Pages

Bali Google Search

Custom Search

Tuesday, December 22, 2009

UPACARA BAYI BARU LAHIR

Tata pelaksanaan upacara anak yang baru lahir memiliki beberapa tatanan dalam pelaksanaannya yaitu :

A.TATA CARA MENANAM ARI-ARI

Persiapan sebelum memulai menanam ari-ari
1.Air kumkuman secukupnya
2.Boreh gading ( dibuat dari beras dan bangle )
3.Kelapa yang telah terkupas kulit luarnya dan dibelah dua, dan ditulis dengan rerajahan, bagian atas atu penutup dengan “ Ongkara “ dan bagian bawah dirajah dengan tulisan “ Ongkara, Angkara, dan Ahkara “.
4.Serabut ijuk
5.Daun lontar ditulis aksara dasa bayu dengan huruf Bali atau huruf latin dengan tulisan “ Om, i, a, ka, sa, ma, ra, la, wa, ya, ung “.
6.Sebuah ngad dengan panjang 5 cm
7.Batu bulitan atau batu hitam dengan diameter 15 – 20 cm
8.Pohon pandan
9.Batang pohon kanta wali
10.Sanggah tutuan beratap ijuk atau kelopak bambu
11.Air bersih
12.Sebuah kwangen berisi uang bolong 11 kepeng
13.Duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian

Cara menanam ari-ari
1.Nyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra :
“ Om ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna yenamah suaha”.
Ucapan :
Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu yenamah suaha.
2.Setelah mengucapkan mantra diatas barulah membuat lubang, selanjutnya ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih, sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya di masukkan kelubang tersebut.
3.Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan disi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara dasa bayu, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul diatasnya, dan dipasangkan kwangen diatasnya.
4.Masukkan ari-ari kedalam lubang atau bangbang dengan muka kwangen kearah halaman rumah. Sambil meletakkan didalam lubang ucapkan mantra dalam hati :
“ Om presadha stiti sarisa sudha yenamah. “
Ucapan :
Ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amrtasanjiwani, amrtani ikang sarwa tumuwuh ………( nama bayi ) moga moga dirgahayusa. Poma poma poma.
Tata letak pembuatan lubang memiliki etika yang berbeda antara bayi wanita dengan bayi laki-laki. Kalau bayi laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita menghadap ke halaman rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri.
5.Setelah ditanam diatasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan.
6.Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.
7.Dibagian hulu dari ari-ari ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
8.Suguhkan segehan manca warna pada ari-ari sebanyak lima tanding antara lain :
a.Segehan putih satu tanding menghadap ke timur
b.Segehan abang satu tanding menghadap ke selatan
c.Segehan kuning satu tanding menghadap ke barat
d.Segehan ireng satu tanding menghadap ke utara
e.Segehan brumbun satu danding ditengah-tengah menghadap ke timur.
Ucapan :
Sa, ba, ta, a, i, panca butha yenamah suaha, Ndah ta kita Sang Anta Preta, metu saking wetan, Sang Kala metu saking kidul, Sang Bhuta metu saking kulon, Sang Dengen metu saking lor, muah Sang Angga Sakti metu saking madia, mari sira mona mekabehan, ingsun paweh sira tadah saji ganjaran, pilih kabelanira suang-suang, iki tadah sajinira, ngerararis amuktisari, wus amukti sari ingsun aminta kesidianta, tunggunan di jabang bayi sekala niskala, menadi urup waras dirgayusa, Ang Ah mertha bhuta yenamah suaha.
Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak
Selanjutnya setiap hari diatas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam diatas daun dapdap dengan lauk garam dan arang kemudian disiram dengan air selam 42 hari
9.Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan ucapan :
“ Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang…Ah amertha snjiwa ye namah suaha.”
10.Menghaturkan soda pada pelinggih kemulan, dengan tujuan memohon tirtha pasucian kehadapan Hyang Guru dengan mantra :
“ Om guru rupam sadadnyanam, guru pantharanam dewam, guru nama japet sadha, nasti-nasti, dine-dine, Om gung guru paduke byonamah suaha.”
Ucapan “
“ Om pakulun paduka Bhatara Hyang Guru mami angaturaken tadah saji pawitra, aminta nugraha Bhatara tirtha pengelukatan pebersihan, nggenlumulangaken keletehan sariran ipun dijabang bayi, kelukat, kelebur de paduka Bhatara matemahan sarira sudha nirmala yenamah, Om sidhi rastu yenamah suaha. “
11.Tirtha pasucian dipercikkan ketempat sanggah tutuan dan tempat ari-ari, banten buwu, serta dapetan. Selanjutnya bayi dan ibunya diperciki tirtha buwu dan ayabang banten dapetan.

