatha<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Ksamasvamam Jagatnatha<br />Sarva Papa Nirantaram<br />Sarva Karya Siddhan Dehi<br />Pranamya Karya Suryasvaram<br />Tvam Surya Tvam Sivakarah<br />Tvan Ludra Bahni Laksanam<br />Tvamna Mani Sarva Gatakarah<br />Mama Karya Prajayate<br />Om Ksamasvamam Mahasakti<br />Asta Aisvarya Gunaatmakam<br />Nasayet Satatam Papam<br />Sarva Loka Darsanam<br />Om Anugraha Mano Haram<br />Deva Datha Nugrahaka<br />Arcanam Sarva Pujanam, Namo Sarva Nugrahaka<br />Deva Devi Mahasiddhi<br />Yajnanga Nirmalatmakam<br />Laksmi Sidisca Dirgahayur Nirvighnam Sukha Verddhisca<br />Bunga di buang ke depan<br />PALET VI<br />Sembahyang<br />Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.<br />Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:<br />• Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin<br />• Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin<br />• Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.<br />Karasoddhana<br />Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba<br />Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan rohani hamba<br />Puja Tri Sandhya<br />Om bhur bhuvah svah<br />Tat savitur varenyam<br />Bhargo devasya dhimahi<br />Dhyo yo nah praccodayat<br />Ya Tuhan, yang menguasai ketiga dunia ini, Yang Mahasuci dan sumber dari segala kehidupan, anugrahi hamba sinar penerangan dengan cahayaMu Yang Mahasuci<br />Om narayana evedam sarvam<br />Yad bhuta yasca bhavyam<br />Niskalangko niranjano nirvikalpo<br />Nirakhyatah suddho deva eko<br />Narayano na dvityo’sti kascit<br />Ya tuhan, hamba puja Engkau sebagai Narayana pencipta alam semesta beserta isinya, Engkau Mahagaib, tak berwujud, dan tak terbatas oleh waktu, dapat mengatasi segala kebingungan, Engkau Mahasuci, Mahaesa, dan tidak ada duanya, dan dipuja oleh semua mahluk<br />Om tvam sivah tvam mahadeva<br />Isvarah paramesvarah<br />Brahma visnusca rudrasca<br />Purusah parikirtitah<br />Ya Tuhan, Engkau hamba puja dalam sinar suci dan saktiMu sebagai Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Visnu, dan juga Rudra, karena Hyang Widhi adalah sumber dari segala yang ada<br />Om papo’ham papakarmaham<br />Papatma papasambhavah<br />Trahi mam pundarikaksa<br />Sabahya bhyantarah sucih<br />Ya Tuhan, hamba ini penuh dengan kenestapaan, perbuatan hamba penuh dengan kenestapaan, jiwa dan kelahiran hamba penuh dengan kenestapaan, hanya Engkaulah yang dapat menyelamatkan hamba dari kenestapaan itu, semoga dapatlah disucikan lahir-bathin hambaMu ini.<br />Om ksamasva mam mahadevah<br />Sarva prani hitangkara<br />Mamoca sarve papebhyah<br />Phalayasva sadasiva<br />Ya Tuhan, ampunilah hamba hyang Widhi, yang memberikan keselamatan semua mahluk, ampuni hamba dari segala dosa, dan limpahkanlah perlindungan kepada hamba.<br />Om ksantavah kayiko dosah<br />Ksantavyo vaciko mama<br />Kksantavyo manaso dosah<br />Tat pramadat ksamasva mam<br />Ya Tuhan, ampunilah segala dosa hamba, baik yang berasal dari perbuatan, perkataan, dan pikiran, maupun dari segala kesalahan hamba<br />Om santih santih santih Om<br />Ya Tuhan, semoga ada kedamaian dalam hati, di dunia, dan semuanya damai untuk selamanya atas anugrahMu.<br />Kramaning Sembah<br />Muspa Muyung: Om Atma tattvatma suddha mam svaha – Ya Tuhan, Engkau adalah merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah hambaMu.<br />Muspa dengan bunga ke hadapan Siva Adhitya sebagai saksi pemujaan:<br />Om Adityasya param jyotih<br />Rakta teja namo’stute<br />Sveta pangkaja madhyasta<br />Bhaskaraya namo’stute<br />Om Hrang Hring Sah paramasiva adhitya ya namah svaha<br />Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber cahaya yang merah cemerlang, penuh kesucian yang bersemayam di tengah-tengah teratai berwarna putih, sembah sujud hamba kepada sumber segala cahaya, Ya Tuhan, Engkau adalah ayah semesta alam, ibu semesta alam, Engkau adalah Paramasiva devanya matahari,anugrahkanlah kesejahtraan lahir-bathin.<br />Muspa dengan kwangen/bunga ke hadapan Hyang Widhi dengan Ista devataNya:<br />Om namo devaya adhistanaya<br />Sarva vyapi vai sivaya<br />Padmasana eka prathistaya<br />Ardhanaresvarya namah svaha<br />Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.<br />Muspa dengan kwangen/bunga kehadapan Hyang Widhi untuk memohon waranugraha:<br />Om anugraha manoharam<br />Deva datta nugrahaka<br />Arcanam sarva pujanam<br />Namh sarva nugrahaka<br />Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmakam<br />Laksmi siddhisca dirgahayuh<br />Nirvighna sukha verddhisca<br />Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.<br />Muspa Muyung, sebagai penutup persembahyangan:<br />Om deva suksma paramacintya ya namah svaha<br />Om santih santih santih Om<br />Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga semuanya damai atas anugrahMu<br />PALET VII Mohon Tirta Vasuh Pada<br />Astra mantra<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Hung Hrah Phat Astra ya namah<br />Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha<br />Om Ksama Sampurna ya namah vvaha<br />Om Shri Pasupataye Hung Phat<br />Om Shriyam bhavantu<br />Sukham Bhavantu<br />Purnam Bhavantu ya namah svaha<br />Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha)<br />Pranamya kepada Adhitya<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Pranamya bhaskara devam<br />Sarva klesa vinasanam<br />Pranamya adhitya Sivartam<br />Bhukti mukti varapradam<br />Om Hrang Hring Sah Paramasiva Gangga tirtha amertha ya namah svaha<br />Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha)<br />Pancaka Tirtha<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Bunga: Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)<br />Om Gangga Sarasvati Sunyam<br />Jaya Tirtha Mahottamam<br />Jaya Shri Jaya Murtinam<br />Sarva Klesa Vinasanam.