“Jika ibu wajahnya selalu memancarkan keceriaan, seluruh rumah tangga berbahagia, tetapi jika wajahnya cemberut,semuanya akan kelihatan suram” (Manavadharmaśāstra, III.62.)
Tanggal 22 Desember setiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari Ibu sebagai penghormatan atas jasanya kepada putra-putrinya yang telah melahirkan bangsa ini. Bila kita membicarakan ibu, maka perhatian kita pada sebuah keluarga (keluarga inti) yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Keluarga merupakan tahapan hidup yang kedua bagi setiap orang. Tahapan yang pertama disebut Brahmacari, yakni menuntut ilmu pengetahuan selaras pula dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia. Ketika ia mencapai kematangan jasmani dan rohani, mereka memasuki kehidupan berumah tangga yang disebut Grahasthasrama. Kehidupan keluarga ini dimulai dengan upacara perkawinan (Vivaha). Perkawinan tanpa upacara ( Vivaha tan sinangaskara) tidak dibenarkan dalam agama Hindu dan diyakini sebagai dosa yang membuat kehancuran rumah tangga dan masyarakat.
Untuk lebih memahami tentang peranan ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, terlebih marilah kita tinjau makna dari perkawinan menurut kitab-kitab Dharmasastra, yaitu :
1. Dharmasampati, suami istri secara bersama – sama melaksanakan ajaran Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban hidup sesuai dengan ajaran agama.
2. Praja, suami istri mampu melahirkan keturunan (putra – putri) yang suputra, berkualitas yang akan melajutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur.
3. Rati, suami istri dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan lainnya ( Artha dan Kama) yang tidak bertentangan dengan Dharma (kebenaran).
Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut di atas, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan rumah tangga itu. Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya dinyatakan bahwa hubungan antara suami- istri dinyatakan sebagai satu jiwa dalam dua badan :
“Hendaknya manis bagaikan maducinta kasih dan pandangan antara suami dan istri, penuh keindahan.Hendaknya senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian. Mereka stu jiwa bagi keduanya” (Atharvaveda VII.36.1).
Selanjutnya kitab Manavadharmaśāstra menyatakan hendaknya suami istri tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan rumah tangga:
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan agar mereka tidak bercerai, mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya” (IX.102).
“Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri” (IX.101).
“Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya, di sana kebahagiaan pasti kekal abadi”(III.60) .
Suami dan istri diamanatkan oleh Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan mengikuti jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku), memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sendiri dan hidup dengan sejahtra dan bahagia di dalamnya :
“Wahai suami dan istri hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan di antara kamu. Lakukan tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah dengan suka cita didalamnya” (Atharvaveda XIV.2.43).
Terjemahan mantra Veda ini sangat relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Seseorang yang telah siap untuk memasuki rumah tangga harus mampu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Untuk bisa mandiri, seseorang hendaknya memiliki penghasilan yang tetap dan untuk itu peranan pendidikan dan kerja keras yang juga senantiasa ditekankan dalam kitab suci Veda mengantarkan orang dapat mandiri. Demikian pula untuk memiliki putra-putri yang perwira, suputra atau berkualitas, setiap keluarga bila sepenuhnya mengikuti ajaran agama (termasuk disiplin dalam hubungan suami sitri), putra- putri yang dicita-citakan akan lalhir pada keluarga itu. Di sinilah agama berperanan penting dalam menyiapkan SDM atau generasi yang berkualitas sesuai harapan setiap keluarga.
Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Gṛhapatya, Gṛhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmaśāstra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut :
a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
b. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya.
c. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah.
d. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian.
e. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.
f. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.
g. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna.
Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan.
Peranan Ibu dalam keluarga
Di dalam Vanaparva Māhabhārata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya :
“Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya’ (Sarasamuccaya 245).
Di dalam kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut:
“Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22).
“Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya” (Ṛgveda VIII.33.19).
Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :
“Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat” (Rgveda VIII.33.19).
“Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia” (Atharvaveda XIV.1.42).
“Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua” (Atharvaveda XIV.2.20).
“Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti” (Atharvaveda , III.30.2).
Sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut :
“Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan” (Rgveda V.28.3).
“Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini” (Atharvaveda VI.122.3).
“Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan”
“Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi”(Atharva veda) istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan” (Yajurveda XVII.85).
“Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu”(Atharvaveda VI.120.3).
“Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu” (Yajurveda VI.120.3).
Di dalam berbagai susastra Hindu banyak dijumpai petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan keharmonisan, kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Kunci keberhasilan untuk mencapai hal itu adalah kerja keras dan tekun melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Memperhatikan uraian tersebut di atas, ibu sangat menentukan (bersama bapak) dan sangat berperanan dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Menurut tradisi Hindu, ada 6 jenis ibu yang patut dihormati seperti ibu kandung sendiri, yaitu :
a. Ibu kandung yang melahirkan,
b. Bidan atau dukun yang membantu ibu melahirkan.
c. Istri guru yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d. Istri pejabat (pemerintah) yang turut serta membangun kesejahtraan kesejahtraan rakyat.
e. Sapi yang membantu petani dalam mengolah tanah dan memberikan susu.
f. Ibu Pertiwi, bumi tercinta yang memberikan kesejahtraan kepada semua makhluk.
Demikian antara lain peranan seorang ibu dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga.
Oṁ Dirgayur astu tat aṣtu svaha.
Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
Ditulis dalam I Wayan Sudarma, Religi
http://singaraja.wordpress.com/2008/12/22/peranan-ibu-mewujudkan-keluarga-sejahtra-dan-bahagia/
Dengan mengenal dan mencintai Hindu akan mempermudah kita dalam memahaminya.
Tuesday, June 29, 2010
PERANAN IBU MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTRA DAN BAHAGIA
UPAKARA VIVAHA SAMSKARA (STANDAR)
I. UPAKARA PEKELING
a. Padmasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning
b. Anglurah: Pejati, Ketipat dampulan, Segehan Cacahan Poleng.
c. Pemedal/Pemesu: Nasi dialasi dengan bakul, lauknya karangan Babi, Nasi digulung dengan upih, lauknya hati, Tuak 1 sujang, Bunga Cempaka 2 buah, Uang Kepeng 11 keteng, Canang Burat Wangi, Tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang –Kilung.
II. UPAKARA UNTUK KAMAR PENGANTIN:
Pelangkiran: Pejati, segehan cacahan putih kuning.
Di Atas Pintu Kamar Pengantin: Nasi takilan, lauknya darah mentah yang dialasi dengan limas, garam, bawang, jahe, terasi. Dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga Ulung, dan Kaki Rangga Tan Kewuh.
Sanggar Surya: Suci l, Pejati 1, Soda Putih Kuning, Rantasan Putih Kuning, eteh-eteh Sanggar Surya (Uduh, Peji, Pisang lalung, Penjor, ceniga, gantung-gantungan), bungkak gading 1. Sor Sanggar Surya: Nasi Sasahan 9 tanding, Karangan 1, Nasi Sokan, Byakaon, Olahan babi 9 tanding, Gelar Sanga, Jangan Sekuali, Segehan Agung, tetabuhan arak, berem, tuak.
Sanggar Surya (Caru Dewasa): Suci, Tulung, Sesayut, Peras, Daksina, Penyeneng, Lis, Byakaon, Tetabuhan.
Padamasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning
Anglurah: Pejati 1, Katipat Dampulan, Segehan Cacahan Poleng.
Lapaan / Ayaban: Suci 1, Pejati 1, Jerimpen Punggul 1 pasang, Sesayut Pewarangan /Sesayut Nganten, Sesayut Pageh Urip, Ayaban Tumpeng Pitu, Penyeneng Taterag (Gede), Banten Padengen-Dengenan/Pekala-Kalaan, Tikeh Dadakan, Kala Sepetan, Tegen-Tegenan, Sok Pedagangan, Penegtegan, Papegatan, Tatimpug, Banten Pejati (Jauman), Gebogan.
Upakara Untuk Pengayengan ke Leluhur Kedua Mempelai : Pejati 2 Soroh, segehan cacahan putih kuning 2 set.
Upakara Penyambutan Kedua Mempelai di depan Pintu Masuk: Segehan Cacahan panca Warna, Api Takep, Tetabuhan.
Upakara Arepan Sang Pandita: Suci 1, Pejati 1, Prayascita, Byakala, Pengulapan, Durmenggala, Payuk Pelukatan, Sibuh Pepek, Lis 1 pasang, Kuma Ligi, Kuskusan Sudamala, Sirawista., Punia, Pejati Pewali 1 soroh + Segehan cacahan.
Upakara Tambahan Untuk Di Pemesu, Dapur, Air: Soda 6 set, Segehan Panca Warna 1, Putih Kuning, 1, Hitam 1
Upakara Tukang Rias: Pejati, Segehan cacahan Putih Kuning.