B.MAKNA DAN TUJUAN
Maknan dan tujuan yang terkandung pada upacara saat bayi baru lahir yaitu :
1.Ari-ari
Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang merupakan personifikasi dari Sang Catur Sanak, yaitu :
a.Sang Anta Preta
Sang anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia.
b.Sang Kala
Sang Kala merupakan sebutan darah yg keluar pada saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu
c.Sang Bhuta
Sang Bhuta merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelican saat bayi lahir.
d.Sang Dengen
Sang Dengen adalah sebutan untuk ari-ari atau placenta yang ikut lahir. Karena ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan , sebab ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari Ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si Ibu
2.Batu hitam atau batu bulitan
Batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.
3.Pohon Pandan
Pohon pandan diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.
4.Lampu Bali
Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karan itu lampu tersebut ditatabkan atu ayab. Mantra : “ Om Ang Ah Surya Candra Gumelar Yenamah swaha. “
5.Sangkar Ayam
Sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala ( batas pandang alam semesta ). Bahwa catur sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi
6.Batang Rumput kanta Wali
Sebagia lambang atau niyasa kekuatan asuri sampad, yang merupakan manefistasi Sang Catur Sanak yang disebut malipa malipi, dan sebagai kekuatan pelindung bayi. Apabil sudah masanya bayi akan dipisah menyusui maka batang itulah dipotong getahnya diteteskan pada susu si Ibu.
7.Sanggah Tutuan
Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi
8.Banten Bhuwu
Merupakan banten penyucian terhadap bayi dan ibunya serta lingkungan agar suci dari kecuntakaan atau sebel pada tahap permulaan
9.Banten Dapetan
Mengandung makna dan tujuan sebagai penyapa kehadapan roh suci yang baru reinkarnasi menjadi bayi.

C.UPAKARA
1.Merajaan
Daksina, peras, soda, ketipat kelanan atau banten soda.
2.Ayaban untuk Ibu dan bayi
Banten dapetan asoroh
Banten ajuman putih kuning
3.Upakara penyucian
Banten bhuwu asoroh
4.Upakara di sanggah tutuan
Soda putih kuning
Canang burat wangi
Cangang lenga wangi
5.Untuk di ari-ari
Segehan manca warna asoroh