<br />Om Bhur Bhuvah Svah Maha Gangga Tirtha Pavitrani ya namah svaha<br />Bunga dibuang ke depan (ke arah Tirtha<br />Pemercikan Tirtha<br />Doa ketika metirtha:<br />Om Ang Brahma amrta ya namah<br />Om Ung Visnu amrta ya namah<br />Om Mang Isvara amrta ya namah<br />Ya Tuhan, dalam wujud Brahma<br />Ya Tuhan , dalam wujud Visnu<br />Ya Tuhan, dalam wujud Isvara<br />Anugrahkan air suci kepada hamba<br />Doa minum tirtha:<br />Om Om sarira ya namah<br />Om Om sadasiva ya namah<br />Om Om paramasiva ya namah<br />Ya Tuhan sebagai Siva, Sadasiva, Paramasiva, anugrahilah badan dan rohani ini air suci<br />Doa ketika meraup tirtha:<br />Om Om sarira purna ya namah<br />Ang Ung Mang gangga amrta ya namah<br />Sarira suddha parama teja ya namah<br />Om Ang sama sampurna ya namah<br />Ya Tuhan, sempurnakanlah badan ini, Ya Tuhan sebagai perwujudan gangga amrta, anugrahilah diri kami kesucian, sinar yang maha suci, yang maha sempurna<br />Memasang Bija<br />• Diletakkan di selaning lelata: Om shriyam bhavantu – Ya Tuahan, semoga kebahagiaan meliputi kami<br />• Diletakkan di pangkal tenorokan: Om sukham bhavantu – Ya Tuhan, semoga kesenangan selalu datang pada hamba<br />• Ditelan tanpa dikunyah: Om purnam bhavantu, Om ksama sampurna ya namah svaha – Ya Tuhan, semoga segala kesempurnaan menjadi bertambah sempurna pada diri hamba<br />Memasang bunga<br />• Diletakkan di ubun-ubun: Om Siva Raditya ya namah svaha - Ya Tuhan, sebagai saksi semuanya, semoga hamba selalu dapat mengingatMu.<br />• Diletakkan di kedua telinga: Om deva shri devi ya namah svaha – Ya Tuhan, semoga kewibawaan meliputi hamba.<br />PALET VIII<br />Purna Puja<br />Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha<br />Om Purnam Adah Purnam Idam<br />Purnat Purnam Udhacyate<br />Purnasya Purnama Dhaya<br />Purnam Iva Vasisyate<br />Om Sarve Bhavantu Sukinah<br />Sarve Santu Niramayah<br />Sarve Bhadrani pasyantu<br />Ma kascit Duhkha bhag Bhavet.<br />Om Santih, Santih, Santih Om<br />H. Penutup<br />Demikian beberapa hal berkaitan dengan tata cara memuja yang dapat disampaikan, semoga dapat dijadikan acuan standar minimal bagi para calon Pinandita. Dan apayang di bahas pada kesempatan ini tidaklah harga mati, dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat kewenangan para Pinandita sesuai dengan petunjuk Guru Nabe yang Ngaskara ketika Pawintenan.<br />Pūrṇa Pūja<br />Oṁ pūrṇaṁ adah pūrṇaṁ idam<br />pūrṇat pūrṇaṁ udacyate<br />pūrṇasya pūrṇamādhaya<br />pūrṇaṁ iva vasisyate.<br />Oṁ śarve bhavantu sukhinaḥ<br />śarve śāntu niramāyaḥ<br />śarve badrani paśyantu<br />Mā kaścit duhkha bhag bhavet<br />Ya Tuhan mahasempurna, hamba yang tiada sempurna ini memujaMu, semoga itu menjadi sempurna, yang ini menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanya dapat muncul dari sempurna. Semoga yang tidak sempurna menjadi sempurna, semoga yang ada hanyalah kesempurnaan atas karuniaMu.<br />Semoga semuanya selalu berbahagia<br />Semoga selalu dalam keadaan sehat<br />Semoga semuanya sejahtera<br />Semoga tidak seorangpun yang menderita atas karuniaMu. (Anand Krishna.1992)<br />Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ<br />Beberapa sloka tentang para Brahmana (Pinandita) kaitannnya dengan Kelahiran & Kematian:<br />Sat karmabhih ato nityam devatatithi pujakah<br />Huta sesantu bhunjano brahmanaonava sidati<br />Seorang Brahmana, yang sehari-harinya melaksanakan 6 kewajiban agama (sat karma) dan makan sisa dari persembahan homanya setelah memuaskan para dewa dan para tamu, tak pernah menderita nasib yang buruk dalam kehidupan (Parasaradharmasastra I.38)<br />Sandhya snanam japo homah svadhyayo devata-arcanam<br />Vaisvadevatitheyan ca sat karmani die dine<br />Melaksanakan sandhya, penyucian, japa dan homa, mempelajari veda, pemujaan illahi, melaksanakan upacara kematian dan kegiatan memmuaskan para tamu, merupakan 6 kewajiban agama sehari-hari yang diperintahkan kepada seorang brahmana. (Parasaradharmasastra I.39)<br />Atah sudhim pravaksyami janane marane tata<br />Dine trayena suyanti Brahmanah preta sutake<br />Ksatriyo dvadasa hena vaisyah pancadsa haikah<br />Sudrah sudeyati masena parasara vaco yatha<br />Sekarang Aku akan menjelaskan tentang periode Atau masa ketidaksucian seseorang yang berhubungan dengan kelahiran dan kematian (dari anggota keluarganya)<br />Masa kotor yang disebabkan oleh sebuah kelahiran atau kematian dalam keluarganya, bagi kaum brahmana selama 3 hari, bagi ksatriya 12 hari, bagi vaisya 15 hari dan bagi sudra 30 hari, seperti yang ditetapkan oleh Yang Suci Parasara. (Parasaradhamasastra III.1-2)<br />Upasane tu vipranam angga suddhistu jayate<br />Brahmananam praptutau tu dehasparso vidhiyate<br />Para Brahmana menadi bersih melalui pemujaan dewata dan badannya dapat disentuh selama masa kotor yang disebabkan suatu kelahiran dalam keluarganya. (parasaradharmasastra III.3)<br />Samparkad udusyate vipro nanyo doso’sti brahmane<br />Samparkesu nivrttasya na pretam na iva sutakam<br />Seorang Brahmana hanya dipengaruhi oleh hubungan pertalian mengenai kotor kelahiran atau kematian. Bila tidak ada hubungan maka kekotoran juga tidak ada. (Parasaradharmasastra III.26)<br />Prasave grhamedhi tu na kuryat sangkaram yadi<br />Dasaha cchudyate mata avagahya pita sucih<br />Seorang pengikut diksa, seorang Brahmana yang telah pantas diterangi api suci atau badannya telah disucikan dengan pengucapan mantra Veda, seorang raja dan yang diharapkan menjadi raja tak terpengaruh atau tak ternodai oleh kekotoran kelahiran (parasaradharmasastra III.30Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-71498180740901810652008-10-29T21:49:00.000-07:002008-10-29T21:50:23.544-07:00OTONAN / WETON PERINGATAN HARI KELAHIRANOTONAN / WETON PERINGATAN HARI KELAHIRAN<br /><br /><br />oleh : I Wayan Ritiaksa, M.Ag (Denpasar).<br /><br />Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang “Bali”. Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).<br /><br />Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender). <br /><br />Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.<br /><br />Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut. <br /><br />Sebagai contoh :<br />Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).<br /><br />Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut : <br /><br />1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.<br /><br />2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.<br /><br />Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.<br /><br />Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).<br /><br />Dari doa tersebut dapat dilihat makna:<br /><br />1. “Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita. <br /><br />2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan. <br /><br />3. “Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. “Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai mempergunakan tongkat (usia tua).