10. Gantung-Gantungan, Ceniga, Tamiang: 8 set.
III. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN:
1.BANTEN PADENGEN-DENGENAN: Pejati, Suci, Sesayut Lembaran, Pengambyan, Penyeneng, Tulung Metangga 2 buah, Sanggah Urip 1, Pamugpug (Tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sayut lengkap dengan kue, buah, dan rerasmen sampyan nagasari), Untek 7 buah dialasi dengan taledan lengkap dengan kue, buah,lengkap dengan rerasmen, Solasan 22 tanding (Nasi dialasi teledan kecil, lengkap dengan buah, kue, lauknya sate, lekesan 1 set. Bayuan (penek warna 5 dialasi dengan daun telujungan lauknya olahan ayam Brumbun, dan baying-bayangnya ditaruh di atasnya lengkap dengan kuangen, canang sari, sampyan nagasari.
2.TIKEH DADAKAN: adalah sebuah tikar kecil yang terbuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini adalah symbol kesucian mempelai wanita.
3.SESAYUT PEWARANGAN/SESAYUT NGANTEN: Aled Sayut, kain putih kuning, beras, base tampel, benang, jinah 11 keteng, Daksina mewastra putih kuning 2 set (1 dihias seperti laki-laki/melelancingan, 1 dihias seperti wanita/metapihan), tumpeng putih 1, tumpeng kuning 1, semua mepelekir, masing-masing diisi kuangen , tulung metangga 2, pasucian, penyeneng 2, sesarik 2, tatebus putih-kuning, buah, kue, pisang lengkap, kojong rangkat 2, sampyan nagasari 2, lauknya ayam putih betina 1, ayam putih jantan 1, semuanya dipanggang, peras, 2, soda 2, katipat kelanan 2, canang sari 2 pasang.
4.SESAYUT PAGEH URIP: Aled sayut, Buah, kue, pisang, Nasi mejangka aji jembung, di atasnya diisi tumpeng putih 1, disisipi bunga cempaka 2, Tumpeng kuning 1, disisipi bunga cempaka kuning 2, bunga teratai putih dan biru masing-masing 1, kojong rangkadan, tulung urip 5, tulung sangkur 5, ketipat pandawa 5, ketipat sari 5, lauknya bebek diguling, garam 1 takir, peras, tulung, sayut (sorohan alit), canang burat wangi, lenga wangi, pasucian, tatebus putih kuning, sampyan nagasari, canang sari.
5.KALA SEPETAN: Sebuah bakul yang berisi telor ayam mentah 1 butir,batu bulitan, 1 buah, uang 25 keteng, kunir, talas, andong, kapas, lalu bakul tersebut ditutup dengan serabut kelapa yang dibelag tiga dan berasal dari sebutir kelapa, serabut tersebut diikat dengan benang Tri Datu, di atasnya diisi pucuk kayu dapdap, dan lidi masing-masing 3 buah. Banten ini merupakan perwujudan Sang Kala Sepetan, salah satu yang menerima persembahan Padengen –dengenan.
6.TEGEN-TEGENAN: cangkul, sebatang tebu, dan cabang pohon dapdap, pada salah satu sisinya diisi periuk berisi air, dan di sisi yang lainnya berisi periuk yang di dalamnya ada uangnya. Ini melambangkan bahwa sebagai laki-laki/suami harus bekerja keras, sehingga menjadi sumber penghidupan bagi anggota keluarga.
7.SOK PEDAGANGAN: sebuah bakul yang di dalamnya berisi, beras, kain, bumbu dapur, rempah-rempah, pohon kunir, pohon talas, dan andong. Ini melambangkan bahwa sebagai wanita/istri harus dapat mengatur rumah tangga sehingga terjalin keharmonisan.
8.PENEGTEGAN: Sebuah tempat yang berisi Keris lengkap dengan pakainnya, biasanya diletakkan di Sanggah Kemulan. Sebagai simbol bahwa sejak hari ini kedua mempelai memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan Merajan (simbol Purusa).
9.PAPEGATAN: dibuat dengan ranting pohon dapdap, yang dipasang agak berjauhan, dihubungkan dengan benang putih. Pejati 1, segehan putih kuning 1. Sebagai simbol dimulainya masa Grhastha (berumah tangga).
10.TATIMPUG: dibuat dari beberapa ruas bambu yang kedua ruasnya masih utuh. Bantennya soda. Dalam upacara nanti dibakar sehingga mengeluarkan suara. Sebagai tanda kesuksesan.
11.BANTEN PEJATI (JAUMAN): Pejati 1 set, ditambah dengan aneka kue pasar, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan seperadeg, (pakaian 1 stel). Dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan kepada orang tua mempelai wanita.
12.TUMPENG PITU: Peras tumpeng 2 sampyan pers. Pengambyan tumpeng 2 tulung pengambyan 2, katipat pengambyan 1 sampyan pengambyan. Dapetan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Ayunan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Pengulap tumpeng 1 sampyan jaet guak. Sesayut Lembaran; nasi penek 1 sampyan nagasari. Nasi Pangkonan Putih Kuning sampyan nagasari. Katipat Sirikan sampyan nagasari. Soda; nasi penek 2 sampyan petangas. Pasucian, Penyeneng
http://dharmavada.wordpress.com/2009/11/26/upakara-vivaha-samskara-standar/
a. Padmasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning
b. Anglurah: Pejati, Ketipat dampulan, Segehan Cacahan Poleng.
c. Pemedal/Pemesu: Nasi dialasi dengan bakul, lauknya karangan Babi, Nasi digulung dengan upih, lauknya hati, Tuak 1 sujang, Bunga Cempaka 2 buah, Uang Kepeng 11 keteng, Canang Burat Wangi, Tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang –Kilung.
II. UPAKARA UNTUK KAMAR PENGANTIN:
Pelangkiran: Pejati, segehan cacahan putih kuning.
Di Atas Pintu Kamar Pengantin: Nasi takilan, lauknya darah mentah yang dialasi dengan limas, garam, bawang, jahe, terasi. Dihaturkan kehadapan: Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga Ulung, dan Kaki Rangga Tan Kewuh.
Sanggar Surya: Suci l, Pejati 1, Soda Putih Kuning, Rantasan Putih Kuning, eteh-eteh Sanggar Surya (Uduh, Peji, Pisang lalung, Penjor, ceniga, gantung-gantungan), bungkak gading 1. Sor Sanggar Surya: Nasi Sasahan 9 tanding, Karangan 1, Nasi Sokan, Byakaon, Olahan babi 9 tanding, Gelar Sanga, Jangan Sekuali, Segehan Agung, tetabuhan arak, berem, tuak.
Sanggar Surya (Caru Dewasa): Suci, Tulung, Sesayut, Peras, Daksina, Penyeneng, Lis, Byakaon, Tetabuhan.
Padamasari: Pejati 1, Segehan Cacahan putih kuning
Anglurah: Pejati 1, Katipat Dampulan, Segehan Cacahan Poleng.
Lapaan / Ayaban: Suci 1, Pejati 1, Jerimpen Punggul 1 pasang, Sesayut Pewarangan /Sesayut Nganten, Sesayut Pageh Urip, Ayaban Tumpeng Pitu, Penyeneng Taterag (Gede), Banten Padengen-Dengenan/Pekala-Kalaan, Tikeh Dadakan, Kala Sepetan, Tegen-Tegenan, Sok Pedagangan, Penegtegan, Papegatan, Tatimpug, Banten Pejati (Jauman), Gebogan.
Upakara Untuk Pengayengan ke Leluhur Kedua Mempelai : Pejati 2 Soroh, segehan cacahan putih kuning 2 set.
Upakara Penyambutan Kedua Mempelai di depan Pintu Masuk: Segehan Cacahan panca Warna, Api Takep, Tetabuhan.
Upakara Arepan Sang Pandita: Suci 1, Pejati 1, Prayascita, Byakala, Pengulapan, Durmenggala, Payuk Pelukatan, Sibuh Pepek, Lis 1 pasang, Kuma Ligi, Kuskusan Sudamala, Sirawista., Punia, Pejati Pewali 1 soroh + Segehan cacahan.
Upakara Tambahan Untuk Di Pemesu, Dapur, Air: Soda 6 set, Segehan Panca Warna 1, Putih Kuning, 1, Hitam 1
Upakara Tukang Rias: Pejati, Segehan cacahan Putih Kuning.
10. Gantung-Gantungan, Ceniga, Tamiang: 8 set.
III. PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN:
1.BANTEN PADENGEN-DENGENAN: Pejati, Suci, Sesayut Lembaran, Pengambyan, Penyeneng, Tulung Metangga 2 buah, Sanggah Urip 1, Pamugpug (Tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sayut lengkap dengan kue, buah, dan rerasmen sampyan nagasari), Untek 7 buah dialasi dengan taledan lengkap dengan kue, buah,lengkap dengan rerasmen, Solasan 22 tanding (Nasi dialasi teledan kecil, lengkap dengan buah, kue, lauknya sate, lekesan 1 set. Bayuan (penek warna 5 dialasi dengan daun telujungan lauknya olahan ayam Brumbun, dan baying-bayangnya ditaruh di atasnya lengkap dengan kuangen, canang sari, sampyan nagasari.
