Tuesday, September 29, 2009
By ngarayana
Saya rasa istilah “paid bangkung” sudah bukan istilah yang asing lagi di telinga umat Hindu etnis Bali. Yaitu sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan seorang lelaki Hindu yang menikah dengan wanita non-Hindu dan kemudian mengikuti agama istrinya. Etimologi “paid bangkung” sendiri berasal dari bahasa Bali, yaitu dari kata “paid” = ditarik dan “bangkung” = babi betina yang dipelihara untuk dibiakkan. Jadi istilah “paid bangkung” selalu dikonotasikan sebagai hal yang negatif.
Sering kali seorang pemuda Hindu Bali khususnya yang baik karena merantau ke luar Bali atau karena memang lahir di luar Bali dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang sudah pasti pernah dialami oleh orang normal, yaitu “Cinta”. Sebagian besar pemuda/pemudi Hindu di luar Bali pernah menjalin cinta dengan pemuda/pemudi non-Hindu.
Cinta, sebuah hal yang sederhana tetapi juga ruwet. Cinta memang buta, hanya karena cinta pada pasangan, seseorang dapat meninggalkan agama dan keluarga. Tidakkah mereka sadar bahwa cinta pada lawan jenis tidak ubahnya bagai bunga rumput yang kadang tumbuh dan bersemi lalu mati dalam hitungan sekejap? Sering kali kita jatuh cinta pada seseorang karena fisiknya, padahal kalau mau jujur, sampai kapan kecantikan/ketampanan fisik itu akan bertahan? Tidak akan lebih dari umur 30 tahun kan?
Kita adalah Jiva (Atman) yang mandiri dan terpisah dari jiva-jiva lainnya. Jiva (Atman) hanya memiliki hubungan khusus dengan sumber dari Atman itu sendiri, yaitu Paramatman, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagavad Gita 8.15 Sri Krishna mengatakan “Bhair antas ca bhutanam, Aku bersemayam dalam hati setiap insan”. Dalam aspeknya sebagai paramatman, Tuhan selalu menyertai sang jiva. Jika jiva dan paramatman diibaratkan sebagai dua ekor burung yang hinggap di sebuah pohon (analogi dari badan), Maka burung yang satu (jiva) sibuk sebagai penikmat dan pengguna semua fasilitas dan makanan yang ada pada pohon (badan) tersebut, sementara itu burung yang satunya lagi (paramatman) selalu setia menemani dan mengawasi burung penikmat (jiva) tadi. Celakanya, sering kali burung penikmat (jiva) ini selalu disibukkan oleh pemuasan nafsu kenikmatan pribadinya, sehingga dia melupakan burung yang selalu menemaninya (paramatman) dan selalu tertarik untuk terbang ke pohon-pohon lainnya demi kenikmatannya sendiri. Kita sering kali lupa akan siapa sejatinya diri kita. Apakah kita badan ini atau sesuatu di balik badan ini? Kita sering kali terperangkap untuk menikmati badan serta tertarik pada badan-badan yang lain dan kita lupa pada Tuhan (paramatman) yang selalu setia menemani kita. Andaikan seseorang sadar akan kedudukannya ini, dan mengerti bahwa cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, maka penderitaan akan cinta yang konyol seperti kasus “paid bangkung” ini tidak akan pernah terjadi.
Dalam pelaksanaan perkawinan (vivaha) Hindu, hendaknya seseorang harus memperhatikan beberapa aturan dasar yang harus diketahui dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan vivaha tersebut, mokshatram ya ca iti dharma.
Tujuan mendasar dari sebuah perkawinan adalah membentuk keluarga yang berazaskan dharma sehingga menghasilkan anak-anak yang suputra dan selanjutnya suami istri harus dapat saling bahu-membahu melaksanakan yajna (upacara agama) sehingga diharapkan keduanya pada akhirnya akan mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu moksha. Hal ini diuraikan dalam Manava Dharma Sastra 9.96; “untuk menjadi ibu/istri maka wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah/swami maka lelaki diciptakan, keduanya diciptakan untuk menyelenggarakan upacara agama”.