<br /><br />4. “Teked dipasisi napetang perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak. <br /><br />Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-19828888023607357082008-10-29T21:43:00.000-07:002008-10-29T21:48:08.215-07:00AKIBAT DARI SAMSKARAIlmu pengetahuan dalam bidang ilmu eksakta mengatakan setiap aksi ada reaksi. Spiritualiti mengatakan setiap pikiran atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan perasaan AKU atau kesadaran diri meninggalkan bekas sebagai kesan yang tidak kentara di dalam hati yang kemudian menjadi benih dari pikiran dan tindakan-tindakan di masa yang akan datang yang kembali menimbulkan kesan yang lebih banyak. Mengulangi kesan-kesan yang sama menguatkannya menjadi keinginan-keinginan, sehingga kita menjadi budak dari samskara dan harus kembali dan kembali lagi sebagai manusia untuk membuang samskara tersebut. Tetapi ketika membuang samskara yang lama, kita menciptakan samskara yang baru. Disebabkan oleh lingkaran setan ini, perkembangan kita untuk mencapai tujuan akhir menjadi tertahan.<br />Jadi, tidak ada sistem sadhana yang tidak memberikan pemecahan bagi pertambahan samskara dalam bentuk selubung yang tidak terkira banyaknya mengelilingi jiwa manusia yang dapat menjauhkan kita dari tujuan akhir. Sampai hari ini Sahaj Marg mempunyai penopang, Master yang hidup dan kekuatan spiritualnya memberikan kita kesempatan untuk membersihkan diri dari samskara - asal kita bersedia untuk membuangnya.<br />Bagaimana dengan samskara yang baik? Dapatkah kita menyimpannya?<br />Tidak ada keragu-raguan, samskara yang baik, sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan berjasa mungkin membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik sebatas tingkatan manusia, tetapi tidak menolong kita untuk melepaskan diri dari kehidupan duniawi. <br />Menurut Babuji, samskara yang baik seperti sebuah kandang emas, tetapi meskipun demikian tetap merupakan sebuah kandang. Oleh karena itu perlu untuk membuang pikiran baik dan buruk, dosa dan kebajikan, surga dan neraka yang mana semua itu adalah konsep manusia, pikiran kita harus melebihi sifat dua macam tersebut atau pasangan yang berlawanan dan menghidupkan kembali pikiran kita dalam keTuhanan. Pemikiran yang lebih tinggi tersebut akan membuka pintu gerbang kepada suatu kehidupan yang lebih tinggi daripada kehidupan duniawi yang singkat, terbatas dan membatasi dalam banyak cara. Menurut Master, hanya spiritualiti dapat memprakarsai proses pengembangan diri dan pada akhirnya kebebasan dari perasaan hidup terbatasUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-9780303294863689282008-10-24T04:40:00.000-07:002008-10-24T04:43:38.421-07:00Peranan Ibu Dalam Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera"Jika ibu wajahnya selalu memancarkan keceriaan,<br />seluruh rumah tangga berbahagia, tetapi jika <br />wajahnya cemberut,semuanya akan <br />kelihatan suram" <br />Manavadharmasastra, III.62.<br /> <br />Tanggal 22 Desember setiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari Ibu sebagai penghormatan atas jasanya kepada putra-putrinya yang telah melahirkan bangsa ini. Bila kita membicarakan ibu, maka perhatian kita pada sebuah keluarga (keluarga inti) yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Keluarga merupakan tahapan hidup yang kedua bagi setiap orang. Tahapan yang pertama disebut Brahmacari, yakni menuntut ilmu pengetahuan selaras pula dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia. Ketika ia mencapai kematangan jasmani dan rohani, mereka memasuki kehidupan berumah tangga yang disebut Grahasthasrama. Kehidupan keluarga ini dimulai dengan upacara perkawinan (Vivaha). Perkawinan tanpa upacara ( Vivaha tan sinangarkara) tidak dibenarkan dalam agama Hindu dan diyakini sebagai dosa yang membuat kehancuran rumah tangga dan masyarakat.<br />Untuk lebih memahami tentang peranan ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, terlebih marilah kita tinjau makna dari perkawinan menurut kitab-kitab Dharmasastra, yaitu :<br />1. Dharmasampati, suami istri secara bersama - sama melaksanakan ajaran Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban hidup sesuai dengan ajaran agama.<br />2. Praja, suami istri mampu melahirkan keturunan (putra - putri) yang suputra, berkualitas yang akan melajutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. <br />3. Rati, suami istri dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan lainnya ( Artha dan Kama) yang tidak bertentangan dengan Dharma (kebenaran).<br />Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut di atas, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan rumah tangga itu. Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya dinyatakan bahwa hubungan antara suami- istri dinyatakan sebagai satu jiwa dalam dua badan :<br />"Hendaknya manis bagaikan maducinta kasih dan pandangan antara suami dan istri, penuh keindahan.Hendaknya senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian. Mereka stu jiwa bagi keduanya" (Atharvaveda VII.36.1).<br />Selanjutnya kitab Manavadharmasastra menyatakan hendaknya suami istri tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan rumah tangga:<br />"Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan agar mereka tidak bercerai, mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya" (IX.102).<br />"Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri"(IX.101).<br />"Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya, di sana kebahagiaan pasti kekal abadi"(III.60).<br />Suami dan istri diamanatkan oleh Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan mengikuti jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku), memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sendiri dan hidup dengan sejahtra dan bahagia di dalamnya :<br />"Wahai suami dan istri hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan di antara kamu. Lakukan tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah dengan suka cita di dalamnya" (Atharvaveda XIV.2.43).<br />Terjemahan mantra Veda ini sangat relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Seseorang yang telah siap untuk memasuki rumah tangga harus mampu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Untuk bisa mandiri, seseorang hendaknya memiliki penghasilan yang tetap dan untuk itu peranan pendidikan dan kerja keras yang juga senantiasa ditekankan dalam kitab suci Veda mengantarkan orang dapat mandiri. Demikian pula untuk memiliki putra-putri yang perwira, suputra atau berkualitas, setiap keluarga bila sepenuhnya mengikuti ajaran agama (termasuk disiplin dalam hubungan suami sitri), putra- putri yang dicita-citakan akan lalhir pada keluarga itu. Di sinilah agama berperanan penting dalam menyiapkan SDM atau generasi yang berkualitas sesuai harapan setiap keluarga.