2.TIKEH DADAKAN: adalah sebuah tikar kecil yang terbuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini adalah symbol kesucian mempelai wanita.
3.SESAYUT PEWARANGAN/SESAYUT NGANTEN: Aled Sayut, kain putih kuning, beras, base tampel, benang, jinah 11 keteng, Daksina mewastra putih kuning 2 set (1 dihias seperti laki-laki/melelancingan, 1 dihias seperti wanita/metapihan), tumpeng putih 1, tumpeng kuning 1, semua mepelekir, masing-masing diisi kuangen , tulung metangga 2, pasucian, penyeneng 2, sesarik 2, tatebus putih-kuning, buah, kue, pisang lengkap, kojong rangkat 2, sampyan nagasari 2, lauknya ayam putih betina 1, ayam putih jantan 1, semuanya dipanggang, peras, 2, soda 2, katipat kelanan 2, canang sari 2 pasang.
4.SESAYUT PAGEH URIP: Aled sayut, Buah, kue, pisang, Nasi mejangka aji jembung, di atasnya diisi tumpeng putih 1, disisipi bunga cempaka 2, Tumpeng kuning 1, disisipi bunga cempaka kuning 2, bunga teratai putih dan biru masing-masing 1, kojong rangkadan, tulung urip 5, tulung sangkur 5, ketipat pandawa 5, ketipat sari 5, lauknya bebek diguling, garam 1 takir, peras, tulung, sayut (sorohan alit), canang burat wangi, lenga wangi, pasucian, tatebus putih kuning, sampyan nagasari, canang sari.
5.KALA SEPETAN: Sebuah bakul yang berisi telor ayam mentah 1 butir,batu bulitan, 1 buah, uang 25 keteng, kunir, talas, andong, kapas, lalu bakul tersebut ditutup dengan serabut kelapa yang dibelag tiga dan berasal dari sebutir kelapa, serabut tersebut diikat dengan benang Tri Datu, di atasnya diisi pucuk kayu dapdap, dan lidi masing-masing 3 buah. Banten ini merupakan perwujudan Sang Kala Sepetan, salah satu yang menerima persembahan Padengen –dengenan.
6.TEGEN-TEGENAN: cangkul, sebatang tebu, dan cabang pohon dapdap, pada salah satu sisinya diisi periuk berisi air, dan di sisi yang lainnya berisi periuk yang di dalamnya ada uangnya. Ini melambangkan bahwa sebagai laki-laki/suami harus bekerja keras, sehingga menjadi sumber penghidupan bagi anggota keluarga.
7.SOK PEDAGANGAN: sebuah bakul yang di dalamnya berisi, beras, kain, bumbu dapur, rempah-rempah, pohon kunir, pohon talas, dan andong. Ini melambangkan bahwa sebagai wanita/istri harus dapat mengatur rumah tangga sehingga terjalin keharmonisan.
8.PENEGTEGAN: Sebuah tempat yang berisi Keris lengkap dengan pakainnya, biasanya diletakkan di Sanggah Kemulan. Sebagai simbol bahwa sejak hari ini kedua mempelai memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan Merajan (simbol Purusa).
9.PAPEGATAN: dibuat dengan ranting pohon dapdap, yang dipasang agak berjauhan, dihubungkan dengan benang putih. Pejati 1, segehan putih kuning 1. Sebagai simbol dimulainya masa Grhastha (berumah tangga).
10.TATIMPUG: dibuat dari beberapa ruas bambu yang kedua ruasnya masih utuh. Bantennya soda. Dalam upacara nanti dibakar sehingga mengeluarkan suara. Sebagai tanda kesuksesan.
11.BANTEN PEJATI (JAUMAN): Pejati 1 set, ditambah dengan aneka kue pasar, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan seperadeg, (pakaian 1 stel). Dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan kepada orang tua mempelai wanita.
12.TUMPENG PITU: Peras tumpeng 2 sampyan pers. Pengambyan tumpeng 2 tulung pengambyan 2, katipat pengambyan 1 sampyan pengambyan. Dapetan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Ayunan tumpeng 1 sampyan jaet guak. Pengulap tumpeng 1 sampyan jaet guak. Sesayut Lembaran; nasi penek 1 sampyan nagasari. Nasi Pangkonan Putih Kuning sampyan nagasari. Katipat Sirikan sampyan nagasari. Soda; nasi penek 2 sampyan petangas. Pasucian, Penyeneng
http://dharmavada.wordpress.com/2009/11/26/upakara-vivaha-samskara-standar/
Saturday, June 26, 2010
MAKNA BANTEN PEJATI
BANTEN PEJATI
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)
I. Daksina
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos
II. Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)
III. Soda / Ajuman
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.
IV. Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan.
V. Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)
Mantra :
Om kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona. Om Shri ya namah swaha
VI. Pasucian
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur.
VII. Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.
Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala :
Peras : kepada Sanghyang Iswara
Daksina : kepada Sanghyang Brahma
Tipat : kepada Sanghyang Wisnu
Soda : kepada Sanghyang Mahadewa
VIII. Beberapa makna filosfis dalam pejati:
Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)
Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.
Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan
Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki
Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa
Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)
Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja
Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar
Daun plawa lambang kesejukan
Bunga lambang cetusan perasaan
Bija benih-benih kesucian
Air lambang pawitra / amertha
Api saksi dan pendetanya yajna
Tri kona : upti, sthiti, pralina
Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)
http://dharmavada.wordpress.com/2009/08/27/banten-pejati/
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)
I. Daksina
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos
II. Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)
III. Soda / Ajuman
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.
IV. Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan.
V. Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)
Mantra :
Om kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona. Om Shri ya namah swaha
VI. Pasucian
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur.
VII. Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.
Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala :
Peras : kepada Sanghyang Iswara
Daksina : kepada Sanghyang Brahma
Tipat : kepada Sanghyang Wisnu
Soda : kepada Sanghyang Mahadewa
VIII. Beberapa makna filosfis dalam pejati:
Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)
Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.
Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan
Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki
Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa
Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)
Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja
Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar
Daun plawa lambang kesejukan
Bunga lambang cetusan perasaan
Bija benih-benih kesucian
Air lambang pawitra / amertha
Api saksi dan pendetanya yajna
Tri kona : upti, sthiti, pralina
Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)
http://dharmavada.wordpress.com/2009/08/27/banten-pejati/
PELAKSANAAN YADNYA SESA
Om Swastyastu
Sebagai Umat Hindu Kita meyakinai bahwa: adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma. Ini mengandung makna yang sangat mulia bagi manusia. Hidup ini senantiasa memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang seimbang antara jasmani dengan rohani. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan karmanya guna membuahkan hasil atau pahala.
Demikian juga bahwa manusia untuk tetap menunaikan kewajibannya untuk melaksanakan yajnanya, baik yajna yang dilakukan setiap hari atau nitya karma maupun yajna yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Pelaksanaan yajna sesa merupakan jenis yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu sehari-hari atau Nitya Karma. Yajna sesa adalah persembahan yang tulus ikhlas dengan mempersembahkan makanan berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, garam, dan air, yang dilaksanakan setelah selesai memasak yang dipersembahkan pada tempat-tempat tertentu. Yajna sesa juga disebut Ngejot atau Banten Saiban. Perlu diingat bahwa pelaksanaan Yajna sesa/Ngejot/Saiban ini dilaksanakan setelah selesai memasak nasi dan belum makan yang dipersembahkan setiap hari.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat yajna sesa, sebagai berikut :
Daun pisang, yang dipotong segi empat agak kecil dan dibuat sedemikian rupa yang berbentuk tangkih atau taledan yang digunakan sebagai alasnya
Nasi, nasi ini sebagai persembahan pokok dari yajna sesa, apabila belum masak lauknya ataupun yang lainnya, biasanya dapat pula dengan suguhan nasi dan diisi sedikit garam. Ini mengandung makna bahwa nasi merupakan makanan pokok manusia yang bermula dari beras dan melalui proses memasak ini yang disertai dengan bantuan kekuatan Dewa Brahma dengan panasnya api, kekuatan Dewa Wisnu dengan air, dan kekuatan Dewa Siwa untuk “Nyupat” atau menyucikan beras sehingga bisa masak berubah menjadi nasi.
Garam, ini sebagai sarinya air laut yang terasa asin dan rasa asin ini sangat diperlukan bagi kebutuhan manusia serta makanan yang akan dimakan tidak terasa hambar. Makna terkandung di dalamnya adalah segala usaha maupun yajna supaya dapat dirasakan atau dapat dinikmati hasilnya, tanpa ada rasa maka sia-sia usaha itu. Lebih dari itu dengan “rasa” bahwa manusia sadar atau merasakan dirinya berutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Lauk-pauk, ini juga merupakan bahan untuk yajna sesa untuk melengkapi rasa yang terkandung dalam suguhan itu. Lauk pauk yang kita masak maka ini pun juga dipersembahkan sebagai yajna sesa. Apapun bahannya lauk-pauk itu perlu juga dipersembahkan, baik dari ikan, daging, buah-buahan atau biji-bijian.