Monday, December 7, 2009

PENJAGAL HEWAN JADI PEMANGKU

Pamangku Juru Jagal?
Mungkin timbul pertanyaan demikin dibenak kita, berikut penuturan Bapak Nyoman Rame Jl. Raya Besakih Klungkung.
Sejak tamat SMA tahun 1985 saya bekerja di rumah pemotongan hewan Sanggaran, Denpasar Selatan. Kasarnya, saya tukang jagal. Tapi, saya dibuat pangling, karena sebulan lalu dalam sebuah acara nyanjan , saya ditunjuk jadi pamangku pura dadia , apa boleh buat saya nyaris pingsan dibuatnya. Memang bukan keluarga besar yang menunjuk, tapi saya tidak bisa mengelak.
Lewat Jero Tapakan yang didatangkan dalam prosesi nyanjan itu saya nyaris bertengkar. Kenapa saya yang tukang jagal dipilih jadi pamangku, kenapa tidak keluarga saya yang lain, yang lebih bersih, tekun, dan rajin belajar agama?
Aduh, sekarang saya jadi bingung, roh leluhur saya “mengancam” hendak mengambil nyawa saya jika tidak ngiring . Di sisi lain saya dihantui pekerjaan sebagai tukang sembelih hewan, ya karena memang dari sana saya memperoleh kehidupan. Saya sadar, pekerjaan tukang jagal terang teramat hina. Jikapun saya mau jadi pamangku, apakah pekerjaan ini harus saya tinggalkan?
Lalu, di mana saya mencari penghidupan, sementara jadi pamangku membatasi gerak aktivitas saya. Bayangkan: jagal jadi pamangku. Nah, sudi kiranya Bapak membukakan saya jalan, sementara anak-anak sedang butuh biaya. Menjadi pamangku jelas berseberangan dengan hati nurani saya. Lalu, apakah pekerjaan yang kita tekuni senantiasa membawa dampak bagi kesucian seseorang, dengan demikian ia dijauhi Tuhan. Benarkah?