<br />Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Grhapatya, Grhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagian, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmasastra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut :<br />a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.<br />b. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya.<br />c. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah.<br />d. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian.<br />e. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.<br />f. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.<br />g. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna.<br />Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan.<br /><br />Peranan Ibu dalam keluarga<br />Di dalam Vanaparva Mahabharata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya : <br />"Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya' (Sarasamuccaya 245).<br />Di dalam kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut: <br />"Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22). <br />"Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya"(Rgveda VIII.33.19).<br />Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :<br />"Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat"(Rgveda VIII.33.19).<br />"Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia" (Atharvaveda XIV.1.42).<br />"Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua" (Atharvaveda XIV.2.20).<br />"Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti" (Atharvaveda , III.30.2).<br />Sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut :<br />"Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan" (Rgveda V.28.3). <br />"Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini" (Atharvaveda VI.122.3).<br />Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan :<br />"Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi"(Atharva <br />istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan" (Yajurveda XVII.85).<br />"Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu"(Atharvaveda VI.120.3).<br />"Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu" (Yajurveda VI.120.3).<br />Di dalam berbagai susastra Hindu banyak dijumpai petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan keharmonisan, kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Kunci keberhasilan untuk mencapai hal itu adalah kerja keras dan tekun melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Memperhatikan uraian tersebut di atas, ibu sangat menentukan (bersama bapak) dan sangat berperanan dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Menurut tradisi Hindu, ada 6 jenis ibu yang patut dihormati seperti ibu kandung sendiri, yaitu :<br />1. Ibu kandung yang melahirkan,<br />2. Bidan atau dukun yang membantu ibu melahirkan.<br />3. Istri guru yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.<br />4. Istri pejabat (pemerintah) yang turut serta membangun kesejahtraan kesejahtraan rakyat.<br />5. Sapi yang membantu petani dalam mengolah tanah dan memberikan susu.<br />6. Ibu Pertiwi, bumi tercinta yang memberikan kesejahtraan kepada semua makhluk.<br />Demikian antara lain peranan seorang ibu dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga.<br />Om Dirgayur astu tat astu svaha.<br />Om Santih, Santih Santih.-Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-35615796799530991382008-10-24T04:30:00.000-07:002008-10-24T04:33:43.614-07:00Peranan Agama Dalam Menanggulangi Kenakalan RemajaBagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, <br />demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,<br />insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi<br />kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat.<br />Canakya Nitisastra III.16.<br /> <br />Setiap anak Indonesia akan bangga bila turut serta mengikuti puncak perayaan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 1995 yang dikaitkan dengan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, tanggal 23 Juli 1995 yang lalu bertempat di Taman Mini Indonesia Indah,Jakarta. Hampir semua anak menyatakan mereka bangga bertemu dengan Bapak Presiden Suharto, seorang anak petani yang berhasil memimpin negara ini. Kebanggan seorang anak bertemu dengan presidennya adalah juga kebanggaan setiap orang tua dan masyarakat di lingkungannya. Kebanggaan ini tentu didambakan oleh setiap keluarga. Setiap keluarga mendambakan kelahiran putra-putri yang ideal yang dalam Hindu disebut Putra Suputra, yakni anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas dan bijaksana yang akan mengangkat harkat dan martabat orang tua, keluarga dan masyarakat. <br />Kata "putra" berasal dari bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang disayang. Kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga : "Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra" (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dalam Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Kelahiran Putra Suputra ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan. Kata yang lain untuk putra adalah: sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan saýtàna. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata sentana yang berarti keturunan. Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu-cucunya (Àdiparva,74,38). Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak.<br />Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. "Disebutkan bahwa seorang anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali seorang anak"(74,52,55,57)."Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia(74,61-63). Lebih jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa (II.28).<br />Tentang anak yang Suputra, Maharsi Càóakya dalam bukunya Nìtiúàstra menyatakan: "Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra" (II.16). "Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman"(II.18). Sebaliknya tidak semua orang beruntung punya anak yang Suputra. "Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci"(IV.10).<br />Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masayarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang Kuputra (bertentangan dengan Suputra). Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan "Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang Kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga" (II.15). "Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (Suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik"(II.17). Hal yang sama seperti juga dikutipkan pada awal tulisan ini diulangi kembali dalam Nìtiúàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: "Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik". "Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan (IV.7).<br />Seperti telah disebutkan di atas, mempunyai anak, lebih-lebih lahirnya putra yang Suputra adalah dambaan setiap keluarga. Setiap orang dalam hubungan suami-istri mengharapkan kelahiran seorang anak, namun tidak semuanya selalu beruntung untuk mendapatkan hal itu. Keluarga yang tidak mempunyai anak (sonless) disebut: Aputraá, Niputrika dan Nirsaýtàna. Kepada mereka yang tidak mempunyai anak ini tidaklah berarti jalan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa telah tertutup. Keluarga-keluarga ini dapat mengangkat anak, melakukan adopsi yang di dalam bahasa Sanskerta disebut: Parigraha atau Putrìkaåaóam dan anak yang diangkat disebut: Kåtakaputra, Datrimasuta atau Putra Dattaka.<br />Tentang anak angkat yang di Bali disebut anak Sentana ini, Manavadharmasastra menyatakan: "Jika orang laki-laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai sifat-sifat mulia, anak angkat ini mempunyai hak yang sama, ia akan mewaris walaupun berasal dari keluarga lain. Anak angkat tidak pernah memakai nama keluarga dan harta warisan dari orang tua yang sebenarnya. Tarpana (upacara persembahan kepada orang tua yang meninggal), ia harus mengikuti nama keluarga (yang mengangkat) serta menerima warisan dari orang tua angkat (setelah Tarpana kepadanya) (IX.141-142). Berdasarkan kutipan di atas, jelas seorang anak angkat (adopsi) mempunyai hak yang sama seperti halnya anak yang dilahirkan oleh orang tua melalui perkawinan yang sah.<br />Lebih jauh tentang anak angkat ini, G. Pudja menyatakan : "Anak angkat menduduki tempat sebagai ahli waris dari keluarga yang mengangkatnya dan bukan sebagai ahli waris dari ayah-ibu asalnya. Untuk dapat melakukan pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu :<br />a. Anak yang diangkat harus laki-laki.<br />b. Anak yang diangkat harus masih kecil (umumnya belum berumur 6 tahun).<br />c. Keluarga yang mengangkat harus tidak mempunyai anak laki-laki.<br />d. Harus terang dan formal menurut agama.<br />Mengenai anak angkat ini diisyaratkan secara terbatas, tetapi dianjurkan untuk mengangkat dari keluarga terdekat dari pewaris. Hal ini tidaklah mutlak karena anak yang bukan keluarga sendiripun dapat diangkat sebagai anak angkat, hanya saja lebih jauh hukum Hindu membedakan dalam prakteknya dua sistem pengangkatan anak : <br />a. Pengangkatan anak sendiri sebagai anak laki-laki, yaitu anak perempuan yang statusnya <br />sebagai anak laki-laki. Pengangkatan ini dalam hukum Adat sebagai Angkat Sentana. <br />Dengan demikian maka dalam sistemAngkat Sentana,yang diangkat adalah anak sendiri.<br /><br />c. Pengangkatan anak orang lain,bukan anak sendiri. Pengangkatan ini disebut Adopsi atau<br />Peras. Di dalam hukum waris, anak yang diangkat adalah anak orang lain, baik dari <br />keluarga sendiri maupun dari anak orang lain, bukan keluarga sendiri.(Pudja, 1977:93).<br />Pernyataan G.Pudja di atas tentunya masih dapat didiskusikan kembali, misalnya bagaimana kalau yang diangkat itu anak perempuan ? Hal ini menurut hemat penulis dapat dibenarkan, bila nantinya anak perempuan ini status hukumnya sebagai anak laki-laki yang disebut Angkat Sentana di atas atau disebut pula Sentana Putrika. Kenyataannya, di dalam masyarakat kita jumpai pula keluarga yang telah memiliki beberapa anak, baik laki-laki maupun perempuan juga mengangkat anak, hal ini juga dibenarkan sepanjang pengangkatan itu terang dan formal menurut hukum agama dan bila mungkin dikuatkan sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini dapat berperanan sebagai salah satu solusi mengatasi anak-anak yang lahir, yang dibuang oleh ibunya karena hamil pranikah. Kiranya sudah perlu dipikirkan sebuah badan atau yayasan dalam Hindu untuk menangani anak-anak yang lahir pranikah yang bersedia menjadi penghubung untuk mencarikan orang tua yang bersedia mengadopsinya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-34116110036280734462007-12-06T21:09:00.001-08:002007-12-06T21:09:46.103-08:00Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka<p style="text-align: justify;">Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin). <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (<st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region>). Dalam periode ini dibahas dalam <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:City> kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.<o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region>. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region>. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara). <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (<st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region>) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Tujuan Hidup <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita). <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Artinya: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha <st1:place>kama</st1:place> moksha." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Artinya: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, <st1:place>kama</st1:place> dan moksha. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut: <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, <st1:place>kama</st1:place> dan moksha. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Pelaksanaan Upacara <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata." <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar <st1:place>Bali</st1:place>? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar <st1:place>Bali</st1:place> dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di <st1:place>Bali</st1:place>. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di <st1:city><st1:place>Jakarta</st1:place></st1:City> hal serupa jelas tidak bisa dilakukan. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu: <o:p></o:p></p> <ul type="disc"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa). <o:p></o:p></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria. <o:p></o:p></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Amati lelungan (tidak bepergian). <o:p></o:p></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Amati lelanguan (tidak mencari hiburan). <o:p></o:p></li></ul> <p style="text-align: justify;">Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. <o:p></o:p></p> <p style="text-align: justify;">Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan. <o:p></o:p></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni) </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-794909855236900422007-12-06T21:05:00.000-08:002007-12-06T21:06:31.498-08:00Hari Raya Galungan dan Kuningan<p style="text-align: justify;">Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di <st1:place>Bali</st1:place> wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di <st1:place>Bali</st1:place> disebut Umanis, yang artinya sama: manis. </p> <p style="text-align: justify;">Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di <st1:place>Bali</st1:place>. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen <st1:place><st1:city>Agama</st1:City> <st1:state>RI</st1:State></st1:place>) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau <st1:place>Bali</st1:place>. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar <st1:place>Bali</st1:place> dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.</p> <p style="text-align: justify;">Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang <st1:place>Bali</st1:place> rajya. </p> <p style="text-align: justify;">Artinya: </p> <p style="text-align: justify;">Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. </p> <p style="text-align: justify;">Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. </p> <p style="text-align: justify;">Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di <st1:place>Bali</st1:place> yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali. </p> <p style="text-align: justify;">Makna Filosofis Galungan </p> <p style="text-align: justify;">Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. </p> <p style="text-align: justify;">Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. </p> <p style="text-align: justify;">Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut: </p> <p style="text-align: justify;">Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep </p> <p style="text-align: justify;">Artinya: </p> <p style="text-align: justify;">Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. </p> <p style="text-align: justify;">Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma. </p> <p style="text-align: justify;">Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). </p> <p style="text-align: justify;">Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. </p> <p style="text-align: justify;">Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. </p> <p style="text-align: justify;">Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. </p> <p style="text-align: justify;">Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria. </p> <p style="text-align: justify;">Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata. </p> <p style="text-align: justify;">Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga). </p> <p style="text-align: justify;">Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya. </p> <p style="text-align: justify;">Macam-macam Galungan </p> <p style="text-align: justify;">Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut: </p> <p style="text-align: justify;">Galungan </p> <p style="text-align: justify;">Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan. </p> <p style="text-align: justify;">Galungan Nadi </p> <p style="text-align: justify;">Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. </p> <p style="text-align: justify;">Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau <st1:place>Bali</st1:place> saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali. </p> <p style="text-align: justify;">Galungan Nara Mangsa </p> <p style="text-align: justify;">Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: </p> <p style="text-align: justify;">"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran." </p> <p style="text-align: justify;">Artinya: </p> <p style="text-align: justify;">Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut: </p> <p style="text-align: justify;">Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong <st1:place>Bali</st1:place>, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah. </p> <p style="text-align: justify;">Artinya: </p> <p style="text-align: justify;">Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah. </p> <p style="text-align: justify;">Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi. </p> <p style="text-align: justify;">Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana <st1:place>Bali</st1:place> sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama. </p> <p style="text-align: justify;">Galungan di India </p> <p style="text-align: justify;">Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang". </p> <p style="text-align: justify;">Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di <st1:city><st1:place>sana</st1:place></st1:City> melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas. </p> <p style="text-align: justify;">Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di <st1:place>Bali</st1:place>. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan. </p> <p style="text-align: justify;">Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma. </p> <p style="text-align: justify;">Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:City> menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman. </p> <p style="text-align: justify;">Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma. </p> <p style="text-align: justify;">Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin. </p> <p style="text-align: justify;">Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual. </p> <p class="MsoNormal">(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)<o:p></o:p></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-79885200518945892492007-11-19T20:21:00.000-08:002007-11-19T20:22:45.224-08:00Perbuatan Mimpi Tidak Bikin DosaBermimpi dan DosaBelakangan ini saya sering mimpi menakutkan. Misalnya; mimpi selingkuh, mencederai orang, mencuri, merampok, menyakiti orang, dan lain-lain. Kendati dalam hidup sehari-hari saya tidak