Disamping itu seorang laki-laki yang akan menikah harus menyadari betul hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Istilah suami berasal dari kata sansekerta “svami” yang artinya mengendalikan. Penggunaan kata svami ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk orang suci dan untuk pemimpin keluarga.
Orang suci dapat menyandang nama/gelar svami jika mereka mampu mengendalikan indria-indrianya, mampu melaksanakan Panca Yama Bratha dan Panca Nyama Bratha serta menjalani aturan kehidupan sanyasi (bhiksuka), tidak terikat lagi dengan keluarga dan kehidupan material dan hanya disibukkan dalam pelayanan bhakti pada Tuhan dan menyebarkan dharma ke seluruh dunia.
Seorang laki-laki berumah tangga dapat disebut suami/svami jika mampu mengendalikan dan menuntun istri serta anak-anaknya sesuai dengan ajaran dharma. Seorang suami tidak dibenarkan takut pada istri dan berada di bawah ketiak istri, tapi swamilah yang harus mengendalikan istrinya dan tentunya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dharma. Seorang lelaki yang mengendalikan pasangan hidup dan keluarganya secara sewenang-wenang dan tanpa aturan sastra agama yang benar juga tidak layak disebut sebagai suami.
Sehingga dengan ketiga prinsip dasar ini, yaitu bahwasanya cinta yang sejati hanya untuk Tuhan, suami dan istri diciptakan untuk saling bahu membahu melaksanakan ajaran dharma serta pada dasarnya seseorang hanya dapat disebut suami jika dia mampu mengendalikan dan mendidik keluarganya sesuai dengan prinsip dharma, maka beberapa jenis pernikahan yang marak terjadi belakangan ini tidak dapat dibenarkan.
Yang pertama, pernikahan “paid bangkung” sudah pasti menunjukkan bahwa pemuda yang “paid bangkung” ini tidak menyadari dirinya yang sejati sebagai jiva. Dia terlena akan kecantikan lawan jenis, iming-iming harta warisan atau mungkin karena pengetahuan agama dan antar agamanya yang sangat kering.
Kesalahan utama pemuda Hindu dalam meminang seorang wanita non-Hindu adalah pada pemahaman yang merupakan kebanggaan semu dari penganut Hindu yang menyatakan bahwa “semua agama sama”. Padahal pada kenyataannya tidak satu agamapun yang sama di dunia ini, bahkan dalam satu agamapun acap kali terdapat perbedaan pandangan/aliran. Sebuah survei interfaith menunjukkan bahwa agama yang memiliki toleransi paling tinggi adalah Hindu dan berikutnya diurutan kedua adalah Buddha serta agama-agama Timur lainnya. Pada urutan berikutnya adalah Kristen dan dikuti oleh agama Yahudi. Sementara itu agama yang paling tidak toleran menurut survei tersebut adalah Islam. Merupakan sebuah kebanggaan sebagai Hindu dimana menduduki peringkat teratas dalam hal toleransi beragama, tapi juga merupakan bumerang bagi mereka yang tidak memahami filsafat Hindu dengan benar.
Kasus menarik “paid bangkung” akibat kebanggaan buta akan sikap toleransi dan keringnya pengetahuan akan Hindu pernah terjadi di Yogyakarta. Pada waktu itu sebuah rombongan keluarga dari seorang alumnus salah satu perguruan tinggi di Yogya mendatangi rumah keluarga pacarnya dengan maksud meminang pacarnya tersebut. Setelah melakukan percakapan yang cukup hangat, tibalah pada sebuah percakapan yang menyangkut perbedaan agama antara kedua keluarga tersebut. Percakapanpun berlangsung a lot dan tegang, namun pada akhirnya diredam dengan satu “kalimat sakti” oleh pemimpin rombongan keluarga Hindu dari Bali tersebut. Beliau berujar dan mengatakan bahwa semua agama sama, sehingga tidaklah masalah untuk melakukan pernikahan beda agama antra pasangan ini. Meski meredakan ketegangan, namun ternyata pernyataan ini menjadi bumerang bagi keluarga Hindu Bali ini. Salah satu pihak perempuan akhirnya berujar; “Kalau memang menurut anda semua agama sama, berarti tidak masalah dong ya kalau anak bapak yang pindah ke agama kami?”. Logika yang bagus dan dengan primis yang memang tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dengan kecewa, keluarga dari Bali ini harus pulang dengan merelakan anak lelaki mereka “paid bangkung”, menikah dan berubah agama mengikuti agama istrinya.