Jawab:
Jika kita mencoba memetik intisari pertanyaan Sdr. Nyoman Rame ini akan menjadi masalah kemanusiaan universal, yang akan diangkat sebagai pertanyaan oleh semua orang di muka Bumi. Betapa tidak? Di dunia ini banyak sekali orang menginginkan sesuatu, seperti menginginkan kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, dan seterusnya, tetapi keinginan tersebut tidak juga didapatkan meskipun mereka telah berusaha keras mendapatkan hal itu. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang tidak menginginkan sesuatu, tetapi dia justru mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkannya itu.
Banyak orang menginginkan pekerjaan yang mendatangkan banyak uang, dan sebaliknya, tidak sedikit orang tidak menginginkan pekerjaan yang tidak memberikan uang berlimpah. Apabila kita mencoba mengukur realitas ini dari ajaran Sang Buddha, inilah yang disebut duhkha (penderitaan). Disatukan dengan sesuatu yang kita benci adalah duhkha . Dipisahkan dengan sesuatu yang kita cintai adalah duhkha . Mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan adalah duhkha , dan tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan adalah duhkha.
Tetapi, jangan khawatir, duhkha ini bisa dilenyapkan, seperti yang telah dilakoni Sang Buddha melalui pemutaran roda dharma ( dharmacakrapravartana ) yang diwedarkan dalam kotbah pertama di Taman Rusa, kota Benares , India . Jalan keluarnya adalah dengan melenyapkan keinginan. Mengapa Sdr. Rame sekarang mengalami kebimbangan? Tidak lain karena hasrat, keinginan atau tanha . Lenyapkanlah keinginan ini.
Memang, tidak ada yang salah dengan keinginan. Masalahnya, manakala keinginan itu tidak terpenuhi, maka terjadilah duhkha . Karena itu, seharusnya orang jangan menginginkan sesuatu, dan juga jangan tidak menginginkan sesuatu. Bekerjalah di dalam tidak bekerja, dan tidak bekerja di dalam bekerja. Ini adalah kata-kata Mahabharata, yang lebih verbal diuraikan lagi dalam Bhagavad-gita : karmany eva dikaraste , ‘bekerjalah tanpa mengharapkan hasil'.
Lebih daripada itu, mengapa keinginan mendatangkan penderitaan ini menyangkut apa yang diinginkan. Dewasa ini, sangat sedikit orang bercita-cita menjadi orang suci semacam pamangku. Kalau menjadi pejabat dengan gaji besar, pasti banyak yang menginginkan. Jadi, keinginan itu pada akhirnya akan selalu mendatangkan penderitaan, karena keinginan itu selalau diarahkan untuk menguasai dunia material, dan salah satu ciri utama dunia material ini adalah duhkhalayam : penuh penderitaan.
Dalam konteks ini, Sdr. Nyoman Rame harus mensyukuri panggilan ngiring untuk menjadi pamangku di Pura Dadia. Memang, setelah menjadi pamangku bukan berarti Anda bebas dari penderitaan. Pendeitaan akan tetap ada. Tetapi dalam kedudukan sebagai pamangku, penderitaan itu akan menjadi sesuatu yang remeh di hadapan Anda. Menjadi pamangku berarti menjadi medium atas karunia Tuhan, sehingga pamangku setiap saat dituntut bersih lahir dan batin. Orang yang selalu bersih dan tekun, sebenarnya tidak ada masalah penderitaan baginya.
Menjadi pamangku adalah panggilan Dharma. Ini adalah kesempatan mengabdi kepada umat manusia, kesempatan emas untuk membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan dunia material, dan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan tujuan agama: moksartham jagaddhitaya ca iti dharma. Secara ideal, kalangan agamawan sering agak berseloroh mengatakan, bahwa bagi orang suci, pintu surga sudah terbuka. Karena itu, tidak ada suatu karunia yang lebih tinggi, selain karunia “dipaksa” melakoni pengabdian suci sebagai seorang pamangku.
Setelah menjadi pamangku, apakah harus meninggalkan pekerjaan sebagai jagal, dan bagaimana halnya dengan nafkah yang harus didapatkan untuk menghidupi keluarga? Kebimbangan ini menunjukkan bahwa Sdr. Nyoman Rame belum memahami siapakah Tuhan. Tuhan adalah Mahakaya, dan pemilik segala-sesuatu. Dalam Bhagavad-gita 10.8 disebutkan, “Tuhan adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu berasal dari Tuhan (aham sarvasya prabhavo mattah sarvam pravartate).” Dalam Isa Upanisad keterangan yang sama juga dijelaskan. Tuhan adalah sumber segala makhluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak (isavasyam idham sarvam).