pernah melakukan yang tidak-tidak, hanya pikiran saya sering liar, lari ke sana-sini, kadang juga berpikir yang tidak-tidak. Pendeknya, saya jarang bisa berpikir positif.Apakah “perbuatan” saya dalam mimpi itu bisa mendatangkan dosa atau membuat saya berdosa? Saya teringat petuah orangtua, jangankan dalam kata-kata dan perbuatan, keburukan dalam pikiran pun katanya juga mengundang dosa. Sampai di sini, sudi kiranya Bapak memberi saya pencerahan!Nyoman Putra DarsanaJl. G Andakasa, PadangsambianDenpasar BaratJawab:Mimpi itu mempunyai hubungan dengan jiwa. Berhubung saya bukan ahli jiwa yang dapat menganalisis jiwa, maka yang saya rujuk adalah sastra-sastra yang ada dalam agama Hindu, yaitu Upanisad dan tatwa. Upanisad yang penulis rujuk adalah Brhadaranyaka Upanisad (Br. Up) dan tatwanya adalah Jnana Tattwa.Dalam pustaka Brhadaranyaka Upanisad Bab IV disinggung mengenai jiwa dan mimpi ( swapna ) yang terjemahannya sebagai berikut.Br. Up IV 3.9Sesungguhnya, hanya dua keadaan atman di dunia ini dan keadaan dalam dunia yang lain. Ada keadaan yang ketiga, yaitu dalam keadaan tidur (mimpi). Dengan berdiri dalam keadaan peralihan ini atman melihat kedua keadaan, hidup di dunia ini dan hidup di dunia yang lain. Sekarang setelah atman melihat ada kebaikan dan kejahatan (dunia ini) dan kebahagiaan (dunia yang lain). Ketika seseorang pergi tidur dia membawa materi atau bahan-bahan dari dunia ini yang mempengaruhi segalanya, dia sendiri merobek-robeknya, dia sendiri membangunnya. Dia tidur (bermimpi) dengan keadaan itu, orang itu menjadi menerangi dirinya sendiri.Br. Up IV 3.11Ketika seseorang bermimpi atman yang membuat tubuh tertidur, tetapi atman sendiri tetap terjaga, dan memperhatikan kesan-kesan perbuatan-perbuatan yang masih berada dalam pikiran orang tersebut. Dengan menghubungkan dirinya dengan kesadaran alat-alat indria, atman mengerahkan tubuh supaya terbangun.Br. Up IV 3.12Melindungi sarang bawahnya dengan napas vital, Yang Abadi bergerak keluar dari sarangnya. Yang Abadi itu bergerak ke mana dia suka, makhluk emas itu burung yang menyendiri.Br. Up IV 3.13Dalam keadaan mimpi, ke atas dan ke bawah, Tuhan membuat banyak bentuk bagi dirinya, sekarang seolah-olah menikmati dirinya dalam teman wanita atau tertawa atau melihat pemandangan yang menakutkan.Br. Up IV 3.14Seseorang tidaklah seharusnya membangunkan orang yang tertidur secara tiba-tiba, sebab akan sukar memulihkannya apabila dia tidak kembali (langsung ke tubuhnya). Lain daripada itu dikatakan bahwa (keadaan tidur) hanyalah keadaannya pada waktu terjaga, sebab objek apa saja yang dilihat ketika ia terjaga, itu jugalah yang dia lihat ketika ia tertidur.Br. Up IV 3.15Setelah merasakan kenikmatan dalam keadaan tidur yang dalam, setelah ke mana-mana dan menyaksikan baik dan buruk, dia kembali lagi sebagaimana dia datang ke tempat dari mana ia mulai bermimpi (tempat tidur). Apa pun yang ia lihat dalam keadaan itu, dia tidak diikuti (dipengaruhi) olehnya, sebab jiwa ini tidak terikat (oleh apa pun).Br. Up IV 3.18Sama seperti ikan besar bergerak antara dua tepi sungai, di sini dan di sana, demikian juga jiwa ini bergerak antara dua keadaan, keadaan mimpi (tidur) dan keadaan jaga.Br. Up IV 3.19Seperti elang atau burung lain yang bergerak cepat setelah terbang mengelilingi langit menjadi lelah, melipat sayap-sayapnya dan turun ke sarangnya, demikian jiwa ini bergerak cepat ke dalam keadaan di mana dia menginginkan tiada keinginan dan tidak melihat mimpi.Br. Up IV 3.21Ini, sesungguhnya, adalah bentuknya yang bebas dari keinginan, bebas dari kejahatan, bebas dari ketakutan. Seperti seorang lelaki ketika dalam pelukan istrinya tercinta tidak mengetahui apa pun di dalam dan di luar, demikian orang itu ketika dalam pelukan jiwa yang pintar tidak mengetahui apa pun di luar maupun di dalam. Itu, sesungguhnya, adalah bentuknya di dalam mana keinginannya dipenuhi.Br. Up IV 3.23Sesungguhnya, ketika di sana (dalam keadaan tidur pulas) dia melihat, dia sesungguhnya melihat, sekalipun ia tidak melihat karena di sana penghentian melihat bagi yang melihat, karena ketidakhancuran (dari yang melihat).Jadi, Upanisad menyatakan keadaan mimpi adalah dunia perbatasan dunia ini dan dunia sana, antara hidup dan mati. Seperti sebuah sungai yang membatasi dua wilayah, tempat seekor ikan dapat berenang dari satu tepi ke tepi yang lain.Dengan sloka-sloka tentang mimpi dalam Brhadaranyaka Upanisad Bab IV sebenarnya juga memberikan penjelasan tentang dunia kematian. Untuk menjelaskan sifat-sifat jiwa, Upanisad memberikan analogi yang unik dan bagus sekali. Saat keadaan mimpi jiwa itu seperti seekor ikan yang dengan bebas berenang dari satu tepi ke tepi yang lain. Jiwa dengan bebas pergi dari dunia tidur ke dunia mimpi, dari dunia mimpi ke dunia sadar. Jiwa digambarkan seperti burung elang, yang terbang tinggi ke angkasa. Di angkasa ia menjelajah langit. Setelah lelah di langit ia melipat sayapnya dan turun kembali ke sarangnya. Demikianlah jiwa meninggalkan tubuh dalam tidur, untuk pergi ke mana-mana, lalu kembali lagi ke tubuh, ketika tubuh masih tidur. Dan, ketika jiwa masuk kembali ke dalam tubuh, kita bisa terus tidur atau segera bangun.Antara dunia tidur dengan mimpi dan dunia kematian memiliki kesamaan yang jelas. Dalam tidur dengan mimpi tubuh istirahat sementara, dan bangun lagi ketika jiwa masuk kembali ke dalamnya. Dalam dunia kematian, tubuh kita istirahat untuk selamanya, tepatnya kembali kepada lima unsur alam. Sedangkan jiwa melanjutkan perjalanan sesuai karmanya: ke surga (para leluhur) dan dari mana kembali lahir ke dunia memasuki badan baru, ke Brahmana-loka (moksha) dari mana mereka tidak kembali.Dalam mimpi ‘kita' melakukan perbuatan-perbuatan, seperti mendengar, berbicara, berpikir, menyentuh, makan, memancing, bahkan berkelahi. Dalam dunia sadar atau jaga/tidak tidur semua perbuatan itu kita lakukan melalui organ fisik kita, seperti melihat dengan mata, bicara dengan mulut, mendengar dengan telinga, berpikir dengan otak, mengambil atau menyentuh dengan tangan. Dalam mimpi seluruh organ tubuh kita istirahat. Jadi, jiwa melakukan tindakan-tindakan tidak melalui organ tubuh, tetapi melalui kesadarannya sendiri. Orang-orang yang pernah mengalami dekat kematian mengatakan, di dunia itu mereka ‘berbicara' tidak melalui mulut tetapi melalui pikiran atau kesadaran.Tindakan-tindakan ‘kita' dalam mimpi sama sekali tidak mempengaruhi diri kita. Misalnya, ketika dalam mimpi ‘kita' makan nasi, ketika kita bangun kita tidak langsung