Sayuran, inilah jenis makanan yang dibuat dari daun-daunan yang segar dan hijau yang juga dapat melengkapi persembahan yajna sesa.
Air juga sebagai sarana untuk melengkapi melaksanakan yajna sesa. Seperti halnya manusia jika habis makan perlu air untuk minum sebagai pengantar makanan dan sebagai tanda kepuasan. Dengan minum air kita merasa tenang dan sejuk serta pikiran tidak menjadi tegang, karena kekuatan Dewa Wisnu berfungsi untuk menenangkan dan menyejukan kehidupan umatnya.Demikian halnya juga dalam melaksanakan yajna sesa diakhiri dengan persembahan air sebagai bukti bahwa suguhan itu telah dilaksanakan.
Setelah persiapan untuk melaksanakannya telah dilengkapi sesuai dengan bahan-bahan tersebut di atas dan telah ditata sedemikian rupa (ditanding), maka suguhan itu siap untuk dipersembahkan.
Pelaksanaan Yajna Sesa atau Ngejot ini ditujukan kehadapan :
1) Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasinya (Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya) suguhan ditempatkan diatas atap rumah atau di atas tempat tidur pada pelangkiran yang telah disediakan.
2) Sang Hyang Brahma bertempat di tungku atau tempat memasak.
3) Sang Hyang Wisnu bertempat di tempat menyimpan air atau bisa juga disumur.
4) Sang Hyang Amerta atau Dewi Sri bertempat di penyimpanan beras atau nasi.
5) Sang Hyang Pertiwi bertempat di halaman rumah yang juga ditujukan kehadapan bhuta-bhuti.
6) Kehadapan Penunggun Karang bertempat di Tugu.
7) Kehadapan Bhatara-Bhatari dan roh suci leluhur bertempat di Merajan dan Sanggar yang lainnya.
8) Serta pada tempat-tempat yang lainnya yang dipandang perlu dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Hakikat pelaksanaan Yajna Sesa tersebut di atas dapat bermakna bahwa Hindu dimanapun berada senantiasa membiasakan diri untuk mendahulukan kepentingan umum atau para dharma dari pada kepentingan pribadi atau swadharma. Juga berarti untuk mendahulukan dharma bakti dan kewajiban daripada pamrih atau kehendak menurut hak untuk diri sendiri.
Om Santih Santih Santih Om
http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/pelaksanaan-yajna-sesa/
Sebagai Umat Hindu Kita meyakinai bahwa: adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma. Ini mengandung makna yang sangat mulia bagi manusia. Hidup ini senantiasa memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang seimbang antara jasmani dengan rohani. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan karmanya guna membuahkan hasil atau pahala.
Demikian juga bahwa manusia untuk tetap menunaikan kewajibannya untuk melaksanakan yajnanya, baik yajna yang dilakukan setiap hari atau nitya karma maupun yajna yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Pelaksanaan yajna sesa merupakan jenis yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu sehari-hari atau Nitya Karma. Yajna sesa adalah persembahan yang tulus ikhlas dengan mempersembahkan makanan berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, garam, dan air, yang dilaksanakan setelah selesai memasak yang dipersembahkan pada tempat-tempat tertentu. Yajna sesa juga disebut Ngejot atau Banten Saiban. Perlu diingat bahwa pelaksanaan Yajna sesa/Ngejot/Saiban ini dilaksanakan setelah selesai memasak nasi dan belum makan yang dipersembahkan setiap hari.
Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat yajna sesa, sebagai berikut :
Daun pisang, yang dipotong segi empat agak kecil dan dibuat sedemikian rupa yang berbentuk tangkih atau taledan yang digunakan sebagai alasnya
Nasi, nasi ini sebagai persembahan pokok dari yajna sesa, apabila belum masak lauknya ataupun yang lainnya, biasanya dapat pula dengan suguhan nasi dan diisi sedikit garam. Ini mengandung makna bahwa nasi merupakan makanan pokok manusia yang bermula dari beras dan melalui proses memasak ini yang disertai dengan bantuan kekuatan Dewa Brahma dengan panasnya api, kekuatan Dewa Wisnu dengan air, dan kekuatan Dewa Siwa untuk “Nyupat” atau menyucikan beras sehingga bisa masak berubah menjadi nasi.
Garam, ini sebagai sarinya air laut yang terasa asin dan rasa asin ini sangat diperlukan bagi kebutuhan manusia serta makanan yang akan dimakan tidak terasa hambar. Makna terkandung di dalamnya adalah segala usaha maupun yajna supaya dapat dirasakan atau dapat dinikmati hasilnya, tanpa ada rasa maka sia-sia usaha itu. Lebih dari itu dengan “rasa” bahwa manusia sadar atau merasakan dirinya berutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Lauk-pauk, ini juga merupakan bahan untuk yajna sesa untuk melengkapi rasa yang terkandung dalam suguhan itu. Lauk pauk yang kita masak maka ini pun juga dipersembahkan sebagai yajna sesa. Apapun bahannya lauk-pauk itu perlu juga dipersembahkan, baik dari ikan, daging, buah-buahan atau biji-bijian.
Sayuran, inilah jenis makanan yang dibuat dari daun-daunan yang segar dan hijau yang juga dapat melengkapi persembahan yajna sesa.
Air juga sebagai sarana untuk melengkapi melaksanakan yajna sesa. Seperti halnya manusia jika habis makan perlu air untuk minum sebagai pengantar makanan dan sebagai tanda kepuasan. Dengan minum air kita merasa tenang dan sejuk serta pikiran tidak menjadi tegang, karena kekuatan Dewa Wisnu berfungsi untuk menenangkan dan menyejukan kehidupan umatnya.Demikian halnya juga dalam melaksanakan yajna sesa diakhiri dengan persembahan air sebagai bukti bahwa suguhan itu telah dilaksanakan.
Setelah persiapan untuk melaksanakannya telah dilengkapi sesuai dengan bahan-bahan tersebut di atas dan telah ditata sedemikian rupa (ditanding), maka suguhan itu siap untuk dipersembahkan.
Pelaksanaan Yajna Sesa atau Ngejot ini ditujukan kehadapan :
1) Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasinya (Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Surya) suguhan ditempatkan diatas atap rumah atau di atas tempat tidur pada pelangkiran yang telah disediakan.
2) Sang Hyang Brahma bertempat di tungku atau tempat memasak.
3) Sang Hyang Wisnu bertempat di tempat menyimpan air atau bisa juga disumur.
4) Sang Hyang Amerta atau Dewi Sri bertempat di penyimpanan beras atau nasi.
5) Sang Hyang Pertiwi bertempat di halaman rumah yang juga ditujukan kehadapan bhuta-bhuti.
6) Kehadapan Penunggun Karang bertempat di Tugu.
7) Kehadapan Bhatara-Bhatari dan roh suci leluhur bertempat di Merajan dan Sanggar yang lainnya.
8) Serta pada tempat-tempat yang lainnya yang dipandang perlu dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Hakikat pelaksanaan Yajna Sesa tersebut di atas dapat bermakna bahwa Hindu dimanapun berada senantiasa membiasakan diri untuk mendahulukan kepentingan umum atau para dharma dari pada kepentingan pribadi atau swadharma. Juga berarti untuk mendahulukan dharma bakti dan kewajiban daripada pamrih atau kehendak menurut hak untuk diri sendiri.
Om Santih Santih Santih Om
http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/pelaksanaan-yajna-sesa/
MAKNA BANTEN JERIMPEN
Om Swastyastu
Setelah sempat tersendat membahas ttg makna upakara tiba saatnya utk dilanjutkan...semoga bermanfaat...!
Upakara ini memiliki juga tatanan tertentu dan memiliki ciri khas tertentu shg hampir semua umat Hindu(Bali) mengetahui bhw banten itu adalah jerimpen.
Jeripen berasal dari dua suku kata yaitu: jeri dan empen. Jeri berasal dari kata Jari dan empen dari kata Empu. Dari kata jari menjadi asta (Asta Aiswarya) yang diartikan delapan penjuru dunia, sedangkan empu berarti Sang Putus (Maha Suci), diilustrasikan sbg Sang Hyang Widhi, krn Sang Hyang Widhilah yg mengatur dan memutuskan sgl yg ada di alam semesta.
Dengan demikian banten jerimpen adalah merupakan simbol permohonan kehadapan Tuhan beserta manifestasiNya (Asta Aiswarya) agar Beliau memberikan keputusan berupa anugrah baik secara lahiriah maupun bathiniah. Oleh karena itu jerimpen selalu dibuat dua buah dan ditempatkan di sampng kanan dan kiri dari banten lainnya, memakai sampyan windha (jit kokokan), windha berasal dr kata windhu yg artinya suniya, dan suniya diartikan Sang Hyang Widhi. Dua buah jerimpen mengandung maksud dan makna sbg simbol lahiriah dan bathiniah.