Kalau Tuhan sudah memilih Anda mengabdi di jalan dharma (melalui upacara nyanjan ), pasti Tuhan telah memberi solusi dan jalan keluar terhadap berbagai masalah yang akan Anda hadapi sebagai konsekuensi atas pilihan terhadap pengabdian itu. Jangan pernah mengerdilkan keagungan Tuhan. Ingat, Tuhan adalah Mahakaya. Meskipun demikian, hendaknya seseorang jangan mendekati Tuhan hanya untuk mendapatkan kekayaan.
Tentang pekerjaan sebagai jagal, apakah harus ditinggalkan? Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan ini, kiranya penting dijelaskan bahwa manusia hanya mengetahui kehidupannya pada babak kehidupan saat ini. Sedangkan Tuhan mengetahui masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Inilah perbedaan antara manusia dengan Tuhan.
Jadi, pekerjaan sebagai jagal yang dilakoni Sdr. Rame hanyalah pekerjaan yang dilakoni pada kehidupan ini. Saudara Rame tentu tidak tahu pekerjaan yang Saudara lakoni pada kehidupan yang lalu, demikian juga pekerjaan yang Saudara akan lakoni pada kehidupan nanti. Jadi, pilihan yang dijatuhkan oleh leluhur Anda untuk ngiring sebagai pamangku, harus dihubungkan dengan pekerjaan Anda di masa lalu. Mungkin saja, atas jasa pekerjaan yang Anda lakoni pada kehidupan di masa lalu mengharuskan Anda menjadi pamangku pada kehidupan sekarang.
Jika jawaban tersebut belum memuaskan Sdr. Rame, dan juga mungkin tidak memuaskan sebagian besar Pembaca, karena tidak realistik atau masih mengawang-awang ke masa lalu, maka bersama ini saya tunjukkan karunia Tuhan. Tuhan bisa mengubah batu menjadi emas, tentu saja Tuhan juga bisa mengubah seorang jagal menjadi seorang pendeta. Pernahkah Anda mendengar cerita seorang Ratnakara? Ia seorang penjahat yang melakukan berbagai jenis kejahatan. Suatu hari ia merampok seorang rsi. Rsi ini bertanya kepadanya, apakah anak-anaknya dan saudara-saudaranya mau menerima dosa-dosa akibat kejahatan yang dilakukannya?
Setelah kembali dari rumahnya untuk menanyakan masalah itu (yang ditanyakan rsi tadi) kepada anak-anak dan saudaranya, Ratnakara kembali kepada rsi itu dan menyampaikan jawaban anak-anak dan saudaranya, bahwa mereka tidak bersedia menerima dosa akibat kejahatan yang dilakukan Ratnakara. Sang Rsi lalu menasihati agar meninggalkan pekerjaan sebagai perampok. Sejak itu, Ratnakara bertobat dan melakukan pertapaan keras. Ratnakara, yang adalah seorang penjahat, kemudian dikenal sebagai seorang penyusun Ramayana dan dikenal dengan nama Valmiki.
Jika, dalam pertanyaan tadi, Sdr. Rame menganggap pekerjaan jagal adalah pekerjaan hina, maka pekerjaan itu memang segera harus ditinggalkan. Persoalannya, bukan karena Anda menjadi pamangku lalu pekerjaan jagal itu harus ditinggalkan, melainkan karena Anda sendiri menganggap pekerjaan itu hina. Bagaimana mungkin, Anda sadar suatu pekerjaan itu hina, lalu Anda tetap lakoni pekerjaan itu semata-mata demi uang. Model seperti ini terlalu jamak dalam masyarakat kita dewasa ini. Banyak orang melakoni berbagai jenis pekerjaan hina hanya demi uang. Di satu sisi, sraddha atau kepercayaan mereka terhadap Tuhan lemah. Mereka tidak pernah yakin, Tuhan adalah mahakaya. Di sisi lain, ini suatu bukti betapa kuat pragmatisme bercokol dalam relung kalbu kita.
Dalam tradisi Bali , menjadi pamangku adalah pinandita dengan kedudukan ekajati . Sebagai seorang pamangku, ia mulai melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi. Karena itu, ia harus menghindari pembunuhan, apalagi menjadi seorang jagal. Dalam banyak kasus, seperti dalam upacara bhuta yajna , seorang pamangku bahkan dilarang langsung berperan dalam panyamblehan (pembunuhan binatang yang dipersembahkan kepada bhuta ).
Satu hal yang harus dipahami dari berbagai uraian di depan ialah: karunia Tuhan tidak selalu dalam wujud harta-benda berlimpah, rumah mewah, jabatan tinggi, dan keturunan manis-manis. Ada kalanya Ia mengambil semua pekerjaan dan harta benda kita sehingga kita menjadi benar-benar miskin. Orang miskin sangat terikat dengan Tuhan. Karena itu, Dewi Kunti berdoa dalam Bhagavata Purana 1.8.27 : namo ‘kincana-vittaya, “Hamba bersujud kepada Anda, yang menjadi milik orang yang miskin secara material”.