Kasus kedua yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah dimana suami dan istri memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Manava Dharma Sastra 9.96 sudah sangat tegas mengatakan bahwa suami dan istri harus saling bahu membahu melaksanakan yajna (upacara agama). Jika mereka memiliki keyakinan berbeda, bagaimana mereka dapat melaksanakan yajna sesuai dengan aturan Veda?
Kasus yang kedua ini biasanya terjadi untuk meredam masalah dimana pihak suami atau istri sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan agamanya. Namun biasanya yang pada akhirnya kalah adalah pihak Hindu, walaupun yang Hindu adalah suaminya, sering kali anak-anak mereka dididik dengan agama istrinya yang non-Hindu. Faktor utama penyebab ini sudah barang tentu karena Hindu sebagai minoritas di Indonesia tidak memiliki sistem pendidikan yang baik. Dan faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah karena sebagian besar orang Hindu tidak memahami ajarannya dengan baik dan tidak dibekali dengan pemahaman akan ajaran agama yang lain.
Kesalahan terbesar orang Hindu, terutama Hindu etnis Bali diluar ketidakmampuan mensinergikan antara filsafat dan upacara (ritual) adalah karena orang Hindu tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kerajaan majapahit runtuh karena Raja Brawijaya V tidak mampu bertindak sebagai seorang suami yang benar, dia tidak mampu mengendalikan dan mendidik istrinya yang muslim sehingga anak kandung dari istrinya itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab kehancurannya dan kerajaannya. Kerajaan badung-pun hampir hancur dengan cara seperti ini, namun “untung” belanda datang menjajah sehingga Hindu di Bali belum sempat hancur seperti halnya Hindu di Jawa.
Menurut sebuah milis pemuda Hindu, saat ini terdapat seorang menteri Hindu yang juga sedang terjerat kasus seperti ini. Dalam keluarganya hanya dialah satu-satunya Hindu, istrinya dan anak-anaknya non-Hindu. Apakah seseorang yang tidak mampu mengendalikan keluarganya sendiri dapat diangkat sebagai menteri dan disuruh mengendalikan departemen? Kasus yang sama juga saya temukan di kota Metro, Lampung. Sungguh menyedihkan ketidakberdayaan lelaki-lelaki takut istri ini. Mereka sama sekali tidak layak disebut sebagai suami (svami).
Jatuh cinta dan menikah dengan lawan jenis yang berbeda agama tidaklah masalah, karena grahasta / vivaha adalah jenjang yang harus dilewati oleh setiap orang yang menjalankan catur ashrama secara normal. Namun untuk melaksanakan pernikahan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma dan tidak juga menyebabkan kita tergerus keluar dari ajaran yang sudah tepat, maka setiap pemuda-pemudi Hindu harus memiliki bekal filsafat Hindu yang benar dan juga memahami ajaran agama yang lain dengan baik. Sehingga apapun argumen memojokkan dari agama lain dapat kita tangkis dan bahkan dibalikkan kembali untuk memperlihatkan kekeliruan mereka.
Jika sistem pendidikan Hindu di Indonesia kuat dan setiap orang Hindu sadar akan pentingnya filsafat maka sudah pasti tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti diatas tadi.
No comments:
Post a Comment