Dalam penataannya jerimpen mengikuti konsep tatanan; kanistama, madyama dan uttama. Dalam tatanan upakara yang kanistama susunannya lebih sederhana dengan dialasi dulang kecil/sesenden dengan sampyan nagasari. Tapi dalam tatanan upakara madyama dan uttama biasanya bentuk banten jerimpen ini memakai keranjang jerimpen (badan) dan memakai sampyan windha (jit kokokan)
Om Santih Santih Santih Om
Kalanturang olih: Pekak Sukawati
Setelah sempat tersendat membahas ttg makna upakara tiba saatnya utk dilanjutkan...semoga bermanfaat...!
Upakara ini memiliki juga tatanan tertentu dan memiliki ciri khas tertentu shg hampir semua umat Hindu(Bali) mengetahui bhw banten itu adalah jerimpen.
Jeripen berasal dari dua suku kata yaitu: jeri dan empen. Jeri berasal dari kata Jari dan empen dari kata Empu. Dari kata jari menjadi asta (Asta Aiswarya) yang diartikan delapan penjuru dunia, sedangkan empu berarti Sang Putus (Maha Suci), diilustrasikan sbg Sang Hyang Widhi, krn Sang Hyang Widhilah yg mengatur dan memutuskan sgl yg ada di alam semesta.
Dengan demikian banten jerimpen adalah merupakan simbol permohonan kehadapan Tuhan beserta manifestasiNya (Asta Aiswarya) agar Beliau memberikan keputusan berupa anugrah baik secara lahiriah maupun bathiniah. Oleh karena itu jerimpen selalu dibuat dua buah dan ditempatkan di sampng kanan dan kiri dari banten lainnya, memakai sampyan windha (jit kokokan), windha berasal dr kata windhu yg artinya suniya, dan suniya diartikan Sang Hyang Widhi. Dua buah jerimpen mengandung maksud dan makna sbg simbol lahiriah dan bathiniah.
Dalam penataannya jerimpen mengikuti konsep tatanan; kanistama, madyama dan uttama. Dalam tatanan upakara yang kanistama susunannya lebih sederhana dengan dialasi dulang kecil/sesenden dengan sampyan nagasari. Tapi dalam tatanan upakara madyama dan uttama biasanya bentuk banten jerimpen ini memakai keranjang jerimpen (badan) dan memakai sampyan windha (jit kokokan)
Om Santih Santih Santih Om
Kalanturang olih: Pekak Sukawati
YAJNA SESA
Om Swastyastu
Melaksanakan persembahan atau yajna merupakan kewajiban serta tugas manusia untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas atau kewajiban dharma itu hendaknya dilandasi oleh adanya etika yang baik.
Melaksanakan persembahan tentunya agar menimbulkan kebaikan bersama. Sila atau perilaku manusia hendaknya perlu mendapat perhatian, agar tidak terlepas dari sila dan diusahakan untuk menuju kearah susila atau perilaku yang baik. Jangan sampai terjerumus pada perilaku yang asusila atau perbuatan yang tidak baik, seperti lalai melaksanakan yajna itu. Dalam berperilaku tentunya selalu dalam pengawasan akal sehat dan pikiran yang suci. Dalam beryajna wajib dilandasi oleh pikiran dan sanubari yang suci, diusahakan kekalutan itu dijauhkan dari diri manusia. Bilamana hatinya jernih, pikiran suci, wajahnya cerah tentu usahanya mencapai hasil. Sebagai kunci keberhasilan persembahan itu tentu kesuciannya yang turut memberikan makna yang penting. Untuk itu bagaimana bisa dikendalikan (tapa) yang mengarah pada ketidakbaikan tersebut. Segala hasil karya yang kita peroleh jika itu dharma landasannya, maka arta itu sangat utama nilainya. Namun perlu disadari bahwa yang kita nikmati dari hasil karya itu tidak hanya kita nikmati sendiri, atau kita tumpuk sampai melimpah ruah arta kekayaan itu, tentu tidak! Hasil jerih payah itu sebagian perlu disedekahkan atau berdana kepada siapa saja yang berhak menerimanya atau arta itu hendaknya dipersembahkan kehadapan Hyang Pencipta, kehadapan sesama, serta makhluk lainnya yang memiliki kehidupan di dunia ini.
Sebagai sedharma tentu kita ingat kewajiban untuk melaksanakan yajna itu. Dapat melakukan penghormatan terhadap orang suci agama itu pun juga yajna namanya. Melakukan yoga dan samadhi juga merupakan yajna, karena hal ini merupakan yajna, karena hal ini merupakan usaha konsentrasi diri atau memusatkan perhatian diri terhadap Hyang Maha Kuasa. Dengan demikian memang jenis yajna itu beragam pelaksanaannya, namun dengan keanekaragaman yajna itu tidak mengecilkan semangat dan gairah umat untuk melakukan persembahan, semoga tidak!
Dalam Kitab Suci Atharwa Weda XII, 1.1 dapat ditegaskan bahwa enam unsur yang merupakan kewajiban manusia dalam hidupnya. Adapun bunyi slokanya yakni :
“Satyam Brhad Rtham Ugram Diksa,
Tapo Brahma Yajna Prithiwim Dnarayanti”.
Yang artinya :
Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma, dan Yajna yang menyangga dunia.
Dari sloka di atas terdapat unsur yajna, karena hakikat yajna turut memberikan motivasi umat untuk menyelamatkan dunia ini. Sebagaimana diketahui bahwa yajna sebagai sarana untuk memuja dan menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasinya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian bahwa yajna merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus ikhlas tanpa adanya imbalan yang sangat diharap-harapkan.
Pada dasarnya yajna itu hendaknya dilaksanakan dengan hati yang tulus ikhlas. Demikian juga kita terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya hendaknya juga beryajna. Dengan adanya saling menghormati, saling menolong, saling memberikan, saling harga menghargai, hal itu merupakan juga suatu yajna yang konkret. Bilamana hal ini dapat dilakukan dengan penuh kesadaran yang tinggi tanpa adanya paksaan untuk beryajna. Timbul pertanyaan, mengapa manusia harus dapat menumbuhkan kesadaran sendiri? Kita sadari bahwa manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti hewan, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia selalu bersama-sama dengan yang lainnya. Melalui yajna manusia dapat menyatu dengan lingkungannya, baik pencipta-Nya, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Melalui pelaksanaan Yajna manusia ingin mencapai ketentraman hati, kenyamanan hidup, keharmonisan dengan sesama yang lainnya, dan ingin melepaskan segala duka dan lara serta terhindar dari dosa-dosa.
“Yajna sistasinah santo
mucuante sarwa kilbisaih,
bunjate te twagham papa
ye pacanty atma karanat”. (Bhagavadgita, III, 13).
Yang artinya :
Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tetapi Ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Menyimak makna sloka tersebut, maka jelas bagi kita betapa pentingnya beryajna itu. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini.
Mempersembahkan yajna berupa makanan itu disebut dengan Yajna Sesa.Dengan demikian bahwa makanan juga sebagai sarana untuk melaksanakan persembahan. Disini mengandung makna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan dan makanan itu sebagaimana kita ketahui merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Agar manusia memperoleh kehidupan dan penghidupan, maka sebaiknya terlebih dahulu perlu disuguhkan sebagai yajna sebelum dinikmatinya.
Apabila manusia dapat memakan sisi yajna akan terlepas dari segala dosa, ini berarti bahwa manusia harus ikhlas beryajna, manusia dapat mendahulukan kebutuhan yajna, dapat pula bermakna bahwa manusia selalu mengusahakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi., dapat menolong sesama dan menghargai yang lainnya. Menjamin kenyamanan dan keharmonisan pihak yang lain yang berarti pula menciptakan keharmonisan dan ketentraman diri sendiri. Jika manusia telah dapat mewujudkan harapan-harapan mulia tersebut berarti manusia telah berhasil melepaskan dan terhindar dari penderitaan dan malapetaka.
Selanjutnya mari kita renungkan makna sloka berikut ini :
“Istan bhogan hi vo deva
dasyante yajna bhavitah,
tair dattan apradayai ‘bhyo
yo bhunkte eva sah”, (Bhagavadgita, III,12).
Yang artinya :
Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri.
“Annad bhawanti bhutani
parjanyad annasambhawah,
yajnad bhawati parjanyo
yajnah karma samudbhawah”, (Bhagawadgita, III,14)
Yang artinya :
Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma.
Kedua sloka tersebut mengingatkan umat Hindu betapa pentingnya melaksanakan Yajna, termasuk juga melaksanakan yajna sesa dengan mempersembahkan terlebih dahulu makanan yang telah dimasaknya sebelum menikmatinya. Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yajna sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup di dunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri, hidup untuk menyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri. Tegakah kita sebagai sedharma dijuluki sebagai pencuri? Yang jelas tentu tidak. Dari renungan diatas tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryajna, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yajna sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yajna sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yajna sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menentramkan kehidupan makhluk yang lainnya.
Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Nasi diperolehnya berkat kerja keras petani untuk mengerjakan lahannya dengan penuh pengharapan supaya menghasilkan padi, selanjutnya padi diolah juga untuk menghasilkan beras, dan beras inilah kemudian dimasak untuk dijadikan nasi. Tidak cukup hanya itu, bahwa diperlukan juga bantuan yang lainnya dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan Panca maha Bhuta yakni adanya kekuatan tanah atau pertiwi, adanya kekuatan air atau apah adanya kekuatan panas/api atau teja, adanya kekuatan angin atau bayu, adanya kekuatan zat ether atau akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kamahakuasaan Hyang Widhi melalui manifestasinya yang disebut tri murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyumpatannya dan dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperoleh nasi itu. Proses ini merupakan suatu kerja sama manusia baik secara sekala maupun niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia ini menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu dipersembahkan kembali pada kekuatan alam yang lainnya melalui yajna sesa itu sendiri.
Sebagaimana ada yang ditegaskan dalam makna sloka di atas dimana adanya makanan ini karena adanya hujan. Ini dimaksudkan bahwa dalam mengolah makanan itu memerlukan adanya air, termasuk juga yang lainnya yang dapat dijadikan sumber kehidupan di dunia ini.
Dengan demikian bahwa yajna sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makanannya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan garam yang dialasi taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatinya. Persembahan yajna sesa ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting.
Tujuan Yajna Sesa
Sebagaimana halnya dalama pelaksanaan yajna-yajna yang lainnya, seperti : Dewa yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna, Bhuta Yajna, dan jenis yajna yang lainnya. Semua jenis yajna itu mengandung makna dan memiliki tujuan yang sangat mulia dan spiritual sesuai dengan jenis dan tingkatan yajna yang dilaksanakannya. Namun yang jelas bahwa yajna itu sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya agar senantiasa dianugerahi kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal dan abadi di dunia ini maupun di akhirat atau moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Hidup ini bukan hanya untuk diabdikan pada kepentingan jasmani melulu, namun perlu juga dipenuhi kebutuhan rohani. Hidup ini juga bukan hanya untuk mengumpulkan materi atau harta kekayaan yang melimpah ruah tanpa adanya tuntutan spiritual serta pembinaan mental yang berkesinambungan.
Demikian pula halnya bahwa makanan ini tidak hanya untuk dapat mengenyangkan perut saja, bukan pula untuk memuaskan kebutuhan pangan melulu. Hidup ini bukan hanya untuk makan dan selalu bermewah-mewah tanpa ada rasa kepedulian terhadap yang lainnya. Yang terpenting bahwa sesungguhnya makanan itu kita nikmati setelah terlebih dahulu dipersembahkan sebagai yajna dan sisa yajna inilah sebagai wujud anugerah Tuhan untuk dinikmati yang tidak mengurangi kadar gizi dan kesehatannya.
Secara sederhana dikemukakan di sini tujuan melaksanakan Yajna sesa bagi umat Hindu, antara lain :
Sebagai persembahan yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya yang telah memberikan anugerahnya.
Sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang setulus-tulusnya ke hadapan Hyang Widhi yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi.
Untuk mengharmoniskan dan menyelaraskan antara adanya kebutuhan jasmani yang berupa makanan dengan kebutuhan rohani melalui pelaksanaan yajna sesa.
Sebagai sarana persembahan dan penghormatan terhadap makhluk hidup yang lainnya yang juga merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa.
Untuk memupuk rasa kedisiplinan dan toleransi sesama serta dapat mengutamakan kepentingan pribadi atau dirinya sendiri.
Demikianlah beberapa tujuan pelaksanaan yajna sesa yang dilaksanakan setiap hari (Nitya Karma) guna terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini.
Om Santih Snatih Santih Om
By: I Wayan Sudarma
http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/yajna-sesa/#more-411
Melaksanakan persembahan atau yajna merupakan kewajiban serta tugas manusia untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas atau kewajiban dharma itu hendaknya dilandasi oleh adanya etika yang baik.
Melaksanakan persembahan tentunya agar menimbulkan kebaikan bersama. Sila atau perilaku manusia hendaknya perlu mendapat perhatian, agar tidak terlepas dari sila dan diusahakan untuk menuju kearah susila atau perilaku yang baik. Jangan sampai terjerumus pada perilaku yang asusila atau perbuatan yang tidak baik, seperti lalai melaksanakan yajna itu. Dalam berperilaku tentunya selalu dalam pengawasan akal sehat dan pikiran yang suci. Dalam beryajna wajib dilandasi oleh pikiran dan sanubari yang suci, diusahakan kekalutan itu dijauhkan dari diri manusia. Bilamana hatinya jernih, pikiran suci, wajahnya cerah tentu usahanya mencapai hasil. Sebagai kunci keberhasilan persembahan itu tentu kesuciannya yang turut memberikan makna yang penting. Untuk itu bagaimana bisa dikendalikan (tapa) yang mengarah pada ketidakbaikan tersebut. Segala hasil karya yang kita peroleh jika itu dharma landasannya, maka arta itu sangat utama nilainya. Namun perlu disadari bahwa yang kita nikmati dari hasil karya itu tidak hanya kita nikmati sendiri, atau kita tumpuk sampai melimpah ruah arta kekayaan itu, tentu tidak! Hasil jerih payah itu sebagian perlu disedekahkan atau berdana kepada siapa saja yang berhak menerimanya atau arta itu hendaknya dipersembahkan kehadapan Hyang Pencipta, kehadapan sesama, serta makhluk lainnya yang memiliki kehidupan di dunia ini.
Sebagai sedharma tentu kita ingat kewajiban untuk melaksanakan yajna itu. Dapat melakukan penghormatan terhadap orang suci agama itu pun juga yajna namanya. Melakukan yoga dan samadhi juga merupakan yajna, karena hal ini merupakan yajna, karena hal ini merupakan usaha konsentrasi diri atau memusatkan perhatian diri terhadap Hyang Maha Kuasa. Dengan demikian memang jenis yajna itu beragam pelaksanaannya, namun dengan keanekaragaman yajna itu tidak mengecilkan semangat dan gairah umat untuk melakukan persembahan, semoga tidak!
Dalam Kitab Suci Atharwa Weda XII, 1.1 dapat ditegaskan bahwa enam unsur yang merupakan kewajiban manusia dalam hidupnya. Adapun bunyi slokanya yakni :
“Satyam Brhad Rtham Ugram Diksa,
Tapo Brahma Yajna Prithiwim Dnarayanti”.
Yang artinya :
Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma, dan Yajna yang menyangga dunia.
Dari sloka di atas terdapat unsur yajna, karena hakikat yajna turut memberikan motivasi umat untuk menyelamatkan dunia ini. Sebagaimana diketahui bahwa yajna sebagai sarana untuk memuja dan menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasinya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian bahwa yajna merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus ikhlas tanpa adanya imbalan yang sangat diharap-harapkan.
Pada dasarnya yajna itu hendaknya dilaksanakan dengan hati yang tulus ikhlas. Demikian juga kita terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya hendaknya juga beryajna. Dengan adanya saling menghormati, saling menolong, saling memberikan, saling harga menghargai, hal itu merupakan juga suatu yajna yang konkret. Bilamana hal ini dapat dilakukan dengan penuh kesadaran yang tinggi tanpa adanya paksaan untuk beryajna. Timbul pertanyaan, mengapa manusia harus dapat menumbuhkan kesadaran sendiri? Kita sadari bahwa manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti hewan, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia selalu bersama-sama dengan yang lainnya. Melalui yajna manusia dapat menyatu dengan lingkungannya, baik pencipta-Nya, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Melalui pelaksanaan Yajna manusia ingin mencapai ketentraman hati, kenyamanan hidup, keharmonisan dengan sesama yang lainnya, dan ingin melepaskan segala duka dan lara serta terhindar dari dosa-dosa.
“Yajna sistasinah santo
mucuante sarwa kilbisaih,
bunjate te twagham papa
ye pacanty atma karanat”. (Bhagavadgita, III, 13).
Yang artinya :
Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tetapi Ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Menyimak makna sloka tersebut, maka jelas bagi kita betapa pentingnya beryajna itu. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini.
Mempersembahkan yajna berupa makanan itu disebut dengan Yajna Sesa.Dengan demikian bahwa makanan juga sebagai sarana untuk melaksanakan persembahan. Disini mengandung makna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan dan makanan itu sebagaimana kita ketahui merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Agar manusia memperoleh kehidupan dan penghidupan, maka sebaiknya terlebih dahulu perlu disuguhkan sebagai yajna sebelum dinikmatinya.
Apabila manusia dapat memakan sisi yajna akan terlepas dari segala dosa, ini berarti bahwa manusia harus ikhlas beryajna, manusia dapat mendahulukan kebutuhan yajna, dapat pula bermakna bahwa manusia selalu mengusahakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi., dapat menolong sesama dan menghargai yang lainnya. Menjamin kenyamanan dan keharmonisan pihak yang lain yang berarti pula menciptakan keharmonisan dan ketentraman diri sendiri. Jika manusia telah dapat mewujudkan harapan-harapan mulia tersebut berarti manusia telah berhasil melepaskan dan terhindar dari penderitaan dan malapetaka.