kenyang (kalau mimpi itu ditafsirkan mungkin akan mempengaruhi pikiran atau perasaan kita). Menurut Upanisad, apa pun yang dilihat, didengar atau dilakukan oleh jiwa tidak mempengaruhinya (tidak mengikutinya) karena jiwa memang tidak terikat pada apa pun.Bahkan, dalam keadaan tidur pulas, ketika mata dan indria yang lain sedang istirahat, jiwa ada melihat, sekalipun ia tidak melihat dengan mata. Yang melihat tidak pernah kehilangan sifat (kemampuan) melihat, sama seperti api tidak dapat kehilangan sifat membakar selama dia adalah api. Jiwa melihat, dengan cahayanya sendiri, seperti matahari, sekalipun di sana tidak ada yang kedua, tidak ada objek lain selain jiwa itu sendiri yang dapat dilihat, yang melihat dapat dilihat.Hal yang sama dengan melihat juga terjadi dalam merasa, mendengar, berpikir, berbicara, menyentuh, mengetahui, dan lain-lainnya.Ketika seseorang dalam keadaan mimpi, jiwa membuat badan tertidur, tetapi jiwa sendiri tetap jaga dan memperhatikan impresi/kesan perbuatan, yang telah tertinggal dalam pikiran. Dengan mengasosiasikan dirinya dengan kesadaran organ-organ indria, jiwa menyebabkan tubuh jaga/bangun.Tidur adalah syarat yang mutlak bagi kesehatan badan dan mental. Dalam tidur yang nyenyak ada istirahat dari kerinduan, keengganan, ketakutan, dan kecemasan. Dalam keadaan itu seorang manusia menjadi dasar suci semua makhluk.Jiwa dikatakan sebagai angsa yang kesepian, dia bergerak sendiri dalam keadaan jaga dan keadaan mimpi, dalam dunia ini dan dunia yang akan datang. Angsa adalah simbol jiwa Alam Semesta. Jiwa, sang Diri Sejati Yang Abadi, pergi ke mana pun ia mau. Jiwa lahir dalam tubuh, pergi dari keadaan kesadaran besar ke dalam kesadaran yang jauh lebih kecil, dan sementara itu lupa terhadap kebenaran yang ia ketahui ketika ia ada di luar tubuh. Kematian, sebaliknya, adalah bangun atau jaga dan mengingat. Plato mengatakan, jiwa yang telah keluar dari badan pada saat kematian dapat berpikir jauh lebih jelas dan lebih jernih daripada sebelumnya dan ia dapat mengenali segala sesuatu dalam sifatnya yang sebenarnya dengan jauh lebih mudah.Di samping uraian dari pustaka Upanisad tadi, mengenai mimpi liar, antara lain mimpi selingkuhan, merampok, dan lain-lainnya adalah karena pengaruh triguna, yaitu satwa, rajah, tamah . Dalam kasus ini condong pada rajah dan tamah . Hal ini diuraikan dalam pustaka Jnana Tattwa sebagai berikut.Nihan laksanikang citta rajah, an rumaket irikang citta, cancala adres molah, asinghra, panasbaran, aglis bangga, irsya, salahhasa, sahasa , capala wawang tka sahasa, tunengasih tunengwlasasih, kumalwihakenawak guna, genghati, krodhanya gong, gong sungsut, ahangkara, lobha, dambha, krura, taratakut, kabhinawa sapolahnya, mangdadyaken resning tuminghal, sabdanya mangdadyaken karnna sula ring sang mangrengo, alangghya ruhur pambekamnya, mangdadyaken hewaning citta ning para, tanangga korurwa, tanannga sor ring abhipraya, yeka wyaktinikang citta rajah, an rumaket irikang citta.Artinya:Inilah tanda-tanda citta rajah , bila melekati alam pikiran orang. Goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa, panas hati, cepat congkak, iri hati, cepat tersinggung, keras usil, cepat timbul kekerasannya. Kurang menaruh kasih sayang, mengagung-agungkan diri pandai. Angkuh, amat pemarah, sedih, egois, loba, tamak, bengis tidak mengenal takut, seram segala gerak-geriknya, menyebabkan hati orang takut memandanginya. Kata-katanya menyebabkan sakit telinga orang yang mendengarkannya. Sifatnya menentang, mengatasi, menyebabkan hati orang jengkel. Tidak mau rendah cita-citanya. Demikianlah hakikat citta rajah bila melekat pada citta (alam pikiran) orang.Nihan maksana ning citta tamah, an rumaket irikang citta, abeyet, almeh, guhya, simpaneh, kalusa, amangana, tananghel, atis, arip bot turu, geng mudha, gong raga, gong elik, gong hyun, gong wisaya, dreda ta ya suklasonita, mapulang maturu lawan anak rabinya, mangkana wyakti nikang citta tamah, an rumaket irikang citta.Artinya:Inilah tanda-tanda citta tamah , bila melekati alam pikiran. Berat, enggan, rahasia, malas, kotor, tak puas-puasnya makan. Dingin, mengantuk, kuat tidur, amat dungu, besar birahinya. Amat iri hati, berkeinginan keras, amat bernafsu, doyan dengan sanggama. Campur tidur dengan anak dan istrinya. Demikianlah hakikat citta tamah dan demikian tanda-tandanya, bila melekat dalam pikiran.Apa yang saya sampaikan adalah ucapan sastra. Tetapi, dalam dunia sakala sehari-hari ada yang mengatakan bahwa kalau mimpi bertemu mayat digotong, berarti akan mendapat rezeki. Kebalikannya, jika bermimpi ikut dalam pesta atau acara perkawinan maka yang bermimpi itu akan mendapat celaka. Jadi, kalau mimpi melihat yang duka mendapat rezeki, sedangkan mimpi yang enak-enak malah mendapat celaka. Percaya atau tidak, terserah!Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4915363745029506810.post-88053151528429562852007-11-13T16:28:00.000-08:002007-11-13T16:30:26.524-08:00Pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan<div align="center">Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh.(Dipetik dari Lontar Usana Dewa)<br /></div><br /><div align="justify">Maksudnya:<br />Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.<br />Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti. Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal.<br />Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb: ...ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.<br />Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba: ...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni. Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.<br />Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.<br />Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa. Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.<br />Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb: ...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan. Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb: muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran. Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan.<br />Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.<br />Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.<br />Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.<br />Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.<br />Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.<br />Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.</div>Unknownnoreply@blogger.com2