I Ketut Widnya

Saturday, December 5, 2009

MENUKAR ”ANUGRAH” DENGAN ”BABI GULING”

Entah kapan dimulainya masyarakat Hindu di Bali sangat umum melakukan persembahan ”Babi Guling” dalam suatu acara, apakah piodalan, hari baik, atau sekedar Nawur Sesangi (bayar janji). Kenapa Nawur sesangi? Umumnya ketika umat ini menghadapi suatu masalah, atau ada keinginan tertentu seperti naik pangkat, anak dapat sekolah, atau sehat dari sakit, dll maka kepasrahan rupanya tidak cukup jadi perlu perjuangan atau menjanjikan sesuatu kepada sang Pencipta, atau agar tidak dibilang tidak tahu terima-kasih, maka Hyang Whidi dijanjikan Babi Guling, padahal semua yang ada didunia ini termasuk kita adalah ciptaan beliau, kenapa harus dipersembahkan babi guling ini kepada beliau?. Waktu berjalan dan suatu saat tercapai niatnya, maka pada hari yang dianggap baik dipersembahkanlah Babi Guling, ibaratnya Anugrah diterima, babi guling dipersembahkan, ini seperti barter anugrah ditukar dengan babi guling. Bentuk lain adalah persembahan babi guling ditujukan kepada ”Penunggun Karang/Penglurah” yang sebenarnya Bhuta (Bhuta Dewa/satpam para Dewa), jika ini dilakukan maka sudah tidak percayakah umat pada Hyang Whidi sehingga harus meminta pada Bhuta. Fenomena seperti ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi kebiasaan sehingga umat banyak yang tidak tahu atau tidak perlu tahu apakah cara-cara itu dibenarkan menurut ajaran Hindu. Yang menjadi pertanyaan apakah sudah seperti itu pola pikir masyarakat akan makna persembahan, sebebelum sampai kesitu coba kita simak kenapa ada persembahan Babi Guling kepada Hyang Whidi atau Penunggun Karang.