Selanjutnya mari kita renungkan makna sloka berikut ini :
“Istan bhogan hi vo deva
dasyante yajna bhavitah,
tair dattan apradayai ‘bhyo
yo bhunkte eva sah”, (Bhagavadgita, III,12).
Yang artinya :
Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Dewa-Dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri.
“Annad bhawanti bhutani
parjanyad annasambhawah,
yajnad bhawati parjanyo
yajnah karma samudbhawah”, (Bhagawadgita, III,14)
Yang artinya :
Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma.
Kedua sloka tersebut mengingatkan umat Hindu betapa pentingnya melaksanakan Yajna, termasuk juga melaksanakan yajna sesa dengan mempersembahkan terlebih dahulu makanan yang telah dimasaknya sebelum menikmatinya. Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yajna sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup di dunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri, hidup untuk menyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri. Tegakah kita sebagai sedharma dijuluki sebagai pencuri? Yang jelas tentu tidak. Dari renungan diatas tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryajna, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yajna sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yajna sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yajna sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menentramkan kehidupan makhluk yang lainnya.
Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Nasi diperolehnya berkat kerja keras petani untuk mengerjakan lahannya dengan penuh pengharapan supaya menghasilkan padi, selanjutnya padi diolah juga untuk menghasilkan beras, dan beras inilah kemudian dimasak untuk dijadikan nasi. Tidak cukup hanya itu, bahwa diperlukan juga bantuan yang lainnya dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan Panca maha Bhuta yakni adanya kekuatan tanah atau pertiwi, adanya kekuatan air atau apah adanya kekuatan panas/api atau teja, adanya kekuatan angin atau bayu, adanya kekuatan zat ether atau akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kamahakuasaan Hyang Widhi melalui manifestasinya yang disebut tri murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyumpatannya dan dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperoleh nasi itu. Proses ini merupakan suatu kerja sama manusia baik secara sekala maupun niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia ini menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu dipersembahkan kembali pada kekuatan alam yang lainnya melalui yajna sesa itu sendiri.
Sebagaimana ada yang ditegaskan dalam makna sloka di atas dimana adanya makanan ini karena adanya hujan. Ini dimaksudkan bahwa dalam mengolah makanan itu memerlukan adanya air, termasuk juga yang lainnya yang dapat dijadikan sumber kehidupan di dunia ini.
Dengan demikian bahwa yajna sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makanannya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan garam yang dialasi taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatinya. Persembahan yajna sesa ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting.
Tujuan Yajna Sesa
Sebagaimana halnya dalama pelaksanaan yajna-yajna yang lainnya, seperti : Dewa yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna, Bhuta Yajna, dan jenis yajna yang lainnya. Semua jenis yajna itu mengandung makna dan memiliki tujuan yang sangat mulia dan spiritual sesuai dengan jenis dan tingkatan yajna yang dilaksanakannya. Namun yang jelas bahwa yajna itu sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya agar senantiasa dianugerahi kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal dan abadi di dunia ini maupun di akhirat atau moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Hidup ini bukan hanya untuk diabdikan pada kepentingan jasmani melulu, namun perlu juga dipenuhi kebutuhan rohani. Hidup ini juga bukan hanya untuk mengumpulkan materi atau harta kekayaan yang melimpah ruah tanpa adanya tuntutan spiritual serta pembinaan mental yang berkesinambungan.
Demikian pula halnya bahwa makanan ini tidak hanya untuk dapat mengenyangkan perut saja, bukan pula untuk memuaskan kebutuhan pangan melulu. Hidup ini bukan hanya untuk makan dan selalu bermewah-mewah tanpa ada rasa kepedulian terhadap yang lainnya. Yang terpenting bahwa sesungguhnya makanan itu kita nikmati setelah terlebih dahulu dipersembahkan sebagai yajna dan sisa yajna inilah sebagai wujud anugerah Tuhan untuk dinikmati yang tidak mengurangi kadar gizi dan kesehatannya.
Secara sederhana dikemukakan di sini tujuan melaksanakan Yajna sesa bagi umat Hindu, antara lain :
Sebagai persembahan yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya yang telah memberikan anugerahnya.
Sebagai wujud rasa bakti dan terima kasih yang setulus-tulusnya ke hadapan Hyang Widhi yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi.
Untuk mengharmoniskan dan menyelaraskan antara adanya kebutuhan jasmani yang berupa makanan dengan kebutuhan rohani melalui pelaksanaan yajna sesa.
Sebagai sarana persembahan dan penghormatan terhadap makhluk hidup yang lainnya yang juga merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa.
Untuk memupuk rasa kedisiplinan dan toleransi sesama serta dapat mengutamakan kepentingan pribadi atau dirinya sendiri.
Demikianlah beberapa tujuan pelaksanaan yajna sesa yang dilaksanakan setiap hari (Nitya Karma) guna terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini.
Om Santih Snatih Santih Om
By: I Wayan Sudarma
http://dharmavada.wordpress.com/2010/06/01/yajna-sesa/#more-411
Saturday, June 19, 2010
Menjaga Citra Agama Hindu
KITAB Catur Veda adalah kitab sucinya Agama Hindu. Veda itu adalah sabda Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam kitab Atharva Weda X.7.20. Dalam Mantra Atharvaveda tersebut dinyatakan bahwa Rgveda dan Yajurveda adalah sabda Tuhan, SamaVeda adalah rambutnya sedangkan Atharvaveda adalah mulutNya. Mantran Atharwa Weda ini menyatakan bahwa Veda kitab suci Agama Hindu itu adalah benar-benar Sabda Tuhan. Weda itu bukan buatan manusia. Dalam kitab Yajur Weda XXXI.7 ditegaskan pula bahwa umat manusia mempersembahkan yadnya kepada Tuhan Yang Mahaesa dan Tuhan Yang Mahesa mensabdakan Rgveda, Samaveda dan juga muncul Yajurveda dan Atharvaveda. Veda sebagai Sabda Tuhan juga dinyatakan dalam kitab Bhagwad Gita dan Manawa Dharmasastra.
=== Oleh I Ketut Wiana ===
Di dalam kitab Bhagawad Gita XV.15 disebutkan bahwa: Tuhan bersemayam dalam hati semua makhluk. Dari Tuhanlah timbulnya ingatan dan pengetahuan, Tuhan dapat dipahami melalui empat kitab suci Veda. Tuhanlah sebenarnya pencipta Veda dan Tuhan juga yang paling tahu dengan Veda dan Vedanta. Demikian juga dalam kitab Manawa Dharmasastra I.23 juga disebutkan bahwa kitab suci Veda itu disabdakan oleh Tuhan. Jadi umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu adalah Sabda Tuhan bukanlah karena suatu pernyataan manusia, namun Tuhanlah yang mensabdakan sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci Veda itu. Sedangkan dalam kitab Sastra juga para Resi menegaskan kembali bahwa Veda itu adalah ciptaan Tuhan. Jadinya umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu Sabda Tuhan bukanlah membuat-buat. Namun ada fakta dalam kitab sucinya. Sesungguhnya kalau kita memahami moral dan etik pergaulan antara pemeluk Agama yang berbeda-beda sangat tidak dibenarkanlah menilai Agama orang lain yang tidak dianut.
Untuk menjaga citra Agama Hindu seyogianya umat Hindu sendirilah yang pertama-tama mewacanakan pernyataan Veda yang menyatakan bahwa Veda itu adalah sabda Tuhan. Demikian juga dengan tegas menyatakan bahwa tradisi yang bertentangan dengan sabda Tuhan itu harus ditingkatkan. Tradisi berjudi di Pura saat ada upacara. Minum-minuman keras saat ada upacara Yadnya harus dengan tegas ditingkatkan dalam rangka menjaga citra Agama Hindu. Demikian juga adanya beberapa tradisi yang bertentangan dengan kitab suci harus dengan tegas ditingkatkan demi citra Agama Hindu itu sendiri. Demikian juga umat Hindu terutama para pemimpinnya yang berada di berbagai lembaga keumatan hendaknya proaktif mensosialisasikan keberbagai lembaga pemerintahan dan juga non-pemerintahan untuk menyatakan bahwa kitab suci Veda itu adalah sabda Tuhan. Bila perlu melakukan langkah-langkah hukum, kalau ada yang dengan sengaja memojokan Agama Hindu sebagai Agama yang bukan sabda Tuhan. Istilah Agama langit dan Agama bumi harus dihilangkan di bumi NKRI ini. Hal itu akan menjadi pemicu ketidak rukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini akan merusak citra kehidupan beragama di Indonesia.
Disamping itu ajaran kitab Suci Veda sabda Tuhan itu harus terus menerus dijadikan landasan membina kehidupan individual maupun kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Pengamalan Agama Hindu harus dapat dibuktikan ada perbaikan kwalitas hidup individu maupun kwalitas kehidupan sosial yang semakin meningkat. Citra Agama Hindu akan terus meningkat baik bagi penganutnya maupun bagi orang lain apa bila umat Hindu berhasil menjadikan Agama Hindu itu untuk meningkatkan kwalitas kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya.
Secara individual penerapan Agama Hindu seyogianya dapat membangun individu yang berkwalitas. Penerapan Agama Hindu harus dapat membangun individu yang semakin sehat secara fisik, tenang secara rokhani. Fisik yang sehat dan rokhani yang tenang dapat didayagunakan untuk mengeksistensikan profesi. Kalau penerapan beragama Hindu itu menjadi sejumlah kewajiban yang menimbulkan beban hidup yang dirasakan memberatkan, itu berarti cara pemahaman Agama yang keliru. Bukan kesalahan pada ajaran Agama sabda suci Tuhan tersebut. Dalam ajaran Agama Hindu memang ada kewajiban-kewajiban yang seyogianya dilakukan oleh seorang penganut Agama Hindu. Tetapi kewajiban-kewajiban tersebut kalau tepat caranya memahami dan melakukan justru akan dirasakan sebagai suatu yang indah dalam hidup ini. Kalau setiap umat yang melakukan ajaran Agama Hindu itu merasakan manfaatnya, maka hal ini akan menumbuhkan citra positif pada kehidupan beragama. Untuk menjaga citra positif pada Agama Hindu tersebut, pahamilah ajaran Agama Hindu tersebut secara baik dan benar. Terapkanlah ajaran Agama Hindu tersebut secara tepat dalam kehidupan individu. Demikianlah juga dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Penerapan ajaran Agama Hindu dalam kehidupan bersama seyogyanya mampu membangun kebersamaan yang berkwalitas. Kebersamaan yang berkwalitas itu adalah kebersamaan dinamis, harmonis dan produktif dalam artian yang luas. Tidak saja menumbuhkan nilai-nilai material, tetapi juga nilai-nilai sosial religius secara seimbang. Kebersamaan yang dinamis, harmonis dan produktif itu akan dapat terwujud apa bila dalam kebersamaan itu ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Tidak mungkin suatu kebersamaan itu langgeng kalau tidak ada kesetaraan. Seperti adanya sekelompok orang diistimewakan hanya berdasarkan keturunan atau wangsa. Apa lagi dalam kebersamaan itu satu dengan yang lainnya tidak merasa bersaudara dan juga tidak bersahabat. Ditambah lagi tidak adanya kemerdekaan untuk mengembangkan diri masing-masing sesuai dengan swaguna dan swadharmanya. Kebersamaan yang demikian itu membuat masyarakat bersatu dengan sangat rapuh. Mudah goyah dan mudah dipicu konflik. Karena itu penerapan ajaran Agama Hindu tersebut hendaknya diupayakan benar agar dapat membina kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Kalau tiga hal itu tidak diwujudkan dalam kehidupan bersama, maka kebersamaan itu dapat merusak citra kehidupan beragama Hindu. Karena itu jadikan ajaran Agama Hindu tersebut membangun kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=71
=== Oleh I Ketut Wiana ===
Di dalam kitab Bhagawad Gita XV.15 disebutkan bahwa: Tuhan bersemayam dalam hati semua makhluk. Dari Tuhanlah timbulnya ingatan dan pengetahuan, Tuhan dapat dipahami melalui empat kitab suci Veda. Tuhanlah sebenarnya pencipta Veda dan Tuhan juga yang paling tahu dengan Veda dan Vedanta. Demikian juga dalam kitab Manawa Dharmasastra I.23 juga disebutkan bahwa kitab suci Veda itu disabdakan oleh Tuhan. Jadi umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu adalah Sabda Tuhan bukanlah karena suatu pernyataan manusia, namun Tuhanlah yang mensabdakan sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci Veda itu. Sedangkan dalam kitab Sastra juga para Resi menegaskan kembali bahwa Veda itu adalah ciptaan Tuhan. Jadinya umat Hindu menyatakan kitab suci Veda itu Sabda Tuhan bukanlah membuat-buat. Namun ada fakta dalam kitab sucinya. Sesungguhnya kalau kita memahami moral dan etik pergaulan antara pemeluk Agama yang berbeda-beda sangat tidak dibenarkanlah menilai Agama orang lain yang tidak dianut.
Untuk menjaga citra Agama Hindu seyogianya umat Hindu sendirilah yang pertama-tama mewacanakan pernyataan Veda yang menyatakan bahwa Veda itu adalah sabda Tuhan. Demikian juga dengan tegas menyatakan bahwa tradisi yang bertentangan dengan sabda Tuhan itu harus ditingkatkan. Tradisi berjudi di Pura saat ada upacara. Minum-minuman keras saat ada upacara Yadnya harus dengan tegas ditingkatkan dalam rangka menjaga citra Agama Hindu. Demikian juga adanya beberapa tradisi yang bertentangan dengan kitab suci harus dengan tegas ditingkatkan demi citra Agama Hindu itu sendiri. Demikian juga umat Hindu terutama para pemimpinnya yang berada di berbagai lembaga keumatan hendaknya proaktif mensosialisasikan keberbagai lembaga pemerintahan dan juga non-pemerintahan untuk menyatakan bahwa kitab suci Veda itu adalah sabda Tuhan. Bila perlu melakukan langkah-langkah hukum, kalau ada yang dengan sengaja memojokan Agama Hindu sebagai Agama yang bukan sabda Tuhan. Istilah Agama langit dan Agama bumi harus dihilangkan di bumi NKRI ini. Hal itu akan menjadi pemicu ketidak rukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini akan merusak citra kehidupan beragama di Indonesia.
Disamping itu ajaran kitab Suci Veda sabda Tuhan itu harus terus menerus dijadikan landasan membina kehidupan individual maupun kehidupan sosial dalam suatu masyarakat. Pengamalan Agama Hindu harus dapat dibuktikan ada perbaikan kwalitas hidup individu maupun kwalitas kehidupan sosial yang semakin meningkat. Citra Agama Hindu akan terus meningkat baik bagi penganutnya maupun bagi orang lain apa bila umat Hindu berhasil menjadikan Agama Hindu itu untuk meningkatkan kwalitas kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya.
Secara individual penerapan Agama Hindu seyogianya dapat membangun individu yang berkwalitas. Penerapan Agama Hindu harus dapat membangun individu yang semakin sehat secara fisik, tenang secara rokhani. Fisik yang sehat dan rokhani yang tenang dapat didayagunakan untuk mengeksistensikan profesi. Kalau penerapan beragama Hindu itu menjadi sejumlah kewajiban yang menimbulkan beban hidup yang dirasakan memberatkan, itu berarti cara pemahaman Agama yang keliru. Bukan kesalahan pada ajaran Agama sabda suci Tuhan tersebut. Dalam ajaran Agama Hindu memang ada kewajiban-kewajiban yang seyogianya dilakukan oleh seorang penganut Agama Hindu. Tetapi kewajiban-kewajiban tersebut kalau tepat caranya memahami dan melakukan justru akan dirasakan sebagai suatu yang indah dalam hidup ini. Kalau setiap umat yang melakukan ajaran Agama Hindu itu merasakan manfaatnya, maka hal ini akan menumbuhkan citra positif pada kehidupan beragama. Untuk menjaga citra positif pada Agama Hindu tersebut, pahamilah ajaran Agama Hindu tersebut secara baik dan benar. Terapkanlah ajaran Agama Hindu tersebut secara tepat dalam kehidupan individu. Demikianlah juga dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Penerapan ajaran Agama Hindu dalam kehidupan bersama seyogyanya mampu membangun kebersamaan yang berkwalitas. Kebersamaan yang berkwalitas itu adalah kebersamaan dinamis, harmonis dan produktif dalam artian yang luas. Tidak saja menumbuhkan nilai-nilai material, tetapi juga nilai-nilai sosial religius secara seimbang. Kebersamaan yang dinamis, harmonis dan produktif itu akan dapat terwujud apa bila dalam kebersamaan itu ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Tidak mungkin suatu kebersamaan itu langgeng kalau tidak ada kesetaraan. Seperti adanya sekelompok orang diistimewakan hanya berdasarkan keturunan atau wangsa. Apa lagi dalam kebersamaan itu satu dengan yang lainnya tidak merasa bersaudara dan juga tidak bersahabat. Ditambah lagi tidak adanya kemerdekaan untuk mengembangkan diri masing-masing sesuai dengan swaguna dan swadharmanya. Kebersamaan yang demikian itu membuat masyarakat bersatu dengan sangat rapuh. Mudah goyah dan mudah dipicu konflik. Karena itu penerapan ajaran Agama Hindu tersebut hendaknya diupayakan benar agar dapat membina kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan. Kalau tiga hal itu tidak diwujudkan dalam kehidupan bersama, maka kebersamaan itu dapat merusak citra kehidupan beragama Hindu. Karena itu jadikan ajaran Agama Hindu tersebut membangun kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=71
Subscribe to:
Posts (Atom)