Seperti diketahui jaman dulu kita belum mengenal nama Hindu seperti sekarang ini, yang ada adalah sebuah Mazab/Sekte/Pakse yang merupakan penonjolan Ista Dewata tertentu, sehingga ada : Sekte Siwa, Sekte Waisnawa, Sekte Bhairawa, juga ada sekte Budha, dll dimana pada abad XI oleh Mpu Kuturan di Bali sudah di-fusi menjadi satu dengan pemujaan Ista Dewara Tri Murti dalam bentuk Pelinggih Kemulan Rong Tiga dan ditingkat desa berupa Desa Pakraman dengan Pura Desa, Dalem, dan Puseh. Rupanya fusi ini tidak otomatis menghilangkan salah satunya atau memunculkan sesuatu yang baru sama sekali karena ciri khas sekte itu masih ada, sebut saja : Sekte Bhairawa yang disebutkan dalam persembahyangan perlu mabuk, sehingga yang masih bisa dilihat sekarang Caru dengan tuak/arak, pemotongan binatang/darah binatang, persembahan Babi Guling, bahkan lawarpun konon peninggalan dari para penganut sekte Bhairawa, sehingga sekarang ini tidak mudah memisahkan hal itu dari kebiasaan masyarakat. Apakah kemudian kita berhenti makan lawar atau berhenti mempersembahkan Babi Guling? tentunya sebelum memutuskan itu alangkah baiknya disimak dulu apa sebenarnya makna persembahan bagi kita? Kepada siapa persembahan itu ? Hyang Whidi, Ista Dewata, Bhatara, Leluhur, atau Bhuta Penunggun karang/Panglurah. Coba kita lihat pertama dari sikap, itu saja sudah dibedakan, sikap pada Hyang Whidi, Ista Dewata atau Bhatara dengan tangan dicakupkan didahi menghadap keatas, sementara kepada leluhur didepan hidung, kepada sesama didada, dan kepada bhuta didada menghadap kebawah. Selanjutnya sarana sembahyang bagaimana ?. Disebut dalam Bhagawad-Gita sbb : ”patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, Tad aham bhakty-upahrtam asmani prayatatmanah “ (Kalau seseorang mempersembahkan daun,bunga,buah atau air, dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. Bhagavad-Gita 9.26), jadi tidak pernah tersurat disana persembahan dengan binatang atau babi guling. Kita lihat lagi sarana persembahan : “Banten Pejati”, menekankan kesejatian bhakti kita, “banten suci” mengandung pesan hati yang suci diwaktu bersembahyang, “Pareresik (Byekaon,durmenggala,prayascita)” mengandung makna pensucian tiga alam Bhur-Bwah-Swah loka, pada diri manusia Bhur=pusar kebawah, Bwah=pusar sampai leher, Swah=kepala, dan bentuk sarana lainnya seperti Canang, dan lain-lain, semua persembahyangan itu justru merupakan pesan kesucian bagi para penyembah (Bhakta). Lalu bagaimana yang punya kemampuan menari mempersembahkan tarian, yang bisa menabuh dengan megamel, atau yang punya pohon mangga mempersembahkan mangga, dll bukankah itu juga dipersembahkan kenapa boleh, itu semua merupakan “ucapan terima-kasih” karena Hyang Whidi telah memberikan anugrah buat kita berupa pengetahuan dan hasil bumi. Kalau begitu benar bukan, kalau Babi guling juga dipersembahkan? Untuk ucapan terima-kasih terkait dengan hewan termasuk Babi, ada “tumpek kandang” namanya, tetapi pada hari itu tidak ada penyembelihan hewan tersebut ! Memang ada disuatu desa yang penulis tahu sehubungan dengan babi mereka beranak-pinak, maka dipersembahkan babi yang terkecil untuk dipersembahkan (di-guling), tetapi sebenarnya itu tidak sejalan dengan makna tumpek kandang, jadi hanya dikai-kaitkan agar dapat mempersembahkan babi guling atau bisa makan babi guling. Kalau kita tanya bagi sebagian umat yang mempersembahkan babi guling, umumnya mereka tidak mengerti itu pengaruh sekte Bhairawa, atau tidak mempertanyakan itu ada dasar sastranya atau tidak, yang mereka tahu mereka masih suka makan babi guling dan sebelum dimakan maka dipersembahkan dulu kepada Hyang Whidi sehingga lungsuran/prasadam yang dimakan jadi tidak makan dosa. Sekilas kelihatannya benar, namun ada cara yang lebih mengena, sebelum memotong babi lakukan permohonan “tirta pengentas” agar si Babi dikelahiran nanti bisa menjadi lebih baik, misalnya menjadi manusia karena kita umat Hindu percaya dengan re-inkarnasi, dan ketika akan menikmatinya boleh saja bersembahyang dulu atau panjatkan doa ucapan terima-kasih karena telah dianugrahi babi sehingga bisa disantap dengan benar (bukan menyantap dosa). Penulis berharap walau tidak dipaksakan, secara pelan-pelan kesenangan makan daging termasuk babi guling sebaiknya dikurangi kalau bisa dihilangkan, karena ketika makan daging sesungguhnya sifat-sifat raksasa yang masih ada pada diri manusia menjadi dominan, seharusnya sifat-sifat dewata yang dominan sehingga kita tidak perlu menyantap daging, jika memungkinkan yang dimakan adalah “Catur Kahuripan yaitu : daun, buah, bunga, akar/umbi, karena makanan tersebut secara ilmu kesehatan adalah makanan sehat apalagi bagi yang sudah usia diatas 40 tahun. Selanjutnya sesuai ajaran Catur Asrama kita bisa menapak fase ketiga (Wanaprastha) dengan mulai banyak belajar Weda, mulai sering tirta-yatra ke pura-pura atau petilasan, atau melakukan japa dirumah. Dengan pola seperti ini kita juga telah mendukung “Global Warming” karena mereka menyebutkan penyembelihan hewan dan makan daging hewan juga termasuk yang ikut andil terhadap pemanasan global. Akhirnya apapun yang kita lakukan akan ada pahalanya sesuai ajaran Kharma Phala, jika yang suka makan daging atau yang tidak makan daging bahkan vegetarian, akan mendapat pahala masing-masing, minimal dari sisi kesehatan yang tidak bisa ditukar dengan babi guling, karena kesehatan adalah terkait dengan pola hidup khususnya pola makan. Semoga semua mahluk saling menyayangi .. Aum.

Nyoman Sukadana
http://www.damuhantara.blogspot.com/